Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pexels/MLuthfi Abdul Latif)YOGYAKARTA - Bhinneka Tunggal Ika tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia. Ungkapan ini menghiasi pita yang dicengkeram oleh kaki burung Garuda dalam lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.Dalam bahasa Sanskerta, Bhinneka berarti “beraneka” atau “berbeda-beda”, Tunggal berarti “satu”, dan Ika berarti “itu”. Jika digabungkan, maknanya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Filosofi mendalam ini menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan bahasa di Indonesia.Asal-Usul Bhinneka Tunggal IkaUngkapan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah semboyan baru yang dibuat saat Indonesia merdeka. Frasa ini berasal dari abad ke-14, tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Ungkapan tersebut ditemukan dalam kitab Kakawin Sutasoma karya sastrawan Jawa klasik bernama Mpu Tantular.Dalam pupuh 139 bait 5 kitab tersebut, Mpu Tantular menulis:“Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”Yang artinya:Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali?Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggalTerpecah belahlah itu, tetapi satu tetap satu jua. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.Bait ini menggambarkan upaya penyatuan dua ajaran besar yang berkembang di Nusantara saat itu, yaitu Buddha dan Siwa (Hindu). Mpu Tantular menegaskan bahwa meskipun kedua ajaran tersebut terlihat berbeda, pada hakikatnya memiliki inti kebenaran yang sama. Dengan kata lain, perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah belah, melainkan sebuah kekayaan yang patut dihargai dan disatukan.Tokoh-Tokoh Nasional Mengangkat Bhinneka Tunggal IkaRatusan tahun setelah Kakawin Sutasoma ditulis, seorang orientalis asal Belanda, Johan Hendrik Casper Kern, meneliti dan menyusun naskah-naskah kuno Nusantara, termasuk kitab ini dalam karyanya Verspreide Geschriften. Salah satu tokoh pergerakan nasional, Mohammad Yamin, membaca tulisan itu dan terinspirasi dengan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Ia kemudian memperkenalkannya dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei 1945.Ir. Soekarno, tokoh sentral proklamasi kemerdekaan sekaligus perancang lambang negara, juga mengusulkan semboyan ini saat menyusun simbol Garuda Pancasila. Semboyan ini akhirnya diresmikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 dan sejak saat itu resmi menjadi semboyan nasional Indonesia.Nilai Filosofis yang Tetap RelevanAwalnya, Bhinneka Tunggal Ika berfungsi sebagai jembatan toleransi antaragama, khususnya antara pemeluk Hindu dan Buddha. Namun dalam konteks modern, maknanya diperluas menjadi prinsip kesatuan dalam keberagaman seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia: agama, suku, ras, budaya, bahasa, adat istiadat, hingga sistem kepercayaan.Konsep ini juga mengandung nilai luhur tentang inklusivitas dan harmoni sosial. Di tengah ancaman disintegrasi dan intoleransi, Bhinneka Tunggal Ika berperan sebagai pengingat akan pentingnya saling menghargai perbedaan dan merawat persatuan demi keutuhan bangsa.Menariknya, para pendiri bangsa Indonesia tidak mengadopsi semboyan ini dari filsafat Barat. Mereka justru menggali dari warisan kebudayaan Nusantara yang telah memiliki nilai-nilai luhur dan filosofis tinggi. Mpu Tantular menjadi simbol bagaimana intelektual Nusantara abad ke-14 sudah memikirkan konsep persatuan dalam keberagaman.Menurut Profesor Robson dari Monash University, Kakawin Sutasoma bukan hanya kaya secara sastra, namun juga mendalam dalam unsur filsafat khas Nusantara. Mpu Tantular menekankan bahwa kebenaran tidaklah ganda (tan hana dharma mangrwa), artinya kebenaran sejati tidak memihak dan dapat merangkul semua pihak.Hari ini, semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar rangkaian kata di atas lambang negara. Ia merupakan semangat hidup bersama dalam keberagaman yang nyata di setiap sudut Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, perbedaan yang ada bukanlah pemisah, melainkan kekayaan bangsa. Semangat inilah yang membuat Indonesia tetap berdiri kokoh sebagai negara besar dengan fondasi kebhinekaan yang kuat.