Belum Diberlakukan, Tarif Trump Disebut Ganggu Devisa Hasil Ekspor Indonesia

Wait 5 sec.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenge 2025 di Hotel Borobudur, Selasa (29/7/2025). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanKetidakpastian soal tarif impor dari AS membuat perilaku bisnis berubah. Pemerintah bahkan menyebut devisa hasil ekspor mulai terlambat masuk.Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyoroti dampak serius dari kebijakan tarif impor yang direncanakan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.Susi mengatakan, meski hingga kini tarif tersebut belum benar-benar diberlakukan, ancaman yang terus dilontarkan telah mengganggu ekosistem ekspor Indonesia. Bahkan, aliran devisa hasil ekspor (DHE) dari para eksportir mulai mengalami keterlambatan.“Ini sekadar cerita saja. DHE misalkan, Devisa Hasil Ekspor, ternyata pembayaran pihak pembeli di luar negeri kepada eksportir kita mengalami penundaan,” katanya dalam forum Bisnis Indonesia Midyear Challenges di Hotel Borobudur, Selasa (29/7).Susiwijono menyebut para pelaku usaha di luar negeri sudah mulai menunda pembayaran devisa hasil ekspor. Kondisi ini memperlihatkan bahwa dampak ekonomi global kini tak hanya soal realisasi kebijakan, tapi juga soal sentimen dan ekspektasi pasar.Dia menilai, ancaman tarif Trump seperti pertandingan yang belum dimulai, tapi Indonesia sudah keburu dirugikan.“Tapi faktanya kita udah berdebat menghitung dampaknya ini yang semuanya ke ekonomi semuanya, walaupun dampak pasti ada karena sebelum realisasi perilaku bisnis tadi berubah,” tegasnya.Ilustrasi pabrik sepatu. Foto: ShutterstockIndustri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan garmen dinilai paling rentan. Susiwijono menyebut tambahan tarif hingga 32 persen di atas tarif eksisting bisa mematikan sektor ini.“Bayangin kalau produk pakaian jadi kita katakanlah biar masuknya 20 persen, ketambahan 32 persen, di atas 50 persen lah. Udah mati aja gitu,” ujar dia.Potensi PHKMenurut perhitungan pemerintah, sedikitnya 3 juta tenaga kerja di industri ini bergantung pada ekspor ke AS. Jika tarif diberlakukan, peluang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal tidak bisa dihindari.Pemerintah juga menjawab kritik soal pemberlakuan tarif 0 persen terhadap 99 persen produk AS yang masuk ke Indonesia. Menurut Susiwijono, hal itu bukan bentuk menjual murah pasar dalam negeri, melainkan bagian dari tren global.Sebagai pembanding, Susiwijono mencontohkan Vietnam yang sudah memberikan tarif 0 persen untuk seluruh produk AS. Begitu pula dengan Uni Eropa dan Jepang yang diberi syarat belanja produk AS dalam jumlah besar untuk mendapatkan tarif rendah.Susiwijono juga menjelaskan isu pembelian produk AS senilai USD 19,5 miliar atau setara Rp 319 triliun oleh Indonesia. Menurutnya, skema itu murni bisnis swasta dan BUMN tanpa menambah beban anggaran negara.“Yang kita lakukan dalam tanda petik hanya menggeser kebutuhan. Demand kita tetap, tapi yang dulunya dibagi di beberapa negara, kita kumpul-kumpulin sebagian kita ambil dari Amerika,” jelasnya.Isu lain yang berkembang adalah kekhawatiran soal transfer data pribadi warga Indonesia ke AS. Susiwijono menyatakan bahwa tidak ada pengiriman data baru, karena selama ini masyarakat sudah menyerahkan secara sukarela lewat platform digital.“Saya nggak pernah omongin ini di dalam proses negosiasi. Tidak ada pengiriman data, yang kita sepakati adalah seluruh negara, termasuk Indonesia, WNI kita data kita itu kan sudah sukarela kita input ke sistemnya Amerika,” ujarnya.Menurutnya, kesepakatan itu memberikan dasar hukum agar data warga Indonesia yang tersimpan di sistem digital AS bisa dilindungi secara legal.Susiwijono juga membantah bahwa pemerintah membuka keran ekspor bijih mentah atau ore ke AS. Ia menegaskan yang dimaksud adalah produk hilir, bukan bahan mentah.“Kata-katanya Trump itu membuka akses market ke semua ke Indonesia, bahkan termasuk sektor pertambangan mineral, seakan-akan kita akan membuka ekspor ore, nggak ada,” ucapnya.Begitu pula dengan produk pertanian. Pemerintah tidak membuka akses baru, melainkan menyepakati pasokan yang selama ini memang sudah berjalan seperti kedelai, kapas, dan jagung pakan.Bagi pemerintah, yang paling penting dalam menghadapi dinamika tarif global adalah kepastian. Susiwijono mencontohkan bagaimana kesepakatan yang dicapai pada 15 Juli lalu memberi angin segar bagi industri tekstil nasional.“Bayangkan kalau Bapak Presiden belum sepakat dengan Trump. Nggak ada kepastian Indonesia kena tarif berapa. Bisa jadi order para perusahaan ekspor di Indonesia lari ke beberapa negara yang sudah jelas tarifnya,” ujarnya.