Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam peluncuran 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/07/2025). (ANTARA/HO-Humas PLN)JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto optimistis pembentukan Koperasi Desa Merah Putih bakal mendorong perekonomian gotong royong. Tapi studi CELIOS menyatakan sebaliknya. Koperasi justru rentan menjadi ladang korupsi.Program Koperasi Desa Merah Putih telah diresmikan Presiden Prabowo pada Senin (21/7/2025). Peresmian dilakukan secara simbolik di Klaten, Jawa Tengah.Targetnya sebanyak 80.081 koperasi akan beroperasi secara penuh dalam empat bulan ke depan. Sebagai langkah awal, ada 108 koperasi yang sudah beroperasi.Menteri koperasi Budi Arie, yang juga hadir dalam acara peresmian, menargetkan Kopdes Merah Putih akan menghadirkan pilar kemandirian ekonomi desa, koperasi sebagai pondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional.Pemerintah menyebut anggaran untuk pembentukan Kopdes Merah Putih mencapai Rp300 triliun. Nantinya, setiap koperasi bisa mendapat pinjaman modal maksimal Pp3 miliar dari bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).Warga mengunjungi Koperasi Merah Putih Desa Bentangan, Wonosari, Klaten. (ANTARA/HO-Kementerian Pariwisata)Dengan anggaran yang besar, maka program Kopdes Merah Putih menghadapi tantangan besar pula, yaitu dari segi pengawasan anggaran yang dinilai bakal krusial.Hanya sebagai FormalitasDalam studinya, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut, meski sempat gemilang pada periode 1950-an dan 1960-an, kini nasib koperasi tidak ada lagi yang tahu akan seperti apa. Peran koperasi sekarang ini tidak lebih dari penggembira dalam perekonomian nasional.Meski kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diklaim terus meningkat, tetapi klaim tersebut tidak kuat karena sistem pendataan di Kementerian Koperasi dan UKM masih belum sinkron.Tendensi kepentingan politik menjadi alasan menarik adanya klaim peningkatan kontribusi koperasi kepada Produk Domestik Bruto (PDB). Kesangsian tersebut dikarenakan tidak ada kebijakan-kebijakan penting dalam beberapa tahun terakhir yang menambah kekuatan koperasi.Program reformasi koperasi yang digalakkan Kementerian Koperasi dan UKM (sekarang Kementerian Koperasi) hanya menyasar kepada penonaktifan koperasi yang sudah lama mati dan nakal. “Selain itu, nyaris tidak terdengar seperti apa program koperasi lainnya,” tulis CELIOS.Saat ini, koperasi juga dinilai sebagai formalitas pengamalan pasal 33 UUD 1945 tapi dalam implementasinya jauh dari harapan. “Ibarat kata, koperasi saat ini sedang dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Jika dibiarkan mati maka pemerintah akan dicap sebagai pembunuh koperasi namun, dibiarkan hidup pun koperasi di Indonesia tidak berkembang seperti harapan pencetus pasal 33,” lanjut CELIOS.Seorang murid melintas di depan apotek dan klinik Koperasi Merah Putih Desa Aeng Batu-Batu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Senin (21/7/2025). (ANTARA/Arnas Padda/tom)Saat ini, tulis CELIOS, lebih dari 70 ribu desa di Indonesia telah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai instrumen ekonomi lokal. Meski kinerjanya belum merata dan masih memerlukan pembenahan, BUMDes telah menunjukkan potensi dalam mendorong perekonomian desa melalui berbagai unit usaha,baik dalam sektor keuangan, produksi, hingga distribusi."Lalu, apa urgensi membentuk koperasi baru jika sudah ada BUMDes yang berjalan? Bagaimana nasib unit usaha desa yang sudah lebih dulu eksis?" kata CELIOS. Lebih dari itu, alokasi dana desa yang seharusnya menjadi hak otonom desa, kini terancam tersedot untuk pembiayaan proyek koperasi yang belum jelas arah dan keberlanjutannya. Hal ini justru menyempitkan ruang fiskal desa dan membuka peluang kembalinya pola sentralisasi dalam pemberdayaan desa. Ini adalah suatu kemunduran dari semangat Undang-Undang Desa yang menjamin otonomi lokal.Risiko lainnya adalah potensi penyalahgunaan dana. Kasus-kasus koperasi fiktif penerima bantuan sudah banyak ditemukan di lapangan, dan tanpa pengawasan yang ketat, program koperasi masif ini dapat membuka celah praktik korupsi baru.Potensi Kebocoran Triliuan RupiahCELIOS menyebut risiko korupsi dan potensi kebocoran anggaran bisa mencapai Rp4,8 triliun dari 80 ribuan koperasi yang ditargetkan pemerintah. Angka Rp4,8 triliun didapat dengan asumsi semua Koperasi Merah Putih mendapat pembiayaan yang sama, yaitu Rp3 miliar per tahun dan risiko kebocoran anggaran sebesar 20 persen, sesuai taksiran Bank Dunia.Celah korupsi, masih mengtuip studi CELIOS, berpeluang ditemukan di semua tahapan koperasi. Misalnya saat pencairan modal awal yang berasal dari dana desa atau pinjaman bank, rawan korupsi mark-up biaya pendirian ataupun koperasi fiktif.“Di tahap ini, pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa, pejabat daerah, maupun notaris,” tutur peneliti CELIOS Muhammad Saleh.Di fase penyelenggaraan, CELIOS melanjutkan, potensi korupsi jauh lebih besar, mulai dari pembebasan nilai proyek sampai penggunaan dana koperasi untuk kepentingan pemilu. Penyelewengan ini bisa melibatkan elite desa maupun partai politik.BUMDes 24 di Kedungbener, Kebumen, Jawa Tengah. (Wikimedia Commons)Potensi korupsi ini berkaitan dengan aturan hukum yang membawahi program Kopdes Merah Putih. Secara kelembagaan, program ini dinilai melanggar UU Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi harus dibentuk secara sukarela oleh anggota. Namun kenyataannya, Kopdes Merah Putih justru berdiri dari Instruksi Presiden. CELIOS mengungkapkan Koperasi Merah Putih rentan berkonflik atas aturan desa serta Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pasalnya, pemerintah desa dipaksa membentuk Koperasi Merah Putih dengan cara berutang ke bank sebesar Rp3 miliar.Saleh menyoroti bagaimana pembayaran cicilan itu bukan berasal dari keuntungan koperasi, melainkan pemotongan dana desa."Artinya, dana yang semestinya untuk pembangunan desa malah dipakai untuk membayar cicilan pinjaman yang keuntungannya belum pasti," Saleh menjelaskan.Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda menyatakan, pembangunan desa yang didorong dari pemerintah pusat, bukan bentuk nyata dari pembangunan nasional yang timbul dari masyarakat. Dana desa yang dijadikan jaminan justru mencederai pembangunan desa yang dicita-citakan dalam UU Desa.”Ada potensi penyalahgunaan dana pinjaman Koperasi Merah Putih yang masif karena membuka celah korupsi yang baru. Apalagi dengan status kerugian Danantara dan BUMN yang tidak lagi menyandang status kerugian negara, maka ada potensi melakukan kejahatan korupsi," ucap Huda dalam keterangan yang diterima VOI. "Selain itu ada potensi Koperasi Merah Putih menjadi predator badan usaha lainnya yang sudah terlebih dahulu eksis. Pelaku ekonomi desa yang akan dirugikan seperti pelaku usaha dan koperasi lembaga keuangan mikro," kata Huda.