Riset: Proyek IKN membuat nelayan dan masyarakat pesisir semakin sengsara

Wait 5 sec.

● Aktivitas pembangunan IKN di Teluk Balikpapan merusak ekosistem pesisir, terutama hutan mangrove.● Akibat pembangunan IKN, hasil tangkapan nelayan semakin menurun, dan wilayah tangkap semakin sempit.● Pembangunan IKN bias daratan, menggusur masyarakat pesisir dari ruang hidup mereka.Nelayan-nelayan di sekitar Teluk Balikpapan mengeluhkan hasil tangkapan dan pendapatan mereka yang semakin menurun akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).Pembangunan proyek nasional itu membawa lonjakan lalu lintas kargo besar yang hilir-mudik mengangkut bahan bangunan ibu kota baru dari Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau, Teluk Balikpapan. Hiruk-pikuk aktivitas pembangunan IKN ini merusak ekosistem pesisir, termasuk kawasan mangrove yang menjadi rumah bagi berbagai spesies laut seperti ikan, udang, dan kepiting.Tak hanya hasil laut yang semakin berkurang, wilayah tangkap nelayan juga kian menyempit. Para nelayan harus melaut lebih jauh atau pindah ke perairan lain dan berujung konflik dengan komunitas nelayan lain. Alhasil, ongkos melaut naik sementara penghasilan turun, dan konflik sosial pun tak terhindarkan.Riset kami tahun 2025 di tiga desa pesisir Teluk Balikpapan—Jenebora, Pantai Lango, dan Mentawir—menegaskan adanya fenomena terrestrial-to-marine exclusion dalam pembangunan IKN, yaitu kondisi di mana pembangunan di darat tidak hanya memicu kerusakan ekosistem laut, tetapi juga meminggirkan masyarakat pesisir dan komunitas nelayan tradisional. Tekanan lama yang kini meningkatMarjinalisasi nelayan Teluk Balikpapan sesungguhnya bukanlah hal baru. Jauh sebelum proyek IKN dimulai, kawasan ini sudah padat oleh aktivitas industri. Pemerintah membangun Kawasan Industri Kariangau dan menetapkan Kalimantan Timur sebagai Wilayah Pengembangan Industri Nasional sejak 2012 silam.Sebagian wilayah laut yang sebelumnya menjadi area pemasangan belat—alat tangkap ikan tradisional, dialihkan menjadi kawasan industri. Meskipun ada perusahaan yang memberikan kompensasi atas pengambilalihan area belat, nilainya tidak sebanding dengan potensi pendapatan jangka panjang yang hilang.Nelayan juga dilarang memasuki zona 500 meter di sekitar jetty (dermaga) milik perusahaan industri yang beroperasi di kawasan pelabuhan Kariangau. Akibatnya, wilayah tangkap nelayan mengecil, hasil tangkapan menurun drastis. “Dulu kami bisa bawa pulang 20-30 kilogram ikan per hari, bahkan sampai cukup buat naik haji. Sekarang paling-paling cuma cukup buat makan”. (nelayan Teluk Balikpapan, 52 tahun)Selain memicu konflik nelayan-perusahaan, riset kami menemukan bahwa semakin terbatasnya area penangkapan ikan juga memicu ketegangan antarnelayan. Wilayah hulu Teluk Balikpapan jadi rebutan, karena dianggap masih kaya ikan. Ketika nelayan dari wilayah lain masuk ke area ini, konflik sosial terjadi. Bila tidak segera diatasi, gesekan ini berpotensi menjadi konflik yang lebih besar. Adapun sebagian nelayan memilih berlayar lebih jauh hingga ke arah Selat Makassar untuk mendapatkan ikan. Namun, opsi ini jauh lebih berbahaya untuk kapal kecil dan tentunya membutuhkan ongkos yang lebih besar karena bahan bakar kapal yang dibutuhkan lebih banyak. Kehadiran proyek IKN membuat situasi memburuk. Hutan mangrove dibabat dan berdampak pada kehidupan nelayan tradisional yang sangat bergantung pada ekosistem tersebut. Belat-belat pun semakin tidak efektif, ikan jadi jarang mampir.“Dulu saya punya 10 belat, sekarang tinggal 4 belat saja dan hasilnya juga tidak menentu.” (Nelayan Pantai Lango, 55 tahun) Baca juga: Dampak pembangunan IKN berisiko picu penularan malaria: Pemerintah harus siapkan mitigasi Kebijakan yang tidak berpihakAlih-alih melindungi masyarakat pesisir, peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kalimantan Timur malah berpihak pada kepentingan bisnis dan investasi.Kebijakan yang dibuat dengan minim konsultasi publik ini hanya mengalokasikan 31,8 hektare untuk pemukiman 10.000 nelayan. Angka ini sangat jauh dari kebutuhan masyarakat. Berdasarkan standar nasional perencanaan lingkungan perumahan perkotaan, satu hektare tanah idealnya dihuni oleh 100 jiwa, yang berarti mestinya alokasi lahan 100 hektare per 100 nelayan.Eksklusi terhadap nelayan makin terasa di laut. Kebijakan ini tidak memberikan pengakuan terhadap zona tangkap nelayan tradisional, justru mempersempit ruang tangkap, karena Teluk Balikpapan ditetapkan sebagai zona jalur utama distribusi material pembangunan IKN. Akibatnya, nelayan yang sudah hidup turun-temurun di wilayah tersebut, dibatasi mengakses ruang hidup mereka. Konflik terus terjadi di Teluk Balikpapan. Pada Maret 2025, nelayan Balikpapan didampingi Pokja Pesisir dan WALHI Kalimantan Timur, berhasil memenangkan gugatan terhadap Keputusan Menteri Perhubungan No 54 Tahun 2023 yang mengubah sebagian zona tangkap menjadi pelabuhan alih muat.Meski kemenangan ini memberi angin segar, tapi belum menjamin perlindungan jangka panjang. Skema pembangunan dalam Perda RZWP3K yang berpihak pada kepentingan industri tetap menjadi ancaman. Riset kami membuktikan masyarakat pesisir terdesak di darat maupun laut. Apalagi ditambah dengan kehadiran proyek IKN yang skalanya lebih besar, pola eksklusi negara terhadap masyarakat pesisir semakin menguat. Proyek bandara VVIP IKN misalnya, mengambil alih sebagian tanah milik nelayan dan masyarakat pesisir, memicu konflik akibat ketidakpastian kompensasi. Pemerintah juga berencana merelokasi mereka ke pedalaman. Ini tentunya semakin menyulitkan masyarakat mempertahankan mata pencaharian mereka yang bergantung pada laut. Pada akhirnya, minimnya keadilan tata ruang membuat kepemilikan lahan menjadi tidak pasti, nelayan semakin cemas akan masa depan mereka. Situasi ini mencerminkan ketimpangan sosial-ekologis yang kian dalam serta kegagalan tata kelola pesisir dalam proyek IKN. Baca juga: Pembangunan IKN tak semestinya abaikan modal pendidikan manusia Bias darat dalam pembangunanDi balik pembangunan IKN yang kerap dibungkus narasi ‘demi kepentingan nasional’, terdapat masyarakat pesisir yang kian terancam ruang hidupnya. Pembangunan IKN seolah menempatkan masyarakat pesisir di luar peta. Dalam berbagai dokumen perencanaan, nyaris tak ada penyebutan tentang nelayan atau pun perlindungan ekosistem pesisir.Ini mencerminkan bias daratan, yakni kecenderungan melihat pembangunan hanya soal daratan, sementara pesisir dan laut dianggap ruang kosong yang bisa dialihfungsikan sewenang-wenang.Padahal bagi nelayan, laut bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga bagian dari identitas sosial-budaya, dan sumber pengetahuan lokal. Jika pola eksklusi ini terus berlanjut, maka proyek IKN hanya akan memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan semakin meminggirkan masyarakat nelayan dari ruang hidup dan budaya mereka. Pemerintah seharusnya memasukkan perlindungan kawasan laut dalam rencana pembangunan, mengakui hak komunitas pesisir, serta memastikan keterlibatan penuh mereka dalam proses perencanaan, bukan sekadar formalitas. Hanya dengan begitu, IKN bisa diterima di masa depan.Ahmad Dhiaulhaq Peneliti World Resources Institute Indonesia dan Pandu Yuhsina Adaba selaku peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkontribusi sebagai penulis dalam artikel ini Imam Syafi'i menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN (OR IPSH BRIN) yang digunakan untuk kegiatan riset 2024 yang berkaitan dengan topik Ibukota Nusantara (IKN). Sebagian data dari hasil tersebut digunakan untuk kepentingan penulisan artikel ini.Dian Aulia menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN (OR IPSH BRIN) bersama Tim Masyarakat Sipil dan Sumber Daya Alam-Pusat Rise Politik, yang digunakan untuk kegiatan riset 2024 yang berkaitan dengan topik Ibukota Nusantara (IKN). Beberapa data dari hasil tersebut digunakan untuk kepentingan penulisan artikel ini.Dini Suryani menerima dana Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (OR IPSH BRIN) untuk penelitian terkait Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tahun 2024. Sebagian data dari penelitian tersebut digunakan dalam penulisan artikel ini.Septi Satriani adalah peneliti dari Pusat Riset Politik IPSH BRIN menerima dana dari Rumah Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan dan Sosial Humanioran BRIN (OR IPSH BRIN) pada tahun 2024 untuk riset kegiatan dengan topik Ibukota Nusantara (IKN). Beberapa data yang digunakan untuk menulis artikel ini bersumber dari data yang diperoleh dari kegiatan riset Rumah Program OR IPSH tahun 2024 tersebut.