Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (tengah), Perdana Menteri Kamboja Hun Manet (kiri) dan Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai berjabat tangan di Putrajaya, Malaysia, 28 Juli 2025. (ANTARA/Xinhua/Bernama)JAKARTA – Kamboja dan Thailand telah menyepakati gencatan senjata, dengan Malaysia sebagai mediator. Namun, situasi belum sepenuhnya tenang ketika bayang-bayang persaingan kekuatan besar kembali muncul.Pertempuran antara tantara Thailand dan Kamboja pecah sejak Kamis (24/7/2025). Konflik ini mengguncang Asia Tenggara. Selama pertempuran tersebut, lebih dari 250.000 orang mengungsi, setidaknya 35 orang meninggal dunia, dan situs-situs warisan budaya kembali menjadi korban dalam tarik-menarik kepentingan nasional.Namun di balik gencatan senjata ini ada kisah lain yang lebih mendalam: tentang kinerja geopolitik, diplomasi transaksional, dan pertanyaan yang masih menggantung tentang siapa yang benar-benar berhak membentuk perdamaian di Asia Tenggara.Salah satu yang menjadi sorotan, Amerika Serikat dan China mengeluarkan pernyataan selama krisis. Apa maksudnya?Tentara Kamboja mengisi ulang peluncur roket BM-21 di Provinsi Preah Vihear ketika pertempuran berkecamuk melawan Thailand pada Kamis, 24 Juli 2025. (AFP)Eskalasi Paling SeriusPecahnya pertempuran antara Thailand dan Kamboja pada 24 Juli terlihat tiba-tiba, padahal sebenarnya sama sekali tidak mendadak atau tidak terduga. Hubungan kedua negara tersebut memang sudah sejak lama diwarnai pasang surut, utamanya terkait sengketa wilayah perbatasan yang panjang dan berhutan lebat.Penyebabnya adalah sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand yang berakar pada ketidakjelasan demarkasi yang berasal dari Perjanjian Prancis-Siam tahun 1904, yang menetapkan beberapa batas wilayah antara Kerajaan Siam (sekarang Thailand) dan Indochina Prancis (sekarang Kamboja, Laos, dan Vietnam).Salah satu yang menjadi sengketa di antara Thailand dan Kamboja adalah Kuil Preah Vihear yang sebenarnya terjadi sejak puluhan tahun lalu. Pada 2008, Kamboja mencoba mendaftarkan kuil yang dibangun di abad ke-11 ini sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Langkah ini disambut protes keras dari Thailand.Dalam dua bulan terakhir, kedua negara memberlakukan pembatasan di perbatasan satu sama lain. Kamboja melarang impor dari Thailand seperti buah-buahan dan sayuran, serta menghentikan impor layanan listrik dan internet.Candi Preah Vihear yang diperebutkan Kamboja dan Thailand. (ANTARA)Pertempuran di sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand ini sekaligus menandai eskalasi paling serius antara kedua negara dalam lebih dari satu dekade.Di tengah pertempuran, Malaysia selaku ketua ASEAN menawarkan diri untuk menengahi. Tak butuh waktu lama, pemerintah Kamboja dan Thailand sepakat bertemu di Putrajaya hingga tercapailah gencatan senjata pada 28 Juli lalu.Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang turut menengahi perundingan tersebut, menyebut gencatan senjata adalah langkah awal yang vital menuju deeskalasi dan pemulihan perdamaian dan keamanan.Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyebut perundingan ini sebagai pertemuan yang sangat baik. Ia pun berharap dapat segera menghentikan pertempuran.Langkah Berani MalaysiaMeski konflik ini melibatkan dua negara Asia Tenggara, namun menurut sejumlah kalangan insiden ini menjadi panggung bagi dua negara adidaya. Sesaat setelah gencatan senjata diumumkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan kredit kepada dirinya sendiri melalui unggahan di media sosial.“Baru saja berbicara dengan Penjabat Perdana Menteri Thailand dan Perdana Menteri Kamboja. Dengan gembira saya umumkan bahwa, setelah keterlibatan Presiden Donald J. Trump, kedua negara telah mencapai GENCATAN SENJATA dan PERDAMAIAN. Selamat untuk semuanya!”Ia menambahkan, “Saya telah menginstruksikan Tim Perdagangan untuk memulai kembali negosiasi perdagangan.” Pernyataan ini merujuk pada komentar Trump sebelumnya bahwa perundingan tarif bergantung pada gencatan senjata.Berbeda dengan AS, China tidak membingkai pengaruh mereka dalam konteks pemaksaan atau perdagangan. Sebaliknya, China justru memperkuat posisinya seperti biasa: tampil netral sambil secara berhati-hati menyelaraskan diri dengan preferensi Kamboja untuk arbitrase hukum.Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Senin (28/7/2025) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)Pemerintah China mendukung langkah ASEAN dalam penyelesaikan konflik antara dua negara anggotanya yaitu Kamboja dan Thailand."China menjaga sikap untuk adil dan tidak memihak serta terus berkomunikasi erat dengan kedua belah pihak, secara aktif memfasilitasi perundingan perdamaian, dan memainkan peran konstruktif dalam mencapai gencatan senjata," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun.Dari sana terlihat kontrasnya kedua negara tersebut. AS menginginkan solusi cepat dan pengaruh, sedangkan China lebih menyukai pengaruh dan kehadiran yang lambat. Namun sebenarnya kedua kekuatan besar ini berupaya membentuk tatanan regional, dan keduanya mengamati dengan saksama bagaimana Malaysia memfasilitasi perundingan tersebut.Malaysia menunjukkan bahwa ASEAN masih dapat bertindak ketika ada konflik di wilayah tersebut. Langkah Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk menjadi tuan rumah perundingan dan mempertemukan kedua pihak merupakan langkah yang berani dan perlu.“Gencatan senjata mungkin tidak akan terwujud tanpa intervensi semacam itu,” demikian mengutip The Diplomat.Intervensi Non-RegionalNamun ada celah di sana, prinsip non-intervensi ASEAN yang dijunjung tinggi semakin tidak bisa dipertahankan dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan nasionalisme yang dimiliterisasi. Dan yang lebih penting, ASEAN berisiko menjadi medan pertempuran bagi kekuatan eksternal, alih-alih platform untuk solidaritas internal.Menurut The Diplomat, diplomasi performatif Trump, yang menekan para pemimpin Asia Tenggara melalui ancaman perdagangan, merupakan upaya membangun perdamaian transaksional yang palng buruk.“Hal ini mungkin memberikan hasil langsung, tetapi justru melemahkan rasa kepemilikan lokal atas penyelesaian konflik,” tulis The Diplomat.“Jika perdamaian merupakan hasil dari tekanan eksternal, bukan dialog internal, maka perdamaian tersebut memang rapuh sejak awal.”Warga sipil Kamboja beristirahat di tempat penampungan sementara di Provinsi Oddar Meachey saat terjadi konflik antara Thailand dan Kamboja, Jumat (25/7/2025). (ANTARA/REUTERS/Soveit Yarn/agr)Sedangkan China yang terlihat lebih kalem, mungkin dianggap lebih menghormati kedaulatan ketimbang AS. Padahal di balik itu, peran Beijing juga strategis. Semakin dapat menanamkan diri dalam proses ASEAN tanpa terkesan memaksa, maka China dapat memperluas pengaruhnya secara diam-diam.Sehingga boleh dibilang, gencatan senjata terjadi, tetapi dinegosiasikan di bawah pengawasan ketat dua negara adidaya dan dipersatukan oleh ikatan diplomatis.Gencatan senjata yang diumumkan antara Thailand dan Kamboja pada 28 Juli sungguh luar biasa. Bukan karena bagaimana gencatan senjata tersebut mengakhiri pertempuran, melainkan karena bagaimana gencatan senjata tersebut mengungkap arsitektur pengaruh yang membentuk perdamaian saat ini.AS dan China sama-sama hadir di Asia Tenggara. Yang satu berteriak, yang lain hanya berbisik. Yang satu menawarkan kesepakatan, yang lain menawarkan kerangka kerja. Tapi satu yang pasti, keduanya mengamati, menunggu, dan berhitung.Sementara itu, Malaysia juga menjadi sorotan. Perannya sebagai mediator menunjukkan bahwa ASEAN bisa lebih dari sekadar pengamat.Tapi meski gencatan senjata tercapai, ada pertanyaan besar dari kejadian ini. Bisakah ASEAN menyelesaikan konflik sendiri dengan caranya sendiri? Atau apakah sengketa regional kini ditakdirkan untuk diselesaikan hanya ketika Washington atau Beijing menginginkannya?