Industri TPT Masih Belum Pulih, Asosiasi Tekstil Ramai-ramai Sampaikan Keluhan

Wait 5 sec.

Ilustrasi: Foto: Dok. ANTARAJAKARTA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) diyakini belum sepenuhnya pulih saat ini. Hal tersebut tercermin dari keluhan sejumlah asosiasi di sektor TPT. Pertama, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) yang menyebutkan, tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor TPT masih akan terus berlanjut meski investasi di sektor itu juga tumbuh pada tahun ini. Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Syauqi mengatakan, tren PHK masih akan berlanjut dikarenakan sudah banyak perusahaan tumbang pada 2023 dan 2024.  "Tambahan investasi masuk sebesar Rp10,2 triliun patut kami syukuri meski belum bisa menggantikan investasi yang stop, baik dari sisi produksi maupun penyerapan tenaga kerja," ucap Farhan dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Jumat, 1 Agustus. Meski pemerintah sudah mempunyai dua kesepakatan penting terkait tarif resiprokal dan perjanjian IEU-CEPA, Farhan menyatakan, tambahan investasi signifikan diperlukan agar sektor TPT bisa berkembang melalui penguatan integrasi.  "Jadi, kami perlukan agregatnya. Yang terjadi saat ini ada investasi baru, tapi lebih besar investasi idle karena pabriknya stop sementara bahkan tutup," ucap dia.  Dengan demikian, kata Farhan, saat ini utilisasi sektor TPT secara nasional masih dalam tren turun. "Karena agregat pertumbuhan investasinya jadi negatif," bebernya. Farhan menambahkan, untuk menjaga agregat investasi tetap positif diperlukan jaminan pasar.  Akan tetapi, dia tak menampik bahwa saat ini pasar domestik sudah dibanjiri produk-produk impor. "Jangankan pasar ekspor yang sangat banyak tantangan dan hambatan, pasar dalam negeri pun dibanjiri produk impor," terang dia. Keluhan sama juga disampaikan oleh Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB). Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman menyatakan, hingga saat ini utilisasi nasional industri garment menengah kecil berorientasi pasar domestik masih berada di bawah 50 persen. "Kami bisa lihat secara gamblang baik di toko offline maupun online dipenuhi oleh barang impor," tuturnya. Nandi mengaku, selama dua tahun terakhir jumlah anggota IPKB terus bertambah. Pasalnya, kebanyakan anggota itu merupakan korban PHK yang memilih banting stir menjadi pengusaha konveksi. "Banyak di antara karyawan yang kena PHK banting stir jadi pengusaha konveksi. Tapi kondisinya sama, ordernya masih minim," jelas Nandi. Adapun Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Cecep Daryus menuturkan, banyak anggotanya turut terdampak PHK dan penurunan kinerja industri, meskipun tidak terlalu signifikan.  Cecep bilang, saat ini kebanyakan tenaga kerja tekstil profesional di Indonesia memilih berkarir di luar negeri. Pasalnya, ada kebutuhan tenaga kerja level manajemen yang dibutuhkan di luar negeri, seperti Vietnam, Kamboja hingga Malaysia. "Artinya, investasi baru di negara Asean lainnya sedang berkembang pesat hingga mencari tenaga profesional sampai ke Indonesia," tuturnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto menilai, investasi tambahan Rp10,2 triliun hingga surplus nilai perdagangan yang diungkapkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak menggambarkan kondisi riil, karena banyak juga data tidak disampaikan. "Kami memperkirakan investasi stop akibat tutupnya 60 perusahaan TPT ini mencapai lebih dari Rp80 triliu. Memang tidak hilang, tapi mati suri. Belum lagi dampak ketenagakerjaan dan potensi perekonomiannya. Ini, kan, disembunyikan," tegas Agus. Agus menilai, data SIINas yang menjadi acuan utilisasi Kemenperin pun jauh dari kenyataan karena tidak menghitung kapasitas perusahaan tutup.  Pasalnya, kata Agus, perusahaan yang tutup sudah tidak lagi mengisi SIINas, tapi mesin-mesin peralatannya masih ada di Indonesia dan tidak menjadi pengurang nilai investasi.  "Dan kalau kami analisis data perdagangan, surplus nilai perdagangan terus menyusut dari 4,2 miliar dolar AS di 2015, hanya tinggal 2,4 miliar dolar AS di 2024. Bahkan, secara volume sudah defisit 57.000 ton sejak 2016," jelas dia. Selain itu, kata dia, secara total, pertumbuhan industri sektor TPT selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Sehingga, wajar jika kontribusi TPT terhadap PDB terus turun dari 1,22 persen di 2015 menjadi 1,02 persen pada 2024. "Kami menengarai permainan penyajian data statistik yang dipublikasikan Kemenperin hanya untuk menutupi kinerja buruknya hingga menjadi penyebab deindustrialisasi dini," ungkap Agus. Padahal, lanjut Agus, TPT merupakan sektor strategis yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan, khususnya dalam menyerap tenaga kerja hingga bisa berkontribusi menaikkan daya beli masyarakat.  "Dan menjaga investasi ada tetap bisa berjalan adalah tanggung jawab Kemenperin," pungkasnya.