Ilustrasi ladang pohon ganja. (Unsplash)JAKARTA - Di bawah terik matahari musim panas, Abderrahman Talbi mengamati barisan bunga ganja yang mekar merekah di ladangnya yang rapi di dekat rumah. Di benaknya, terlintas tentang perjalanan hidupnya berubah drastis setelah terjun dalam industri ganja legal yang berkembang pesat di Maroko.Seperti banyak petani di pegunungan Rif utara yang telah lama menanam ganja secara ilegal, Talbi merasa lega karena penggerebekan dan penyitaan oleh pihak berwenang tidak lagi menjadi kekhawatirannya.“Saya sekarang dapat mengatakan bahwa saya adalah seorang petani ganja tanpa rasa takut,” kata Talbi kepada Reuters.“Pikiran yang tenang, tak ternilai harganya,” sambungnya.Ilustrasi pria memegang daun ganja. (David Gabric-Unsplash) Peralihan Talbi menjadi petani komoditas ganja legal menjadi contoh dari apa yang diharapkan Pemerintah Maroko. Maroko melegalkan budidaya ganja bukan untuk tujuan rekreasi, tapi untuk keperluan medis dan industri seperti kosmetik sejak 2022.Sejak saat itu, kebijakan pertanian ganja legal membawa harapan akan pendapatan baru dan revitalisasi ekonomi di wilayah Rif yang miskin.Kebijakan tersebut juga telah menjadikan Maroko sebagai salah satu produsen ganja terbesar dan utama di dunia, termasuk yang pertama di Afrika Utara dan geografis Timur Tengah menurut G8. Langkah Maroko ini menginspirasi Kanada, Jerman, dan Uruguay yang akhirnya melegalkan produksi dan penggunaan ganja.Langkah ini juga diharapkan dapat menarik minat petani ganja di pegunungan Rif untuk tidak terjun ke distribusi ilegal mengikuti kebijakan Pemerintah Maroko.Daya Tarik Ganja Ilegal dan Pasar GelapRegulator ganja Maroko atau ANRAC mencatat, upaya legalisasi ganja telah membuat 5.000 petani bergabung dengan industri ini sejak awal 2025.Keadaan itu membuat produksi ganja legal melonjak menjadi hampir 4.200 ton hanya pada tahun 2024, meningkat 14 kali lipat dibandingkan panen pertama pada tahun 2023.Namun, pasar gelap tetap mendominasi di Maroko seiring cuan dan banyaknya permintaan penggunaan ganja untuk rekreasi dari Eropa dan kawasan di Afrika. Kondisi ini berpotensi melemahkan upaya pemerintah dalam mengatur sektor ganja legal.Ilustrasi. Anggota Polri mencabut tanaman ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Desa Argosari, Lumajang, Jatim, Jumat 20 September 2024. (ANTARA FOTO-Irfan Sumanjaya) Maroko diketahui memiliki lahan ganja legal seluas 14.300 acre atau 5.800 hektare menurut data ANRAC. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan budi daya ganja ilegal yang mencakup lebih dari 27.100 hektare, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Maroko.Penindakan terhadap banyaknya petani ganja ilegal di Maroko juga tetap tidak membuat pelakunya jera. Bahkan aparat terus meningkatkan penyitaan. Kemendagri Maroko mencatat, sebanyak 249 ton resin ganja disita dari petani ganja ilegal sejak 2023 hingga September 2024.Kebijakan MarokoSelain banyaknya permintaan pasar gelap dan lebih menguntungkan, faktor petani memilih bertani ganja secara ilegal di Maroko lantaran larangan distribusi dan pemakaian ganja untuk rekreasi, perizinan pertaniannya yang berbelit-belit, pembatasan jumlah panen, dan penyaluran hasil pertanian yang harus berizin khusus dari ANRAC.Petani yang ingin membudidayakan ganja secara legal juga diwajibkan bergabung dengan koperasi berlisensi. Koperasi tersebut membeli produk petani ganja dan mengolahnya menjadi produk turunan atau menjual resinnya ke produsen berlisensi lain.Talbi yang merupakan petani ganja legal juga mempunyai koperasi berlisensi terkait hal ini. Namanya Biocannat. Kantor koperasi itu berdiri di Kota Bab Berred, 300 km di utara Rabat.Pada 2024, Biocannat membeli sekitar 200 ton ganja dari sekitar 200 petani di Maroko. Koperasi itu kemudian mengembangkan hasil pertanian ganja legal tersebut menjadi resin, suplemen, kapsul, minyak, dan bubuk untuk keperluan medis dan kosmetik.Ilustrasi daun ganja. (Pixabay) Beda dengan Talbi, petani ganja Mohamed El Mourabit yang awalnya berharap besar pada legalisasi ganja terjadi di Maroko kini merasa pesimis dapat menerapkan prosedur pemerintah menjual secara legal.“Prosesnya terlalu rumit,” ujar petani asal Issaguen, Maroko.El Mourabit akhirnya memilih bertani ganja dan mendistibusikannya secara ilegal. Ia juga tergiur dengan harga jual ganja yang lebih tinggi di pasar gelap.Di satu sisi, jika bertani dan menjualnya secara legal ke koperasi, proses pencairan uang hasil penjualannya perlu waktu berbulan-bulan.Belum lagi, koperasi hanya mampu menghargai tanaman mentah ganja 50 dirham atau Rp224 ribu per kilogram. Sementara di pasar gelap, resin ganja olahan dapat mencapai 2.500 dirham atau Rp11 juta per kilogram.Harga jual yang jomplang tersebut dikritik petani dan para aktivis legalisasi ganja Maroko. Mereka mendorong agar Pemerintah Maroko mengizinkan para petani menanam ganja dan mendistribusikannya untuk keperluan konsumen rekreasi. Namun hal tersebut dinilai tidak akan terwujud dalam waktu dekat.Kepala ANRAC, Mohamed Guerrouj menegaskan, melegalkan penggunaan ganja untuk rekreasi hanya akan dipertimbangkan dalam kerangka medis.“Tujuannya adalah untuk mengembangkan industri farmasi Maroko ... bukan kedai kopi,” ujar Guerrouj.