Menyoal Lonjakan PHK hingga Perusahaan Tunda Ekspansi Bisnis

Wait 5 sec.

Ilustrasi buruh textile. Foto: Dong Nhat Huy/ShutterstockWakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer mengakui adanya lonjakan angka Putus Hubungan Kerja (PHK) pada periode Januari-Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.Berdasarkan Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), ada 42.385 tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari-Juni 2025. Angka ini naik 32,19 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.Secara daerah, Jawa Tengah masih jadi penyumbang PHK terbanyak yaitu 10.995 kasus, kemudian Jawa Barat 9.494 kasus, kemudian 4.257 kasus PHK sepanjang Januari-Juni 2025 di Banten disusul di Jakarta sebanyak 2.821 kasus, dan 2.246 kasus di Jawa Timur.Pria yang akrab disapa Noel itu memandang, banyak faktor yang bisa menyebabkan terjadinya lonjakan PHK, mulai dari faktor eksternal hingga dinamika di lingkungan kawasan industri.Wamenaker Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) di FGD bersama pengusaha tekstil di Jakarta, Senin (17/3/2025). Foto: Dok. Kemnaker“Ini kan angka lonjakan PHK memang mungkin meningkat ya, sekian persen itu tadi. Ya memang kan kondisi global ini hari ini tidak baik-baik saja,” kata Noel saat ditemui di acara Dewas BPJS Menyapa Indonesia di Auditorium BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7).Meskipun PHK terjadi dalam jumlah yang tinggi, Noel menilai serapan tenaga kerja juga dinilai banyak. Menurut dia, ada sejumlah wilayah yang tengah mengalami ekspansi kawasan industri dan jadi pusat baru penyerapan tenaga kerja, seperti Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.Lebih lanjut Noel mengatakan meski angka PHK Januari-Juni dalam jumlah yang tinggi, namun pemerintah telah bekerja memitigasi agar kasus-kasus PHK tidak semakin banyak.Apindo: Lebih dari 50% Perusahaan PHK Karyawan-Tunda EkspansiKetua Umum Apindo Shinta Kamdani di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (16/7/2024). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanKetua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan berdasarkan survei Apindo, ada lebih dari 50 persen perusahaan responden menyatakan telah mengurangi jumlah tenaga kerja, dan sebagian besar masih berencana melakukan pengurangan lanjutan dalam waktu dekat.Dia mengaitkan kondisi dunia usaha saat ini berkaitan dengan kondisi geopolitik. “Akhirnya, banyak yang bersikap dengan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru,” ujar Shinta dalam acara Dewas BPJS Menyapa Indonesia di Auditorium BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7).Saat ini Indonesia masuk ke dalam deretan negara dengan produktivitas tenaga kerja terendah di ASEAN, angkanya hanya USD 23,57 ribu per pekerja, lebih rendah dari rata-rata kawasan yang mencapai USD 24,27 ribu.Menurut Shinta penyebabnya adalah keahlian tenaga kerja yang belum bisa mengikuti transformasi industri ke arah otomatisasi dan digitalisasi.Shinta menekankan pentingnya peningkatan literasi digital, pelatihan vokasi (vocational upscaling), dan pembenahan ekosistem pendidikan agar selaras dengan kebutuhan industri.“Tanpa itu, kita bukan hanya tertinggal, tapi juga kehilangan relevansi di tengah kompetisi kawasan. Kita bukan satu-satunya negara di dunia. Kompetisi dan daya saing harus menjadi perhatian utama,” tegasnya.