Oplosan Beras Jadi Sorotan, Pedagang Pusing Hadapi Harga di Penggilingan dan HET

Wait 5 sec.

Sejumlah kualitas beras di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (19/7). Foto: Widya Islamiati/kumparanIsu pencampuran beras atau yang belakangan ramai disebut “oplosan” membuat pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) cemas. Aktivitas pasar induk terbesar di Jakarta itu meredup dalam sepekan terakhir. Toko-toko tutup lebih awal, sebagian bahkan memilih tak buka sama sekali.Pedagang beras sekaligus Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (KPPIBC), Zulkifli Rasyid mengatakan toko-toko tersebut tutup karena takut ancaman pidana bagi pedagang yang menjual beras di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diutarakan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman.“Yang pertama, gara-gara isu beras ini, Mentan Amran mengatakan kami pedagang tidak boleh menjual beras di atas HET,” kata Zulkifli kepada kumparan saat ditemui di tokonya, di PIBC, Jakarta Timur, Sabtu (19/7).HET beras diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 5 tahun 2024 tentang Perubahan atas Perbadan Nomor 7 tahun 2023 tentang HET Beras. Dalam beleid ini, beras medium dibanderol Rp 12.500 per kg dan beras premium Rp 14.900 per kg untuk wilayah Jawa, Lampung dan Sumatra Selatan.Sementara, Zulkifli mengaku mendapatkan pasokan beras dari penggilingan dengan harga Rp 13.400 sampai Rp 13.800 per kg untuk kualitas medium dan Rp 14.500 sampai Rp 16.000 untuk kualitas premium. Selisih harga ini membuat pedagang sulit menjual beras sesuai HET.Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (KPPIBC), Zulkifli Rasyid di PIBC, Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparanKepada kumparan, Zulkifli memperlihatkan pesan singkat dari produsen juga penggilingan beras yang menawarkan dia untuk membeli beras kualitas medium seharga Rp 13.600 dan Rp 13.800 per kg.Guru besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AP2TI), Dwi Andreas Santosa, juga menilai pemerintah justru perlu menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras karena Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) juga sudah naik jadi Rp 6.500 per kg.Berdasarkan hitungan pabrik milik jaringan AP2TI di Indramayu, biaya produksi beras premium mencapai Rp 15.052 per kg. Namun HET beras premium masih dipatok Rp 14.900."Logikanya bagaimana (HET tidak dinaikkan), jadi tidak masuk akal,” katanya kepada kumparan.Dwi mengingatkan jika kondisi ini terus berlanjut, penggilingan bisa kolaps dan mengancam kestabilan pasokan pangan nasional. “Sudah banyak yang tutup, kalau itu terjadi, itu bahaya bagi Indonesia. Bisa terjadi guncangan terkait dengan pangan dan panic buying,” ujarnya.Oplosan Tak Selalu CurangKetua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso, meminta pemerintah untuk tidak gegabah menyalahkan maraknya praktik pencampuran beras atau yang kini ramai disebut sebagai “beras oplosan”. Menurutnya, pencampuran beras tidak serta-merta merupakan tindakan curang atau melanggar hukum.Praktik mencampur beras dinilai Sutarto sebagai bagian dari realitas industri, bukan semata-mata tindakan manipulatif. Ia menilai istilah "oplosan" telah keburu diberi konotasi negatif, padahal tidak semua pencampuran bertujuan merugikan konsumen.Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa di ICBB Bogor, Rabu (4/12). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan“Oplosan beras itu nampaknya diartikan pasti jelek, ya. Padahal sebenarnya oplosan itu kan 'pencampuran'. Dicampur itu ada yang memang tujuannya baik, ada yang memang mungkin tujuannya jelek,” jelas Sutarto saat dihubungi kumparan, Sabtu (19/7).Ia menjelaskan pencampuran beras adalah praktik yang lazim di industri penggilingan karena sejak lama petani menanam berbagai varietas padi dalam satu wilayah. Hal ini membuat proses pemisahan varietas secara ketat menjadi sulit dilakukan saat penggilingan.“Misalnya di satu desa atau satu kecamatan itu semua sama nanam, misalnya IR64 semua IR64, satu Cianjur semua Cianjur gitu enggak. Jadi ada yang nanem IR64, ada yang nanem Inpari 32, ada yang nanem Legowo. Jadi macam-macam,” ujarnya.Hal yang sama juga disampaikan Dwi Andreas yang menyebut penggunaan kata “oplosan” oleh pemerintah keliru dan dapat memicu kepanikan di publik. Kata dia, isu ini bisa berdampak negatif terhadap pelaku usaha kecil, khususnya penggilingan padi.“Gonjang-ganjing seperti ini nanti yang menderita siapa? Penggilingan-penggilingan padi kecil, bukan yang gede-gede. Karena pasti yang gede-gede sudah punya quality control yang cukup ketat,” ujar Dwi Andreas.Dia menjelaskan praktik pencampuran beras sebenarnya merupakan hal umum dalam industri beras global dan dikenal sebagai blending. Pencampuran dilakukan baik karena alasan varietas, kualitas, hingga preferensi konsumen di tiap daerah. Dwi Andreas menegaskan praktik tersebut tidak berbahaya jika dilakukan sesuai standar.Selain varietas, pencampuran juga terjadi pada tingkat patahan beras (broken). Beras yang keluar dari mesin penggilingan modern sering kali memiliki patahan di bawah 5 persen, sementara standar pemerintah untuk beras premium memperbolehkan hingga 15 persen patahan. Karena itu, perusahaan sering mencampur beras utuh dengan menir agar sesuai dengan ketentuan dan tidak rugi secara produksi.