Bentrok PWI LS vs FPI: Agama Bukan Alat Legitimasi Kekuasaan atau Dominasi Kelompok

Wait 5 sec.

Muhammad Rizieq Shihab memberi keterangan kepada media di Jakarta, Rabu (14/2/2024). (ANTARA/Khaerul Izan)JAKARTA – Dua organisasi massa, Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI LS) dan Front Persaudaraan Islam (FPI), sempat terlibat bentrok karena adanya pro dan kontra kehadiran Muhammad Rizieq Shihab dalam acara pengajian di Pemalang, Jawa Tengah. Pertikaian sepert ini menjadi preseden buruk yang dapat memperkuat stigma negatif terhadap Islam.Bentrokan terjadi ketika Rizieq hadir dalam acara Safari Dakwah di Pemalang, Jawa Tengah, Rabu (23/7/2025), sekitar pukul 23.00. Massa PWI LS sejak awal memang menentang kehadiran Rizieq, pendiri ormas Front Pembela Islam (FPI) yang sudah dibubarkan pemerintah, mendatangi acara.Dalam bentrokan tersebut, sebanyak sembilan orang terluka termasuk empat anggota Polres Pemalang yang mencoba menghentikan tawuran.Kepala Kepolisian Resor Pemalang AKBP Eko Sunaryo di Pemalang, Kamis, 24 Juli 2025, mengatakan bahwa sebelum kejadian, sebagai bentuk langkah antisipasi, polisi menggelar rapat koordinasi pengamanan pengajian Safari Dakwah oleh Muhammad Rizieq Shihab."Pada rapat itu dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, Kodim 0711/Pemalang, Polres, serta unsur ormas FPI dan PWI LS. Dari pertemuan tersebut, disepakati surat pernyataan bersama yang berisi sejumlah komitmen dalam kegiatan itu," katanya seperti dikutip Antara.Perebutan Panggung SimbolikBentrokan yang melibatkan PWI LS dan FPI ini kemudian menjadi sorotan banyak pihak. Kader Nahdlatul Ulama (NU) Mohammad Masruri mengatakan, kegiatan Haul KH Hasyim dan Tabligh Akbar seharusnya menjadi ruang ibadah dan silaturahmi. Namun acara tersebut berubah menjadi panggung konflik terbuka, yang memicu keresahan masyarakat.Secara kasat mata, kata Masruri, insiden ini bisa dilihat sebagai gesekan antarormas. Namun jika dicermati lebih mendalam, terdapat perang simbol dan narasi yang sedang dimainkan.FPI, menurut Masruri, memiliki gaya dakwah yang frontal, keras, dan cenderung revivalis, dengan visi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara langsung dan tegas. Di sisi lain, PWI LS yang lebih berakar pada tradisi pesantren dan nilai-nilai kultural Islam Nusantara, mengedepankan pendekatan dakwah yang lebih kontekstual dan nasionalis.“Dalam konteks haul yang juga dihadiri oleh tokoh sentral FPI, Habib Rizieq Shihab, muncul perebutan panggung simbolik: siapa yang lebih layak dipercaya umat sebagai representasi Islam di ruang publik,” tulis Masruri.Pascainsiden, kedua belah pihak melanjutkan pertarungan di media sosial. Saling klarifikasi dilontarkan dalam upaya memengaruhi opini publik. Di sini, masyarakat kebingungan. Umat yang seharusnya mendapat siraman rohani, justru disuguhi tontonan kekerasan atas nama agama.Aparat kepolisian berjaga di lokasi pengajian bulan Muharam yang menghadirkan Muhammad Rizieq Shihab di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Rabu (23/7) malam. (Humas Polda Jateng)Masruri menegaskan, pertikaian seperti ini menjadi preseden buruk yang dapat memperkuat stigma negatif terhadap Islam. Bagi kalangan awam, sulit membedakan mana yang benar ketika dua panji Islam saling baku hantam di depan umum.“Tak dapat dihindari, citra Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin pun ternodai oleh ulah sebagian oknum,” tuturnya.Kini yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang ditungkan dari konfik ini. Di satu sisi, FPI dinilai kembali mendapatkan eksistensi di tengah stagnasi setelah dibubarkan oleh negara beberapa tahun lalu. Lewat konflik ini, mereka meraih simpati dan sorotan dari basis militan yang menginginkan kebangkitan mereka.Di sisi lain, PWI LS yang sebelumnya hanya dikenal secara lokal, kini mendapat panggung nasional, serta memperluas jangkauan pengaruh dan jaringan sosial politiknya.Lebih jauh, Masruri juga menduga adanya kemungkinan peran aktor politik yang menunggangi situasi ini untuk membangun basis dukungan berbasis agama menjelang tahun politik 2029.“Konflik bukan hanya soal benturan fisik, tapi juga soal siapa yang mampu mengkapitalisasi momen demi kepentingan strategis,” ia menjelaskan.Islam Tidak Eksklusif Milik Satu KelompokSementara itu, Wakil Rais Aam PBNU KH Afifudin Muhajir mendesak pemerintah untuk menjadi penengah dalam konflik horizontal tersebut. Menurutnya, yang punya kewajiban menjadi penengah adalah yang punya kekuasaan, terutama kekuasaan struktural pemerintah atau kekuasaan kultural seperti para ulama dan sebagainya.  "Tapi tanggung jawab paling besar tetap di tangan negara, harus turun tangan itu," ungkapnya.Ia menjelaskan, konflik ini berseberangan dengan ajaran Nabi Muhammad. Soal mencintai atau membenci, Nabi Muhammad, kata dia, menganjurkan sewajarnya, bukan berlebihan. Pria yang karib disapa Kiai Afif ini juga sikap tersebut justru mencederai agama Islam itu sendiri.Hal senada juga disampaikan Mohammad Masruri. Ia berujar, jika dibiarkan tanpa penyelesaian akar masalah, maka bukan tidak mungkin konflik serupa akan terulang. Ia menilai, di balik layar ada upaya penguasaan atas wacana keislaman di ruang publik yang kini semakin terbuka dan tak terbendung.Suasana di TKP bentrok antara FPI dan PWI LS di Pemalang (Foto: tangkapan layar foto yang beredar di media sosial)Agama, kata Masruri, semestinya menjadi pedoman hidup yang membawa kedamaian, bukan alat legitimasi kekuasaan atau dominasi kelompok. Ketika ormas Islam saling bentrok secara terbuka, maka yang tercoreng bukan hanya nama organisasi, tetapi juga wajah Islam di mata masyarakat.“Islam tidak eksklusif milik satu kelompok atau satu warna ideologis, melainkan ajaran universal yang menjunjung tinggi akal sehat, kelembutan hati, dan persatuan umat,” tegasnya."Peristiwa di Pemalang seharusnya menjadi cermin bahwa kita membutuhkan pendekatan dakwah yang lebih sejuk, solutif, dan membumi. Dibutuhkan lebih banyak ulama yang merangkul, bukan hanya penceramah yang menggebrak,” Masruri menyudahi.