Bapak Jesica, Juladi Boga Siagian (54) saat menunjukan akses rumahanya yang ditutup seng. Foto: Dok. IstimewaMenggendong tas berwarna ungu dengan motif hitam putih, Jesica Emannuela Siagian (7) bersiap pergi ke sekolah. Namun, bukan sepatu yang ia gunakan melainkan sepasang sandal bewarna putih.Bukan tanpa alasan mengapa Jesica justru mengenakan sandal saat berangkat. Sebab Jesica harus melewati bantaran kali yang licin ketika harus berangkat ke sekolah.Tas yang ia gendong tadi sudah berpindah ke pundak sang ibu Imelda Tobing (55). Sepasang ibu anak itu bergegas menyusuri bantaran Anak Sungai Kaligarang di Jalan Lamongan Selatan, Kelurahan Bendan Ngisor, Semarang yang berbatu dan licin.Imelda berkali-kali mengingatkan agar bocah dengan seragam merah putih itu melangkah dengan hati-hati. Agar tak terjatuh ke dalam sungai dan terluka. Selain itu mereka juga harus melewati pembuangan dari kakus milik warga.Setelah melewati bantaran kali itu, keduanya dengan hati-hati menaiki sebuah tangga kecil untuk menuju jalan raya. Jesica tampak semangat karena hari ini ada pelajaran kesukaannya, matematika."Suka pelajaran matematika," ujar Jesica saat ditemui wartawan, Senin (28/7).Bukan tanpa alasan mengapa Jesica harus menempuh jalan penuh tantangan itu ketika harus berangkat sekolah. Sebab saat ini kedua orang tuanya sedang bersengketa terkait kepemilikan tanah.Bapak Jesica, Juladi Boga Siagian (54) mengatakan, dirinya sudah menempati rumah itu pada 2011. Rumah itu dibeli dari seseorang bernama Zainal dengan cara mencicil Namun berjalannya waktu Zainal meninggal dan tanah itu berganti pemilik ke adiknya yang bernama Sri Rezeki."Ada ditulis hitam di atas putih tanpa meterai ini tanah milik pak Juladi. Bergulir waktu pak Zaenal meninggal, saya dituduh serobot tanah," jelas dia.Bapak Jesica, Juladi Boga Siagian (54) saat menunjukan akses rumahanya yang ditutup seng. Foto: Dok. IstimewaKasus ini akhirnya di meja hijaukan. Pengadilan Negeri Semarang menyatakan bahwa tanah itu milik Sri bukan milik Juladi.Juladi tak terima dan mengajukan banding sebagai perlawanan.Namun Sri menutup akses rumah itupada Kamis 24 Juli 2025 dengan seng sehingga Juladi tidak bisa keluar. Praktis akses satu satunya keluarga itu hanya melewati bantaran kali di belakang rumahnya."Maka satu-satunya akses untuk saya keluar adalah lewat sungai. Termasuk anak saya kalau sekolah. Ini sekarang tidak hujan, kalau hujan bagaimana, tidak bisa keluar. Iya kalau hujan, kalau kebakaran bagaimana," keluh Juladi yang bekerja sebagai pengepul barang rongsok itu.Sementara dari sisi Sri Rezeki yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya Roberto Sinaga menegaskan, pihaknya hanya menjalankan penegakan hukum yang benar. Pihaknya sempat melakukan mediasi dengan Juladi tapi berakhir buntu."Nah, kita kembali kepada dasar hukumnya yang mana dasar hukum secara yang diakui negara itu kan setara dengan SHM, SHGB, SHGU kan seperti itu. Dan dibuat di depan pejabat yang diberi wewenangan oleh negara. Nah, jadi setiap orang yang memiliki pihak yang diberi negara, itu kan sah," jelas dia.Ia menyebut, Juladi tak bisa menunjukkan bukti autentik terkait kepemilikan tanahnya. Ia hanya menunjukkan denah rumah dengan coretan bolpoin sehingga legalitasnya tidak kuat."Hakim juga sudah sudah memeriksa bukti-bukti surat. Oleh karena itu dia divonis secara pidana terbukti menggunakan lahan tanpa hak," ungkapnya.Pihaknya sendiri tak ingin mengakuisisi rumah Juladi secara keseluruhan atau hanya mengakusisi 3,5 meter saja. Sebab, sisa lahan yang dibangun rumah oleh Juladi itu masuk ke wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS)."Itu daerah aliran sungai satu. Walaupun sertifikat. Kan kalau ada ketentuannya secara peraturan pemerintah daerah daerah aliran sungai itu kan dikembalikan ke Pemda. Iya, jadi saya tidak ubah itu, yang saya tulis berdasarkan sesuai sertifikat BPN," imbuh dia.Menurut dia, penutupan rumah itu dilakukan karena Juladi dianggap membikin resah warga. Pihaknya banyak menerima laporan dari warga yang tak senang dengan tingkah laku Juladi."Beberapa laporan sama masyarakat dan anak kos yang ada di situ kan kos-kosan. Itu mereka sudah tidak nyaman. CCTV kemarin juga rusak. Kan ada CCTV situ. Itu baru kami kerjain itu kemarin pas kami nutup," tegas dia.Terkait nasib anak Juladi yang berangkat sekolah dengan menyusuri bantaran kali, Roberto justru menuding Juladilah yang mengeksploitasi anaknya, padahal ia melanggar hukum."Kalau orang tuanya menempatkan anak dan mengeksploitasi anak, itu sudah salah orangtuanya. Sekarang kok dibiarkan kayak gitu. Orangtuanya yang melakukan pelanggaran hukum, anaknya yang jadi korban," kata Roberto.Di sisi lain Camat Gajahmungkur, Puput Widhiatmoko berharap kasus ini bisa segara menemukan titik terang. Ia tak ingin anak Juladi yang menjadi korban atas permasalahan kedua orangtuanya."Menurut warga hubungan komunikasi (Juladi) dengan warga tidak bagus. Kalau akses ditutup seperti kejadian ini dikhawatirkan anak ini ke depan mempunyai beban psikologis. Kasihan, permasalahan orang tua, anak terlibat. Tadi kami ketemu Bu Sri Rejeki, pengacara akan datang hari Kamis. Saya, Lurah, RT akan komunikasi langsung dengan pengacara, semoga ada jalan terbaik," kata dia.