Menag Ingatkan Bahaya Nasionalisme Eksklusif Bisa Lahirkan Perpecahan

Wait 5 sec.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menjadi pembicara kunci dalam Dialog Nasional Ormas Islam dan OKP Islam di Jakarta, Rabu (30/7/2025). ANTARA/HO-KemenagJAKARTA - Menteri Agama Nasaruddin Umar mengingatkan tentang bahaya nasionalisme eksklusif yang bisa melahirkan perpecahan sehingga perlu didorong nasionalisme inklusif agar menjadi fondasi utama dalam merawat keberagaman bangsa."Nasionalisme yang eksklusif hanya akan melahirkan segregasi. Kita butuh nasionalisme inklusif yang mampu mengintegrasikan keberagaman tanpa menegasikan identitas agama, budaya, maupun etnis," ujar Menag dilansir ANTARA, Rabu, 30 Juli.Menag mengatakan hal itu pada acara Dialog Nasional Ormas Islam dan OKP Islam digelar Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama di Jakarta.Nasaruddin menjelaskan nasionalisme inklusif yang diusung Indonesia berbeda dengan nasionalisme berbasis etnis atau agama tertentu, seperti yang berkembang di beberapa negara lain.Nasionalisme Indonesia berdiri di atas semangat Pancasila yang mengakomodasi seluruh elemen masyarakat tanpa diskriminasi."Islam bukan dari Indonesia, Hindu bukan dari Indonesia, Kristen pun bukan. Tapi semua bisa tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia. Di sinilah pentingnya proses indonesianisasi ajaran, bukan arabisasi, bukan indiaisasi, bukan westernisasi," kata dia.Menurut dia, tantangan geopolitik global saat ini justru menguji ketangguhan nilai-nilai kebangsaan.Ketika banyak negara mengalami fragmentasi identitas, kata dia, Indonesia berhasil mempertahankan keutuhan berkat fondasi keberagaman yang dijaga melalui pendekatan inklusif dan moderat.Menag mencontohkan tentang perempuan di Indonesia memiliki akses dan peran publik yang lebih luas dibandingkan di negara-negara di kawasan Timur Tengah."Pasar-pasar tradisional kita, penjual dan pembelinya banyak perempuan. Masjid kita pun bisa diisi bersama. Ini tidak bisa dipaksakan dengan pendekatan tekstual yang kaku, tapi harus kontekstual," kata dia.Dalam konteks keislaman, Imam Besar Masjid Istiqlal itu juga menekankan bahwa Indonesia dikenal dunia sebagai model Islam moderat yang damai, toleran, dan mampu berdialog dengan demokrasi."Islam Indonesia bukan Islam pinggiran. Justru kita menjadi cahaya baru dari timur yang berhasil mempertemukan iman, kebudayaan, dan kemanusiaan," ujarnya. Nasaruddin menyinggung pentingnya kesadaran geopolitik dan geostrategis dalam menjaga keberlangsungan negara.Menurut dia, geopolitik tidak boleh dilepaskan dari geodemografi dan geobudaya.Indonesia memiliki keuntungan geografis dan pluralitas budaya yang harus dikelola dengan visi kebangsaan yang kuat.Nasionalisme inklusif, sambungnya, bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab umat.Menag mengatakan agama harus menjadi energi positif untuk merawat persatuan, bukan alat politik identitas yang memecah belah.