Mengapa kemarau telat datang tapi fenomena ‘bediding’ tetap terasa?

Wait 5 sec.

● Juli ini seharusnya sudah memasuki musim kemarau, tetapi hujan masih mengguyur sebagian wilayah di Indonesia.● Hal ini merupakan kondisi anomali cuaca.● Fenomena ‘bediding’ pun tetap muncul meski musim kemarau tertunda.Dalam kalender musim, normalnya Juli ini sudah memasuki musim kemarau 2025. Namun, hujan masih mengguyur di sebagian wilayah Indonesia, tak terkecuali Jabodetabek. Menariknya, meski kemarau telat datang, masyarakat di bagian Selatan Indonesia tetap merasakan fenomena bediding. Berasal dari istilah bahasa Jawa, bediding adalah kondisi suhu lebih dingin di malam hingga dini hari sampai bisa membuat orang menggigil, ciri khas musim kemarau.Lantas, apa penyebab musim kemarau tak kunjung datang, sementara gejala seperti ‘bediding’ tetap terasa?Kemarau datang terlambat dan lebih singkatAda banyak faktor penyebab musim kemarau tak kunjung datang. Penyebab utamanya adalah kombinasi faktor atmosfer dan laut yang membuat udara tetap lembap dan memicu hujan, seperti:Melemahnya angin Monsun Australia, yang biasanya membawa udara kering dari benua Australia ke Indonesia dan memicu musim kemarau. Aktivitas atmosfer, seperti gelombang ekuator (Kelvin dan Rossby Equator) dan Madden-Julian Oscillation (MJO) yang sering muncul di Indonesia karena posisi negara kita yang berada di wilayah tropis. Gelombang tersebut membawa massa udara basah dan membentuk awan hujan. Anomali arah angin, yaitu munculnya angin baratan (dari Samudra Hindia ke Indonesia bagian barat) yang menggantikan angin timuran—yakni angin yang bertiup dari Benua Australia ke wilayah Indonesia yang biasa membawa udara kering.Padahal normalnya, musim kemarau di Indonesia ditandai oleh dominasi angin timuran—yakni angin dari Benua Australia ke wilayah Indonesia yang membawa udara kering dan menyebabkan berkurangnya curah hujan.Karena kondisi inilah, kendati El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD)—interaksi antara atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik serta Hindia yang memengaruhi pola curah hujan—berada dalam fase netral, curah hujan masih terus terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia sejak Mei dan kemungkinan berlanjut hingga Oktober 2025. Baca juga: Musim hujan masih berlanjut, kapan Indonesia akan memasuki masa kemarau? Lantas, apakah semua anomali cuaca ini berkaitan dengan perubahan iklim?Banyak indikasi menunjukkan korelasi kuat semua anomali cuaca (seperti kemunduran musim kemarau, peningkatan suhu muka laut, serta anomali arah angin) berkaitan dengan perubahan iklim.Namun, para ilmuwan dan peneliti perlu terus melakukan pemantauan dan analisis data iklim lebih dalam untuk menyatakan apakah anomali saat ini adalah dampak langsung dari perubahan iklim atau masih dalam rentang variabilitas iklim alami yang diperburuk oleh pemanasan global.Selain datang terlambat, durasi musim kemarau tahun ini juga diperkirakan akan berlangsung lebih singkat dari biasanya, terutama akibat curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata normal dalam beberapa bulan terakhir.Berdasarkan peta analisis curah hujan BMKG, sebagian besar wilayah di Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara masih akan diguyur hujan cukup lebat—bahkan mencapai lebih dari 100 mm per hari, di atas rata-rata normal. Baca juga: Dari banjir ke banjir, mengapa kita masih gagap menghadapi bencana? Mengapa ‘bediding’ khas kemarau tetap terasa?Di tengah kemarau yang tertunda dan curah hujan yang masih tinggi di sebagian wilayah, masyarakat tetap merasakan fenomena bediding.Fenomena tahunan ini umumnya terjadi pada musim kemarau yang biasanya berlangsung di periode Juni-September, terutama pada di wilayah selatan katulistiwa, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada periode ini, angin Monsun Australia aktif membawa udara kering dan dingin ke wilayah selatan Indonesia, sehingga suhu udara di malam dan pagi hari menjadi lebih rendah.Selain itu, pada musim kemarau, langit biasanya lebih cerah dan nyaris tanpa awan. Akibatnya, panas matahari yang diserap siang hari dilepaskan kembali oleh permukaan bumi saat malam melalui radiasi. Karena tidak ada awan yang menahan panas itu, suhu pun turun drastis. Kondisi ini makin terasa karena rendahnya kelembapan dan sedikitnya uap air di udara, membuat malam hari terasa lebih menusuk dinginnya.Munculnya bediding meskipun musim kemarau belum sepenuhnya berlangsung adalah hal wajar. Sebab, ini tetap merupakan bagian dari dinamika peralihan menuju musim kemarau yang biasa terjadi, di mana kelembapan tanah mulai menurun secara bertahap sebelum musim kemarau benar-benar berlangsung secara penuh. Jadi, masyarakat tak perlu cemas berlebihan.Cuaca ekstrem dan imbaun waspadaPerubahan cuaca dari basah ke dingin dan relatif kering tahun ini memang berlangsung dalam waktu singkat. Tak heran jika banyak yang menyebutnya ‘cuaca ekstrem’.Analisis BMKG memperkirakan kondisi curah hujan pada Juli 2025 secara umum berada dalam kategori rendah (