Pengageng Kawedanan Panti Budaya Pura Mangkunegaran G.R.Aj Ancillasura Marina Sudjiwo (Gusti Sura). Foto: MangkunegaranBagi segelintir orang, kebaya mungkin dianggap sebagai busana tradisional Indonesia belaka. Namun, bagi Pura Mangkunegaran Surakarta serta mereka yang menggiati, kebaya lebih dari itu. Tak sekadar sehelai artikel busana, kebaya mengandung rentetan makna dan filosofi, lengkap dengan aturan atau pakem tersendiri.Berabad-abad menjadi pakaian khas perempuan Indonesia, kebaya akhirnya diabadikan ke dalam hari nasional yang jatuh setiap 24 Juli. Ini merupakan salah satu upaya pelestarian budaya yang dilakukan negara. Di level masyarakat, usaha tersebut diambil dalam bentuk lain: ajakan dan dorongan untuk semakin sering mengenakan kebaya di berbagai situasi.Menurut generasi muda penggiat kebaya dan juga content creator, Bev Tan, kebaya masih sering diasosiasikan dengan acara formal atau perayaan tertentu, seperti wisuda. Padahal, kebaya juga bisa dikenakan di berbagai kegiatan harian, dari berjalan-jalan hingga kerja di kantor.Pada akhirnya, era modern mendorong pergeseran budaya. Kebaya, yang cenderung lekat dengan pakem pemakaian seperti padu padannya, kini mulai dikenakan bersama partikel pakaian yang lebih santai, seperti rok atau celana jeans.Gaya Dian Sastro pakai kebaya sehari-hari. Foto: Instagram/@therealdisastrDi waktu yang sama, Pura Mangkunegaran—sebagai salah satu pusat budaya Jawa—masih menerapkan pakem berkebaya di lingkup istana. Contohnya, jenis kebaya yang dikenakan harus sesuai dengan konteks acara dan pemakainya. Kebaya juga harus dipadukan dengan gaya rambut, kain, hingga alas kaki tertentu. Inilah yang akhirnya membuat busana ini bersanding dengan kesakralan.Di tengah kesakralan pakem, bersamaan pula tumbuh budaya populer di jantung hati kebaya. Pertanyaannya, bolehkah kebaya bersentuhan dengan modernitas? Dalam wawancara bersama kumparanWOMAN, Pengageng Kawedanan Panti Budaya Pura Mangkunegaran G.R.Aj Ancillasura Marina Sudjiwo, juga dikenal dengan nama Gusti Sura, justru menyambut baik arus kontemporer tersebut.“Menurut saya hal ini sangat bagus, sehingga kebaya dapat terus lestari. Ini termasuk dinamika dari perkembangan budaya di mana harus relevan dengan masanya; hal ini juga mencakup soal berkebaya. Pergeseran makna sudah pasti terjadi sehingga yang tadinya penuh aturan mengikat sekarang menjadi lebih fleksibel dan universal,” jelas Gusti Sura.Yang membuat kebaya sakralPakem kebaya di Pura Mangkunegaran. Foto: Instagram/mangkunegaranGusti Sura menjelaskan, kebaya memiliki kesakralan tersendiri ketika dilihat dari peruntukannya, seperti acara adat apa yang berlangsung. Misalnya, di Kirab Malam 1 Suro, Pura Mangkunegaran mengharuskan para perempuan untuk mengenakan kebaya hitam formal yang dikenakan bersama kain serta rambut disanggul dengan aksesori minimalis.Tak hanya itu, pakem yang mengatur sosok pemakainya juga membuat kebaya memiliki filosofi tersendiri. Kebaya menjadi penanda kedewasaan, di mana seorang perempuan baru boleh mengenakan kebaya setelah dia akil balig atau menstruasi. Anak perempuan yang belum haid mengenakan sabuk wala atau kain yang dililit menjadi kemben.Kemudian, bagi perempuan yang masih lajang sedianya mengenakan jenis kebaya kartini pendek. Perempuan yang sudah menikah memakai kebaya kutubaru pendek, sementara putri raja atau permaisuri mengenakan kebaya panjang selutut.Meskipun jenis-jenis kebaya ini sudah bebas dipakai di masyarakat, Mangkunegaran masih menerapkan pakem ini, terutama di acara-acara adat.Pentingnya mempelajari pakem kebayaFashion show keluarga Mangkunegaran di pameran Angsukayana. Foto: Dok. MangkunegaranTerkait modernisasi kebaya, Gusti Sura justru sangat mendukung anak-anak muda untuk berkreasi. Kendati demikian, ia berpesan, padu padan kebaya harus dilakukan dengan bijak.“Tetap jangan lupa untuk menggali pengetahuan dan wawasan tentang sejarah dan pakem berkebaya, sehingga dapat lebih bijak dalam memadu-padankan kebaya,” ujar Gusti Sura.“Saat ini, banyak sekali yang saya lihat, pemakaian kebaya lengkap secara formal (jawi jangkep), sanggul Jawa pakem, kain jarik yang diwiru, tetapi memakai sneakers atau sepatu kets, itu terlihat kurang pas. Kalau memang mau pakai tampilan tradisional, sebaiknya, ya, semuanya sesuai pakemnya, seperti memakai selop atau mules atau sandal. Jika memang berkebaya modern, maka silakan berkreasi senyamannya,” imbuh kakak dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X, Gusti Bhre, ini.Fashion show keluarga Mangkunegaran di pameran Angsukayana. Foto: Dok. MangkunegaranContent creator Bev Tan juga memiliki pandangan yang sama. Bev menjelaskan, mengkreasikan kebaya dengan tampilan modern adalah langkah yang baik untuk memasukkan kebaya ke dalam wardrobe sehari-hari. Meski begitu, mempelajari pakem-pakem kebaya tetap harus dilakukan.“Menurutku, penting buat pakem itu dicari tahu dan dipelajari. Namun, kita juga tetap enggak takut untuk eksplorasi kebaya di zaman kita sekarang,” ungkap Bev ketika diwawancarai pada Rabu (23/7).Sementara itu, menurut penggiat kebaya dan seniman tari Ni Ketut Putri Minangsari, kebaya sejatinya akan memancarkan martabat dan auranya ketika dipadukan dengan pakemnya, seperti kain batik. Meskipun begitu, ia tetap menghargai padu padan yang lebih modern, asalkan dengan cara yang tetap elegan.“Menurut saya, kebaya paling pantas dan paling menampakkan aura dan martabatnya apabila dipadukan dengan bawahan yang, walaupun bukan kain maupun sarung, tetap menyerupai kain, seperti misalnya kulot dengan kain penutup di depannya, rok lilit yang panjangnya sebetis, dan semacamnya, Kebaya adalah simbol keanggunan, kebersahajaan perempuan Indonesia,” jelas Putri kepada kumparanWOMAN.Kebaya modern dari kacamata desainerSri Mulyani bersama desainer Didiet Maulana. Foto: dok. Didiet MaulanaDesainer kondang Didiet Maulana turut mendukung modernisasi kebaya di zaman sekarang. Dalam mendesain kebaya pun, ia tetap melakukan modifikasi yang sejalan dengan tren. Kendati demikian, itu semua dia lakukan tetap dengan mempertahankan pakem-pakem kebaya yang ada.“Jadi sebisa mungkin, saya ikut pakem, lalu sesudah itu kita akan modifikasi. Karena dulu saya ambil kuliah arsitektur, di arsitektur itu ada yang namanya dekonstruksi. Ketika kita mendekonstruksi atau mengubah sesuatu, kita harus tahu konstruksi awalnya seperti apa. Jadi, pertama, harus belajar pakemnya dulu, baru setelah itu kita modifikasi agar tidak salah arah,” ucap Didiet saat diwawancarai.Ia pun berharap, dengan adanya modernisasi, kebaya akan terus bertahan di tengah arus budaya populer ini.Gaya Prilly Latuconsina saat Pakai Kebaya di Momen Wisuda Foto: Instagram @prillylatuconsina96“Menurut saya, memang sudah seharusnya sebuah produk budaya itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman, asal memang tetap perlu tahu norma ketika memakainya,” tegas Didiet.Pun dengan Gusti Sura yang berharap, kebaya tidak menjadi sekadar tren fashion belaka. Kebaya, dengan segala kesakralan dan filosofinya, diharapkan terus langgeng tanpa tergerus aliran waktu.“Harapan saya adalah semoga kebaya terus lestari dan semakin banyak masyarakat yang bisa memahami makna dan nilai luhur dari kebaya, sehingga kebaya tidak hanya dipandang sebagai sekedar tren fashion,” tutup Gusti Sura.