Tadej Pogacar telah menjadikan Tour de France sebagai panggung miliknya. (foto: x @le tour )JAKARTA - Dalam usia 26 tahun, Tadej Pogacar telah menjadikan Tour de France sebagai panggung miliknya. Kemenangan keempatnya pada hari Minggu 27 Juli tak hanya menegaskan dominasinya di balap sepeda dunia, tetapi juga memperlihatkan transformasi seorang atlet dari penghibur penuh semangat menjadi pemimpin yang dingin dan penuh perhitungan.Balapan tahun ini menjadi panggung sandiwara dua sisi bagi pebalap Slovenia dari UAE Team Emirates XRG tersebut. Pogacar memulai dengan gaya khasnya—serangan agresif, senyum lebar di puncak tanjakan, dan selebrasi spontan yang membuat penggemar terpukau. Namun, seiring semakin beratnya tantangan di tiga pekan balapan, kegembiraan itu berubah menjadi fokus tajam dan kalkulasi strategi yang tak kenal ampun.Di etape terakhir, Pogacar kembali memperlihatkan sisi liarnya dalam pertarungan klasik satu hari melawan Wout van Aert. Meskipun tak berhasil menang, ia menunjukkan bahwa semangat balap dalam dirinya masih menyala, memberi penonton kilasan dari "Pogacar lama" yang ceria dan tak kenal takut.Namun, sejak awal Tour, Pogacar sudah memberi sinyal bahwa ia tak bisa dihentikan. Ia meraih empat kemenangan etape, termasuk dominasi total di tanjakan Hautacam dan kemenangan telak di time trial menanjak di etape ke-13 yang memperlebar jaraknya dengan pesaing utamanya, Jonas Vingegaard, menjadi lebih dari empat menit.Meski demikian, perubahan sikapnya terlihat jelas saat memasuki etape Pegunungan Alpen. Ia mulai menghindari kemenangan etape dan lebih fokus pada kontrol balapan. Di La Plagne, ia bahkan membiarkan Thymen Arensman menang agar bisa menjaga energi dan menetralkan ancaman dari Vingegaard. Strategi ini mengingatkan publik pada cara Lance Armstrong mendominasi balapan di awal 2000-an, meskipun dalam konteks yang sangat berbeda.“Salah satu Tour paling sulit, jika bukan yang tersulit, yang pernah saya alami,” ujar Pogacar usai balapan, menegaskan beban fisik dan mental dalam mempertahankan keunggulan selama tiga pekan.Meski secara fisik tak terlihat rapuh, tekanan sebagai pemimpin membuat emosinya sesekali muncul. Ia bahkan sempat menyebut taktik lawan sebagai “sedikit menyebalkan” setelah serangan bertubi-tubi di pegunungan. Ketika Matteo Jorgenson mencoba menyerang meski bukan ancaman di klasemen, Pogacar tetap turun tangan sendiri untuk mematikan langkah itu—tanda betapa ia mengontrol penuh setiap aspek balapan.Pogacar kini disebut-sebut sebagai sosok paling mirip dengan legenda Eddy Merckx. Ia telah mengoleksi empat gelar Tour de France, satu gelar Giro d’Italia, beberapa kemenangan Monumen, dan gelar juara dunia—pencapaian luar biasa yang hanya bisa ditandingi oleh beberapa nama besar dalam sejarah.Legenda seperti Bernard Hinault bahkan berkata, “Pogacar seperti saya dan Merckx.” Sementara Merckx sendiri mengakui bahwa performa Pogacar di kejuaraan dunia 2024 melampaui pencapaiannya sendiri.Kini, dunia hanya menunggu: bisakah Pogacar menyamai atau bahkan melewati lima gelar Tour de France milik Merckx, Hinault, Jacques Anquetil, dan Miguel Indurain?Yang pasti, Pogacar bukan sekadar atlet. Ia adalah simbol keseimbangan antara gairah dan beban, antara insting predator dan kalkulasi pengendali panggung. Di usianya yang masih muda, ia sudah sangat dekat dengan keabadian dalam sejarah olahraga. Dengan empat gelar di usia 26 tahun, ia hanya tinggal selangkah lagi untuk mencatatkan namanya sebagai legenda sejati balap sepeda dunia. Statistik Pogacar kini mengesankan:Tour de France: Juara 2020, 2021, 2024, dan 2025Giro d’Italia: Juara 2024Kejuaraan Dunia Road Race: Juara 2024Monumen: Menang di Liège–Bastogne–Liège dan Il LombardiaRekor pendakian tercepat Mont Ventoux: 54 menit 41 detik (rekor baru 2025)