Kemerdekaan, Kemiskinan, dan Pendidikan

Wait 5 sec.

Ilustrasi HUT RI. Sumber: freepik.comTiga minggu lagi, Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-80. Setiap tahun, bendera merah putih berkibar di seluruh penjuru negeri, lagu-lagu perjuangan menggema, dan pidato-pidato penuh semangat disampaikan di berbagai forum. Namun, di tengah euforia itu, sudah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya: apa arti kemerdekaan hari ini bagi jutaan rakyat Indonesia?Data terbaru dari World Bank tahun ini seharusnya membuat kita tertegun. Dengan standar negara berpendapatan menengah atas—yang kini menjadi kelas Indonesia di mata dunia—sebanyak 68,3 persen penduduk kita masih tergolong miskin, hidup dengan kurang dari $8,30 per hari. Bahkan dengan standar negara menengah bawah, hampir 20 persen rakyat kita masih masuk kategori miskin. Sementara itu, angka kemiskinan nasional versi BPS 8,57 persen. Angka-angka ini bukan sekadar soal statistik, melainkan cermin dari suramnya realitas yang dihadapi rakyat di negeri ini. Di balik angka-angka itu, ada jutaan wajah petani yang gagal panen, buruh yang upahnya tak cukup untuk makan layak, anak-anak yang harus putus sekolah karena tak sanggup membeli seragam atau buku.Pendidikan selama ini diyakini sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Namun, realitas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu menjadi jembatan yang efektif untuk mobilitas sosial. Banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan, bahkan setelah memperoleh ijazah dan gelar.Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia bahkan di negara maju seperti Inggris. Studi Dr. John Goldthorpe, sosiolog dari University of Oxford, menunjukkan bahwa lebih dari setengah abad reformasi pendidikan di Inggris pun gagal secara signifikan meningkatkan mobilitas sosial.Anak-anak dari keluarga kurang mampu yang memasuki pasar kerja saat ini menghadapi prospek yang lebih suram dibandingkan orang tua atau kakek-nenek mereka, meskipun mereka memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih baik.Goldthorpe menyoroti bahwa keluarga-keluarga yang lebih beruntung secara ekonomi dan sosial selalu menemukan cara untuk mempertahankan posisi mereka di puncak tangga sosial. Mereka memanfaatkan segala sumber daya—dari akses pendidikan berkualitas, jaringan sosial, hingga dukungan finansial.Kondisi serupa juga terjadi di negara kita. Anak-anak dari keluarga mampu cenderung memiliki akses ke sekolah-sekolah terbaik, bimbingan belajar, fasilitas penunjang, dan lingkungan yang mendukung perkembangan akademik. Sementara itu, anak-anak dari keluarga miskin harus berjuang dengan keterbatasan guru, fasilitas, dan akses sumber daya pendidikan lainnya.Mengandalkan kebijakan pendidikan saja tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan sosial. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih komprehensif, seperti meningkatkan kualitas layanan publik, memperbaiki infrastruktur, dan memperluas kesempatan kerja yang layak. Pendidikan memang penting, tetapi tanpa dukungan kebijakan ekonomi dan sosial yang menyeluruh, upaya menuntaskan kemiskinan melalui pendidikan akan selalu terbatas hasilnya.Refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan pahit, kemerdekaan yang kita rayakan belum sepenuhnya bermakna bagi semua. Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga bebas dari kemiskinan dan kebodohan.Jika kita ingin 80 tahun kemerdekaan ini benar-benar bermakna, kita harus berani menuntut perubahan yang lebih mendasar dan pendidikan harus menjadi prioritas utama.Menjelang perayaan kemerdekaan nanti, mari kita kembali bertanya, sudahkah kemerdekaan ini benar-benar kita rasakan bersama?Delapan puluh tahun adalah waktu yang panjang, tapi perjalanan menuju kemerdekaan sejati masih jauh dari selesai. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik, untuk menagih janji kemerdekaan: pendidikan yang bermutu, kehidupan yang layak, dan kesempatan yang setara bagi semua. Karena kemerdekaan, pada akhirnya, adalah hak setiap manusia—bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang harus kita perjuangkan bersama.