Penurunan Angka Kemiskinan Versi BPS Patut Disangsikan

Wait 5 sec.

Dua warga melintas di kawasan rumah padat penduduk Kebon Melati, Jakarta, Kamis (23/6/2022). (ANTARA/Rivan Awal Lingga/wsj)JAKARTA – Angka kemiskinan yang baru-baru ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai tidak valid, karena menggunakan metode lama. Padahal, di lapangan angka kemiskinan di Indonesia jauh lebih banyak dari data yang dikeluarkan BPS.Presiden Prabowo Subianto mengklaim mendapat bocoran dari BPS bahwa angka pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia mengalami penurunan.Pernyataan tersebut ia ungkapkan dalam acara penutupan Kongres PSI di Solo pekan lalu. Waktu itu, BPS belum merilis data secara resmi ke publik alias ditunda. Sebelumnya, BPS menjadwalkan akan merilis angka kemiskinan pada Selasa (15/7).BPS akhirnya merilis data terbaru, mengungkap angka kemiskinan turun menjadi 23,85 juta orang per Maret 2025, pada Jumat 25 Juli lalu. Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono penurunan angka kemiskinan mencapai 210 ribu orang. Pada September 2024 jumlah orang miskin di Indonesia 24,96 juta orang.Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa saat menyalurkan bansos untuk Warga Gresik. (ANTARA/HO-Biro Adpim Pemprov Jatim)Saat ini penduduk miskin setara 8,47 persen dari total populasi di Indonesia. Persentase ini turun 0,1 persen dibandingkan September lalu. Namun banyak yang meragukan kebenaran rilis angka kemiskinan BPS yang dinyatakan menurun.Perbedaan dalam Mendefinisikan Kemiskinan Garis kemiskinan yang diterapkan BPS menjadi sorotan. Pada Maret 2025, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp609.160 per perkapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari.Artinya, orang dengan penghasilan di atas Rp20.305 per hari tidak dianggap sebagai penduduk miskin. Angka ini lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan sebelumnya sebesar Rp18.348 per hari.Standar miskin BPS ini rupanya berbeda dengan World Bank, yang menghitung garis kemiskinan berdasarkan paritas daya beli (PPP). Menurut World Bank, garis kemiskinan ekstrem adalah 2,15 dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp32.454 per hari.Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira meyakini, fakta di lapangan, jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak dari angka kemiskinan yang diklaim pemerintah.“Selama ini, terdapat kesenjangan yang mencolok antara data kemiskinan resmi milik pemerintah Indonesia dan data yang dirilis lembaga internasional,” kata Bhima kepada VOI.Berdasarkan laporan teranyar World Bank, sekitar 68,2 persen atau setara 194,4 juta jiwa penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional.Menurut Bhima, angka ini sangat berbeda dengan data yang dirilis BPS, yang hanya mencatat penduduk miskin Indonesia hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang."Meski metodologi keduanya berbeda, disparitas sebesar 8 kali lipat ini menunjukkan ada masalah dalam cara kita mendefinisikan kemiskinan," ujarnya.Menurut Bhima, BPS sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan berbasis pengeluaran serta item-item yang tidak banyak berubah dan tidak sesuai dengan realitas ekonomi.Perlu Revisi Garis KemiskinanPerbedaan skema kemiskinan menurut BPS dan World Bank lebih dari sekadar angka-angka. Bhima mengklaim, ini menjadi masalah fundamental karena data kemiskinan bisa berdampak pada pengambilan kebijakan pemerintah.Dia mencontohkan klaim pemerintah terkait keberhasilan perlindungan sosial, program pertanian, makan bergizi gratis hingga hilirisasi yang dianggap tidak sepenuhnya tercermin dari data BPS."Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja datanya kurang valid,” kata Bhima menegaskan.Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti juga bertanya-tanya soal penurunan angka kemiskinan versi BPS."Saya kok sangsi ya dengan penurunan (angka kemiskinan). Tapi, kalau toh itu menurun mungkin metode pengukuran kemiskinannya memang perlu diperbarui karena garis kemiskinannya itu kan juga masih pakai garis kemiskinan yang lama," kata Esther.Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (25/7/2025). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)Garis kemiskinan Rp609.160 per kapita per bulan menurut Esther terlalu rendah karena peberdaannya terlalu jauh dengan upah minimum di tiap provinsi (UMP).Sebagai informasi, UMP tertinggi adalah Jakarta dengan nilai Rp5,3 juta, sedangkan yang terendah ada di Jawa Tengah dengan Rp2,16 juta. Ia melanjutkan, penetapan garis kemiskinan seharusnya diukur dari biaya hidup layak dan Rp20.000 per hari dianggap terlalu kecil.Di sisi lain, jika angka kemiskinan benar-benar menurun, dia menduga itu didorong oleh program-program bantuan sosial pemerintah, mulai dari Bantuan Subsidi Upah (BSU), Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya.