Suasana Kopi Nako Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanKopi Nako Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (31/7) malam, ramai bukan main. Hampir seluruh meja terisi pengunjung, hanya beberapa kursi yang tersisa.Namun ada satu hal yang terasa janggal: hening. Tak terdengar alunan lagu indie yang biasanya menjadi pengiring obrolan dan deru mesin kopi.Hening ini bukan tanpa alasan. Sejak aturan pembayaran royalti untuk pemutaran lagu di ruang publik mulai diterapkan, banyak kafe memilih untuk menonaktifkan daftar putar lagu (playlist) mereka sementara waktu demi menghindari potensi sanksi. “Ada, kita (sebelumnya) ada mutar lagu juga dan itu kita ada playlistnya juga di Spotify. Playlist Kopi Nako General gitu, dan itu memang ada beberapa, itu udah dibuatin dari pusat,” ujar Almira (33), Manager Kopi Nako Tebet saat ditemui kumparan.Dulu, lagu-lagu dari Hindia, Maliq & D’Essentials, Efek Rumah Kaca, hingga Juicy Luicy jadi playlist andalan. Bahkan, pelanggan bisa request lagu favorit mereka secara langsung ke barista.Namun sejak 23 Juli lalu, manajemen pusat Kopi Nako menginstruksikan agar pemutaran lagu Indonesia dihentikan sementara.Suasana Kopi Nako Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparan“Itu start dari 23 Juli. Itu pemberitahuan dikasih tau dari seluruh Kopi Nako itu untuk sementara jangan pakai lagu-lagu di playlist Kopi Nako General dulu. Jadi kita palingan untuk sementara sih pakai lagu-lagu luar jadinya,” kata Almira.Saat kumparan berkunjung, speaker di Kopi Nako mati total. Padahal Almira menyebut, biasanya Kopi Nako tetap memutar musik.Untuk sementara waktu, Kopi Nako hanya mengandalkan lagu barat dan musik instrumental yang bebas lisensi.“Biasanya sih nyala, lagu luar sih, lagu-lagu barat. Iya ada instrumental juga. Kan kalau instrumental kan enggak ada copyright ya,” ujar Almira.Almira mengungkapkan perubahan ini tidak menimbulkan keluhan dari pengunjung sejauh ini.“Aman semua. Sampai saat ini sih belum ada komplain atau kayak tolonglah ganti lagunya gitu, ya enggak ada sih,” tambah Almira.Kafe Lain Masih Berani Ngegas: Ada yang Datang Karena PlaylistDi sisi lain, ada salah satu kafe di Jakarta Selatan yang memilih sikap berbeda. Musik tetap mengalun di ruangannya, termasuk lagu-lagu musisi lokal yang jadi ciri khas tempat itu.“Kalau misalkan dari kita, kalau setuju nggak setuju, nggak setuju sebenarnya. Tapi kan kalau misalkan, aku kurang ngerti ya, kalau misalkan di luar, copyright nggak segitunya,” kata Haryo (bukan nama asli), Head Marketing kafe tersebut.Baginya, musik bukan sekadar latar. Banyak pelanggan yang datang justru karena playlist kafe tersebut. Playlist andalan mereka datang dari beberapa musisi lokal, seperti The Adams, Morfem, dan Perunggu.Ilustrasi tape deck. Foto: Shutterstock“Malah kadang setiap tempat kan punya playlist masing-masing. Ada kayak customer kita tuh di sini, banyak yang datang ke sini tuh gara-gara playlistnya,” ujarnya.Hingga kini, kafe itu masih memutar lagu tanpa perubahan berarti. Playlist berganti sesuai selera staf yang berjaga di bar.“Masih, masih (mutar lagu). Yang kedua juga kalau misalkan playlist, ya semaunya anak-anak aja ya. Kalau misalnya yang lagi ngebar, yang lagi ngeshift,” kata Haryo.Meski begitu, ia mengakui aturan ini cukup membebani usahanya.“Menyulitkan juga sih. Terus gitu kan, apa ya, musik kan emang buat semua orang menikmati kan. Kecuali ya kalau misalkan emang musiknya itu buat utama nyari uangnya, ya kan,” tutur Haryo.“Kalau misalkan cuma buat vibe sebuah tempat sih menurut aku gak logis kalau misalkan sampai harus bayar,” lanjutnya.Ia menambahkan, langkah yang akan mereka ambil untuk kafenya akan bergantung pada situasi di lapangan.“Kalau misalkan emang kita udah dapat teguran, dan mungkin udah banyak juga yang ngikutin aturannya, mungkin kita bakal ngikutin,” ujar Haryo.“Tapi kalau misalkan emang resistancenya banyak dari tempat-tempat lain, mungkin dari coffee shop temen-temen aku, yaudah mau gak mau,” lanjutnya.Mengenai diskusi internal, Haryo mengaku manajemen kafenya belum membahas serius soal pembayaran royalti.“Belum sih, kita belum ada. Karena emang nggak mikir nyampe ke sana sebelumnya kan. Tapi kalau misalnya kayak gini, Spotify aja udah bayar, ya kan setahun berapa. Kalau misalnya ada pengeluaran lagi ya, mungkin bakal berarti (biaya) operasional banyak banget,” tutupnya.Memutar Lagu di Ruang Publik Wajib Bayar RoyaltiSebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap para pelaku usaha yang memutar lagu di ruang publik wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Ruang usaha yang dimaksud termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran (gym), dan hotel.Hal ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.Ilustrasi penumpang bus yang sedang mendengarkan lagu Foto: VGstockstudio/Shutterstock“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, dalam keterangannya, Senin (28/7).Sementara itu di Bali, polisi menetapkan status tersangka pelanggaran hak cipta kepada Direktur Mie Gacoan karena gerainya memutar lagu dan musik tapi tak membayar lisensi. Laporan ke polisi disampaikan oleh Sentra Lisensi Musik Indonesia.