Perubahan Strategi Bisnis Penting di Tengah Gempuran Rojali dan Rohana di Pusat Perbelanjaan

Wait 5 sec.

Sejumlah pengunjung memilih pakaian di Lombok Epicentrum Mal di Mataram, NTB, Senin (24/3/2025). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/nz)JAKARTA – Pelaku bisnis juga didorong mengubah strategi supaya bertahan di tengah perubahan perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang kini beralih sekadar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan hingga mendapat sebutan “rojali” atau rombongan jarang beli.Belakangan ini istilah “rojali” dan “rohana” kembali menyita atensi berbagai kalangan. Rojali adalah akronim dari rombongan jarang beli, sedangkan rohana adalah rombongan hanya nanya.Istilah tersebut muncul lantaran banyaknya pengunjung di pusat perbelanjaan namun tidak sebanding dengan transaksi yang ada. Dengan kata lain, pusat perbelanjaan atau mall tetap ramai namun jumlah yang belanja tidak sebanding dengan angka kedatangan.Menurut sejumlah pengamat, fenomena rojali terjadi karena daya beli masyarakkat memang tengah menurun. Namun di sisi lain, pelaku usaha juga dituntut memutar otak supaya bisa bertahan di tengah gempuran rojali dan rohana di pusat perbelanjaan. Fokus Kebutuhan PokokKetua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, fenomena rojali sebenarnya bukan hal baru."Pengunjung datang ke pusat perbelanjaan tapi sedikit atau tidak belanja bukan tren baru. Ini selalu terjadi setiap saat, namun jumlahnya sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti yang terjadi saat ini, yaitu daya beli masyarakat yang masih belum pulih, khususnya kelas menengah bawah," ujarnya dihubungi VOI, Sabtu, 26 Juli.Meski demikian, Alphonzus menyebut tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan justru mengalami kenaikan. "Di tengah kondisi daya beli yang menurun, masyarakat tetap datang berkunjung ke Pusat Perbelanjaan. Rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu," ucapnya."Karena saat ini pusat perbelanjaan adalah salah satu fasilitas publik yang memenuhi kebutuhan masyarakat bukan saja dalam hal berbelanja tapi juga hal lainnya seperti hiburan, edukasi dan lain sebagainya," lanjut Alphonzus.Sejumlah pengunjung memadati area Jakarta Fair Kemayoran 2024 pada hari terakhir penyelenggaraan di JIEXpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (14/7/2024). (ANTARA/Aprillio Akbar/rwa)Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELISO) Bhima Yudhistira membenarkan bahwa fenomena rojali bukan baru terjadi. Sejak pandemi COVID-19, situasi ekonomi yang tak menentu memukul masyarakat Indonesia, terutama kelas menangah.Kelompok kelas menengah ini jumlahnya semakin menurun. berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah menurun sejak 2019 hingga 2024. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Jumlah kelas menengah terus turun menjadi 48,27 juta atau 17,44 persen pada 2023.Mereka, kata Bhima, semakin terhimpit oleh biaya hidup, terutama inflasi bahan pangan dan perumahan, serta tingginya suku bunga.  Tak hanya itu, mereka juga terjebak cicilan utang, sedangkan pendapatan yang dapat dibelanjakan atau disposable income cenderung menurun.Pusat perbelanjaan, kata Bhima, seringkali menyediakan kebutuhan sekunder dan terserier seperti barang-barang mewah. Sehingga bagi kelompok kelas menengah mal ini menjadi tempat cuci mata atau sekadar mencari hiburan tanpa melakukan pembelian besar karena konsumen fokus pada kebutuhan pokok.“Akhirnya kelas menengah ini akhirnya belanja untuk sekadar rekreasi, sekadar untuk refreshing,” jelas Bhima.Toko Fisik Bukan Tempat TransaksiDi sisi lain, fenomena rojali ini juga membuat Bhima menyoroti peran e-commerce dalam mengubah perilaku konsumen. Masyarakat kini cenderung menggunakan e-commerce untuk berbelanja karena harga yang ditawarkan cenderung lebih murah, dan ditambang iming-iming diskon ongkos kirim serta promo lain yang tidak ditawarkan mal.Tren rojali diramalkan Bhima masih akan berlangsung lama, terutama dengan adanya perang dagang yang berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itu, ia mendorong pelaku bisnis beradaptasi supaya usahanya bisa bertahan di tengah gempuran rojali dan rohana. "Pusat perbelanjaan lah yang harus melakukan penyesuaian dengan menggeser yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai yang terkait dengan kebutuhan sekunder. Sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat F&B (food and baverage), pusat makanan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," jelas Bhima.Ia mencontohkan bagaimana beberapa mal lama di Jakarta yang berhasil mengubah konsep ini sehingga mampu tetap bertahan dengan ditopang pendapatan dari pengeluaran konsumen untuk rekreasi.Senada, Dosen Prodi Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Binis Universitas Pendidikan Indonesia Heny Hendrayati juga menilai fenomena rojali dan rohana harus menjadi alarm keras bagi model bisnis yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen.Menurut Heny, ini tidak lepas dari peningkatan literasi digital dan kemajuan teknologi informasi. Konsumen di era sekarang lebih suka melakukan riset, membandingkan harga, dan mencari referensi sebelum membeli, baik secara daring maupun luring.Heny menjelaskan, dalam skala global fenomena ini dikenal sebagai showrooming dan webrooming. Showrooming terjadi ketika konsumen melihat langsung produk di toko fisik lalu membelinya secara online. Sedangkan webrooming kebalikannya, melakukan riset dulu di internet sebelum membeli di toko.“Menurut survei Google dan TNS tahun 2023, lebih dari 80 persen konsumen global melakukan showrooming, dan lebih dari 85 persen melakukan webrooming. Ini menunjukkan bahwa toko fisik kini bukan lagi tempat utama untuk transaksi, melainkan bagian dari proses pertimbangan konsumen,” ujar Heny.Hubungan Pebisnis dan KonsumenKlaim ini diperkuat dengan data pentrasi internet Indonesia. Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga Januari 2024 ada lebih dari 185 juta pengguna internet di Indonesia."Ini berarti sebagian besar penduduk sudah memiliki akses informasi dan kemampuan untuk membandingkan produk secara lebih kritis," imbuhnya.Dengan tantangan seperti ini, Heny pun mendorong pelaku usaha tidak hanya pasrah, tapi mengadopsi strategi omnichannel yang menggabungkan layanan toko fisik dan platform digital. Strategi ini memungkinkan konsumen yang sudah melihat barang di toko bisa melanjutkan pembelian secara online, misalnya lewat pemindaian kode QR yang terhubung ke toko e-commerce.“Menurut laporan Accenture tahun 2023, perusahaan yang mengimplementasikan omnichannel bisa meningkatkan konversi pelanggan hingga 30 persen. Jadi ini bukan pilihan, tapi kebutuhan,” tegas Heny.Pelaku usaha juga mesti bisa menafaatkan data pengunjung, seperti pengumpulan data kontak pengunjung yang datang ke toko (melalui form digital, giveaway, atau kupon). Tujuannya supaya pelaku usaha melakukan retargeting marketing, yaitu menyasar kembali konsumen yang sebelumnya belum membeli.Pedagang berjualan melalui siaran langsung di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (11/12/2023). (ANTARA FOTO/Cahya Sari/sgd/aww)Selain itu, pebisnis juga harus bisa memberikan pengalaman berbelanja yang positif kepada konsumen. Menurut Hany, sekarang ini konsumen datang ke toko bukan hanya untuk membeli, tapi juga untuk merasakan atmosfer, mencoba produk langsung, atau sekadar menikmati suasana. Maka dari itu, toko-toko dan mal dituntut menciptakan pengalaman yang menyenangkan dan imersif.“Ini bisa berupa demonstrasi produk, area foto, atau acara komunitas yang mempererat hubungan antara konsumen dan brand,” ujar Heny.Di era digital sekarang ini, kunci keberhasilan bisnis tidak melulu bergantung pada agresivitas promosi, tetapi pada kemampuan membangun hubungan yang kuat dengan konsumen. Interaksi, kepercayaan, dan pengalaman menjadi pilar utama.“Pertanyaannya bukan lagi kenapa mereka tidak beli sekarang, tapi apa yang bisa kita lakukan agar mereka mau kembali dan membeli nanti,” pungkasnya.