Hukum bersiul dalam Islam. (Foto: Getty Images/South_agency)YOGYAKARTA - Bagaimana hukum bersiul dalam Islam? Pada masa lalu, bersiul menjadi salah satu bentuk ritual yang dijalankan oleh orang-orang kafir Quraisy saat berada di Ka’bah/Baitullah. Mengenai hal ini, Al-Qur’an menjelaskan: وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً“Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)Hukum Bersiul dalam IslamUntuk memaknai maksud ayat di atas, Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir mengungkapkan:جعلوا صلاتهم عند البيت على هذا النحو ، مما يدلّ على جهلهم بمعنى العبادة وعدم معرفة حرمة بيت اللّه“Orang kafir menjadikan ibadah di Baitullah dengan cara demikian. Hal ini menunjukkan kebodohan mereka akan arti dari ibadah dan tidak mengertinya mereka tentang kemuliaan Baitullah.” (Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, juz 9, hal. 331)Dari referensi tersebut, dapat kita simpulkan bahwa bersiul termasuk sebuah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan di tempat-tempat yang mulia, misalnya sekolah, masjid, perpustakaan, dan tempat-tempat lainnya. Sebab, bersiul tergolong dalam kategori al-akhlaq ar-radi’ah (perilaku yang buruk). Jika dikatakan sebagai perilaku yang tidak baik, lantas apa status hukum bersiul sampai tahapan dilarang dan diharamkan oleh syariat? Dalam hal ini, para ulama tidak membahas secara khusus mengenai hukum bersiul dalam kajian tertentu, sebab bersiul tergolong dalam kategori akhlak, sehingga cukup menjelaskan bahwa bersiul adalah tradisi ibadah orang kafir yang dilakukan di zaman Rasulullah SAW.Namun, ada sebuah referensi yang secara khusus memberi posisi hukum untuk kegiatan bersiul sebagai perbuatan yang makruh. Penjelasan tersebut dijelaskan oleh Ibnu Muflih dalam karyanya yang berjudul al-Adab as-Syar’iyyah dengan mengutip kalam Syekh Abdul Qadir: قال الشيخ عبد القادر رحمه الله يكره الصفير والتصفيق“Syekh Abdul Qadir berkata:“Bersiul dan tepuk tangan merupakan hal yang dimakruhkan.” (Ibnu Muflih, al-Adab asy-Syar’iyyah, juz 4, hal. 57)Setelah menyimak penjelasan dari Ibnu Muflih tersebut, maka dapat dipahami bahwa hukum asal dari bersiul adalah perbuatan yang makruh untuk dilakukan. Meskipun demikian, saat ini bersiul dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya untuk menenangkan bayi saat menangis, menjadi penanda panggilan kepada orang yang berada pada jarak kejauhan dan tujuan-tujuan lain yang bermanfaat.Dalam keadaan demikian, jika memandang hal lain (amrun kharij) tadi, maka hukum bersiul menjadi hal yang diperbolehkan, selama tidak dianggap sebagai hal yang buruk oleh masyarakat secara umum. Tentu berbeda halnya jika bersiul dilakukan untuk tujuan-tujuan yang terlarang, misalnya menggoda perempuan yang sedang lewat, mengganggu orang lain atau meniru tradisi peribadatan orang kafir, sehingga dalam hal ini bersiul merupakan perbuatan yang diharamkan, sebab akan membawa seseorang pada perkara yang haram. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bersiul adalah perbuatan yang dimakruhkan, namun akan menjadi perbuatan yang diperbolehkan (jawaz) jika memberi manfaat di dalamnya seperti menenangkan bayi yang sedang menangis. Bersiul akan menjadi perbuatan yang haram jika digunakan sebagai perantara melakukan perbuatan yang haram, misalnya menggoda wanita yang sedang lewat.Demikianlah ulasan mengenai hukum bersiul dalam Islam. Semoga informasi ini bermanfaat! Kunjungi VOI.id untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.