Beras yang dijual di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparanIsu beras oplosan yang kini sedang ramai ternyata tidak hanya merugikan pembeli, tapi juga berdampak pada pasar dan buruh yang bergantung pada aktivitas jual beli beras.Sejak isu tersebut ramai, pedagang beras di Pasar Induk Cipinang mengaku bahwa pasar tersebut sudah sepi sejak seminggu terakhir. Pedagang sekaligus Ketua Koperasi Pedagang PIBC, Zulkifli Rasyid, mengatakan beberapa toko tutup karena ketakutan oleh pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang mengancam pidana bagi pedagang yang menjual beras di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengenai HET Beras, beras medium dibanderol Rp 12.500 per kg dan beras premium Rp 14.900 per kg untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan.Zulkifli mengatakan mendapat pasokan beras dari penggilingan dengan harga medium di kisaran Rp 13.400 hingga 13.800 per kg, dan premium Rp 14.500 sampai 16.000 per kg. Menurutnya, harga tersebut membuat pedagang kesulitan menjual sesuai HET.Ia menunjukkan kepada kumparan bukti pesan dari produsen dan penggilingan yang menawarkan beras medium seharga Rp 13.600 hingga 13.800 per kg.“Lalu kategori pengoplosan itu apa? Kalau pengoplosan itu kalau medium sama premium, dia enggak sama. Kalau beras sejenis, dari nenek moyang sampai sekarang itu, sudah oplos,” kata Zulkifli kepada kumparan saat ditemui di tokonya, di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, dikutip Minggu (20/7).Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (KPPIBC), Zulkifli Rasyid di PIBC, Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparanZulkifli menegaskan pedagang di Pasar Induk Cipinang tidak pernah mencampur beras dari kualitas berbeda untuk dijual sebagai premium demi keuntungan. Ia mempertanyakan definisi pengoplosan yang disampaikan pemerintah, dan menjelaskan praktik mencampur dua jenis beras lokal premium biasanya dilakukan atas permintaan konsumen untuk rasa yang lebih baik.Ia menambahkan isu pengoplosan dan ancaman pidana membuat banyak pedagang memilih menutup toko, yang berdampak pada ribuan buruh harian kehilangan pekerjaan karena tidak ada aktivitas bongkar muat.“Ini ribuan orang dari kampung (buruh harian lepas), dia enggak kerja sudah seminggu, karena toko gak buka. Karena kami takut dagang, karena kami diancam, mau dipenjarain, kalau mau oplos, tapi pengoplosan itu kami ceritakan, sebenarnya seperti ini,” jelasnya.Tidak Semua Oplos Beras Itu CurangKetua Umum Perpadi, Sutarto Alimoeso, memandang istilah oplosan kerap didefinisikan secara negatif. Namun, kata Sutarto, kenyataannya tidak semua pencampuran bertujuan merugikan konsumen.“Oplosan beras itu nampaknya diartikan pasti jelek, ya. Padahal sebenarnya oplosan itu kan ‘pencampuran’. Dicampur itu ada yang memang tujuannya baik, ada yang memang mungkin tujuannya jelek,” jelas Sutarto, dikutip Minggu (20/7).Sutarto menjelaskan pencampuran beras sudah sering terjadi dalam praktik industri karena petani di suatu wilayah biasanya menanam berbagai varietas padi. “Misalnya di satu desa atau satu kecamatan itu semua sama nanam, misalnya IR64 semua IR64, satu Cianjur semua Cianjur gitu enggak. Jadi ada yang nanem IR64, ada yang nanem Inpari 32, ada yang nanem Legowo. Jadi macam-macam,” ujarnya.Ia mengakui kemungkinan adanya praktik mencampur beras komersial dengan beras program pemerintah seperti SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Katanya, itu merupakan pelanggaran serius jika benar-benar terjadi.Menurutnya, masalah utama saat ini bukan pada pencampuran beras, melainkan ketimpangan antara harga gabah yang naik jadi Rp 6.500 per kg dan HET beras medium yang masih Rp 12.500 per kg.“Harga beras itu kan ditentukan oleh salah satunya harga gabah. Kalau harga gabah naik, harga berasnya kemungkinan naik atau tidak? Tapi begitu harga HPP-nya Rp 6.500, kan pemerintah tidak menaikkan, tidak boleh naik, bukan tidak menaikkan saja, tidak boleh naik kan, harus Rp 12.500,” tutur Sutarto.