Tanpa Regulasi Jelas, Kesepakatan Penyadapan Kejaksaan dan Operator Telekomunikasi Sangat Merugikan Masyarakat

Wait 5 sec.

Kesepakatan penyadapan antara Kejaksaan Agung dan empat operator seluler dinilai sangat merugikan masyarakat. (Unsplash) JAKARTA – Kejaksaan Agung melakukan kerja sama dengan empat operator telekomunikasi untuk mempermudah proses penyadapan dalam rangka penindakan hukum. Namun, menurut pengamat dan pegiat hal digital, kerja sama ini problematis.Kerja sama tersebut dilakukan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk, dan PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk.Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani menjelaskan, kerja sama ini akan mempermudah tim penyidik mengakses data dan informasi yang bersifat terbatas.“Nota kesepakatan ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data dan/atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi,” ujar Reda dalam keterangan tertulis, Rabu (25/6/2025).Namun penyadapan oleh Kejagung menuai kritik berbagai kalangan. Apalagi, kejaksaan tidak memiliki Undang-Undang Penyadapan sehingga kebijakan ini berpotensi melanggar hak-hak atas perlindungan data pribadi.Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung Reda Manthovani (tengah) menandatangani nota kesepahaman dengan empat perusahaan telekomunikasi di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (24/6/2025). (ANTARA/HO-Kejaksaan Agung RI)Lawful InterceptPakar telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, penyadapan oleh aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai Badan Intelijen Negara (BIN), atau lembaga lain yang memilki kewenangan tersebut tetap harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai ketentuan hukum.Heru menyebut penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung dan empat operator telekomunikasi memicu kekhawatiran publik soal pelanggaran perlindungan data pribadi."Kalau berdasar UU (Undang-Undang) Telekomunikasi, penyadapan dibolehkan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan atau disebut lawful intercept," kata Heru."Hanya saja, penyadapan haruslah dilakukan tidak secara serampangan. Harus jelas siapa disadap, kenapa disadap, kasus apa, dan berjangka waktu," kata dia menambahkan.Sebagai informasi, lawful intercept adalah kegiatan penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan izin dan kewenangan resmi berdasarkan undang-undang. Tujuannya untuk mengumpulkan bukti dalam penyelidikan kasus-kasus serius seperti korupsi, terorisme, atau narkoba.Ketua DPR RI Puan Maharani memberi keterangan kepada awak media di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (27/5/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi/aa)Untuk itu, ia menekankan pentingnya mekanisme audit atas kegiatan penyadapan sehingga kegiatan ini dapat dipertanggungjawabkan serta mencegah penyalahgunaan wewenang."Jangan sampai, penyadapan kemudian jadi alat mata-mata di luar kasus yang boleh disadap," tegasnya.Ketua DPR Puan Maharani ikut mewanti-wanti potensi pelanggaran atas data pribadi yang bisa dilakukan oleh kejaksaan. Meski penegakan hukum sangat penting, Puan menekankan kejaksaan harus tetap memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional.Perlu Pembatasan PenyadapanPenyadapan, kata Wahyudi Djafar, tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang karena sifatnya membatasi hak asasi seseorang. Oleh karena itu, ia menilai pembatasan atas penyadapan harus tetap ada. Bentuknya dapat berupa ketentuan, seperti penyadapan wajib mendapat surat perintah pengadilan atau untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang cukup."Tidak bisa kemudian secara umum melakukan pemantauan," kata Wahyudi Djafar, peneliti kebijakan digital dari Raksha Initiatives.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada 30 C menyebut "penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana."Namun ditegaskan Wahyudi, Undang-Undang Penyadapan tersebut belum ada sehingga kejaksaan belum memiliki regulasi yang mengatur pembatasan penyadapan.Tanpa pembatasan penyadapan yang jelas, Wahyudi menilai Kejaksaan bisa mengakses data secara terus-menerus, melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komuniasi personal melalui provider-provider telekomunikasi yang melakukan kesepakatan dengan Kejagung."Ini sangat-sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara," ujar Wahyudi menyudahi.