Jatuh Bangun Labubu: Budaya Konsumerisme, Lipstick Effect, dan Dampak pada Planet Bumi

Wait 5 sec.

Mainan bertema Labubu, boneka berbulu populer dari perusahaan mainan China Pop Mart, difoto selama upacara pembukaan toko offline baru Pop Mart di Bangkok, Thailand, 5 Juli 2024. (ANTARA/Xinhua/Sun Weitong)JAKARTA – Boneka Labubu yang sempat menjadi sensasi global kini pamornya mulai menurun. Padahal dulu, banyak orang yang rela mengantre dari subuh demi mendapatkan boneka ini.Labubu sering dianggap boneka mewah karena harganya yang tidak murah untuk sebagian kalangan. Meski begitu, boneka ini sempat laris manis di pasaran. Labubu adalah karakter buku cerita karya seniman Kasing Lung. Pada 2019, Lung bekerja sama dengan perusahaan mainan Tiongkok, Pop Mart, untuk mewujudkan karakter-karakternya.Popularitas Labubu melejit setelah sejumlah selebritas internasional memakainya, mulai dari Rihanna, Dua Lipa, Kim Kardashian, hingga personel Lisa BlackPinkRakyat biasa kemudian ikut terhipnotis dengan tren Labubu. Di Indonesia, pernah menjadi perbincangan gara-gara ratusan orang yang rela antre sejak subuh di sebuah mall di Jakarta Selatan demi mendapatkan Labubu.Dan, tren ini tidak hanya terjadi di Tanah Air, tapi juga di Shanghai hingga London, dengan antrean mengular.Micro TrendMenjelang akhir tahun lalu, tagar Labubu menghasilkan lebih dari 1,4 juta video hanya di TikTok. Dari jutaan video tersebut, mayoritas berisi video pembukaan kotak rahasia atau blind box Labubu.Para kolektor ini antusias membuka kotak mainan misterius untuk melihat apakah mereka mendapatkan boneka Labubu yang diinginkan atau tidak.Namun, karena mainan blind box mendongkrak pendapatan, seringnya para kolektor tidak mendapat boneka yang mereka inginkan dan hal ini terus mendorong mereka membeli lebih banyak. Pop Mart, pemilik Labubu, mengalami peningkatan pendapatan hampir dua kali lipat menjadi 1,81 juta dolar Amerika Serikat pada 2024.“Pendapatan dari Labubu menyumbang hampir 22 persen dari total pendapatan Pop Mart,” demikian mengutip The Commons Earth.Boneka Labubu dibanderol mulai dari 20 dolar AS (Rp326.456) sampai 300 dolar AS (Rp4,89 juta). Bagi sebagian orang, harga Labubu tidak masuk akal dan lebih dianggap sebagai simbol status.Ratusan orang mengantre membeli Labubu di Pop Mart Gandaria City. (X)Mainan ini tetap dinilai barang mewah karena tidak tidak menawarkan fungsi selain memanjakan visual atau alat pamer di media sosial. Media sosial memiliki andil dalam mendorong orang menganut paham kosumerisme, yaitu membeli sesuatu untuk mencapai kebahagiaan. Tapi tetap saja peminat Labubu tetap melonjak, padahal di era sekarang, uang ratusan ribu sangat berarti bagi sebagian orang. Faktanya, banyak orang dewasa mengalami kesulitan finansial, kesulitan memiliki rumah, tujuan finansial jangka panjang pun tersendat.Meski belum benar-benar menghilang, popularitas Labubu mulai menurun. Sebenarnya, ketika banyak orang mengantre Labubu, prediksi bahwa ini adalah tren sesaat dikemukakan sejumlah kalangan.Sebelum Labubu, sudah ada tren boneka Domo, Beanie Babies, dan Smiskis yang sifatnya hanya sesaat. Faktanya, mainan dan blind box mengikuti pola yang serupa dengan microtrend lainnya yang berkembang pesat.Krisis IklimLalu, mengapa Labubu tetap laris di pasaran padahal harganya tak murah? Jawabannya karena lipstick effect. Secara sederhana, lipstick effect adalah teori ekonomi yang menyatakan bahwa konsumen membeli lebih banyak barang mewah mini ketika ekonomi sedang lesu.Ini karena kosumen merasa tujuan jangka panjang seperti membeli rumah tidak bisa tercapai, kemudian mereka terlena dengan barang mewah yang ‘terjangkau'. Lipstick effect sebenarnya tak memiliki dampak terlalu besar, namun masalah muncul ketika banyak orang menghabiskan uang mereka untuk produk plastik sekali pakai dan mengikuti tren mikro yang kian cepat berkembang.Tren mikro tidak hanya menguras dompet, tapi juga buruk bagi planet bumi. Itu karena mainan seperti Labubu, Smiskis, Sonny Angels, dan lainnya terbuat dari platik dan ujung-ujung akan berakhir di tempat sampah.Budaya kosumerisme, lipstick effect dapat berdampak pada planet bumi. (Unsplash)Menurut sejumlah penelitian, hampir 80 persen mainan berakhir di tempat pembuangan sampah, insinerator, atau lautan. Produksi plastik, tidak hanya membuat bumi lebih hangan, tapi juga masuk ke dalam otak, darah, dan bahkan plasenta.“Kita hidup di dunia yang terus menerus dibombardir dengan pemasaran. Perusahaan-perusahaan besar menggunakan taktik manipulatif dan licik untuk menciptakan rasa tidak aman dan meningkatkan penjualan,” tulis the Commons Earth.Krisis iklim adalah hal yang nyata dan itu buruk. Faktanya, pembelian rumah tangga memengaruhi 65 persen emisi global. Karena itulah, tak ada salahnya memeriksa kembali hubungan kita dengan budaya kemudahan dan konsumerisme. Merenungkan pembelian kita adalah hal baik untuk semua orang.Pegiat lingkungan Amea Wadsworth menegaskan, sebelum membeli sesuatu orang harus bertanya pada diri sendiri apa yang membuat kita bahagia, mengapa, dan berapa lama bertahannya.“Siapa yang dirugikan oleh pembelian kita? Siapa yang membuat apa yang kita beli? Ke mana perginya semua ini setelah saya selesai menggunakannya?” pungkas Amea.