Jusuf Kalla Tegaskan Kebijakan Pejabat Tak Bisa Dipidana dalam Sejarah Hari Ini, 23 Juli 2015

Wait 5 sec.

Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI adalah contoh pejabat yang dipidana melakukan tindak pidana korupsi karena kebijakannya yang dianggap salah. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww)JAKARTA – Sejarah hari ini, 10 tahun yang lalu, 23 Juli 2015, Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) menegaskan suatu kebijakan atau diskresi pejabat tak bisa dipidana. Upaya pidana terhadap suatu kebijakan dianggapnya dapat membuat pejabat tak berani buat kebijakan baru.Sebelumnya, urusan membuat kebijakan bukan hal mudah. Apalagi, kebijakan yang mampu meningkatkan hajat hidup rakyat. Kondisi itu karena kebijakan yang diambil kadang kala bisa merugikan negara. Namun, kerugian itu dianggap wajar dan tak boleh dipidana.Hukum sejatinya harus mendukung pembangunan nasional. Narasi itu terus didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap kesempatan sepanjang tahun 2014. Jokowi ingin penegak hukum dapat membedakan mana kerugian negara dari kebijakan dan dari korupsi.Jokowi lalu mengimbau kepada penegak hukum untuk tak pidanakan pejabat pembuat kebijakan. Urusan membuat kebijakan tak mudah. Banyak di antara kebijakan yang dibuat memuat keinginan supaya hajat rakyat Indonesia terangkat.Perkara ada kerugian negara akibat kebijakan tak jadi soal. Jika pemerintah bersikukuh pejabat dipidanakan gara-gara kebijakannya kekacauan muncul. Pejabat pemerintah jadi takut untuk berinovasi. Ketakutan itu akan membawa masalah besar karena pembangunan nasional tak bertumbuh.Pesan Jokowi ditanggapi positif oleh penegak hukum. Kapolri, Badroddin Haiti mengungkap bahwa mereka siap bekerja ekstra. Polisi dianggapnya harus mampu melihat suatu kasus, mana yang kebijakan dan mana yang kriminal.Jaksa Agung, H.M. Prasetya pun mengungkap urusan kebijakan bisa ditelaah lebih lanjut. Ia menganggap kebijakan bisa dilirik dari niatnya. Kalau kebijakan itu erat dengan niat jahat, ada korupsi harus ditindak. Namun, jika untuk kebaikan rakyat, tidak ada korupsi tak perlu ditindak. Sekalipun bawa kerugian bagi negara.Narasi yang didengungkan pemerintah jelas tak mulus-mulus saja. Keinginan pemerintah supaya kebijakan tak dipidana mendapatkan kritik dari berbagai macam kalangan. Harusnya pejabat pembuat kebijakan yang merugikan negara dan rakyat harus dibisa dipidana.“Persoalannya hukum kita ini justru tidak menganggap kebijakan yang salah itu sebagai kejahatan, dan tidak bisa dipidana. Padahal, dengan jelas kebijakan yang salah, koruptif, dan merugikan bangsa dan negara itu sebagai bentuk kejahatan. Kalau sejak awal kebijakan itu memang koruptif, kenapa tidak ditindak?” kata Pakar Hukum pidana, Yenti Garnasih sebagaimana dikutip laman tribunnews.com, 13 Februari 2014.Kritik yang utarakan kepada keinginan pemerintah tak pidana kebijakan pejabat mendapatkan atensi JK. Wapres itu kekeuh menganggap suatu kebijakan tak bisa dipidana pada 23 Juli 2015. JK menganggap hal itu adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.Jusuf Kalla (JK) yang pernah jadi Wakil Presiden era 2004-2009 dan 2014-2019. (ANTARA)Artinya seorang pejabat negara dapat membuat kebijakan atau diskresi. Perkara kebijakannya membawa kerugian belakangan, maka hal itu bukan merupakan tindak pidana. Narasi itu bukan bentuk impunitas pejabat. Namun, jika terdapat korupsi di dalamnya, maka pejabat terkait baru dapat ditindak."Kebijakan tidak boleh diadili. Di bidang ekonomi ini kan banyak kebijakan yang harus diambil. Nah, apabila itu suatu kebijakan belum apa-apa sudah dianggap salah, nanti enggak ada yang berani ambil kebijakan sehingga menganggu ekonomi.”“Itu maknanya, semua orang itu takut. Ya kalau mencuri hukumlah, korupsi hukumlah. Tetapi jangan kalau ambil kebijakan, kita bangun jalan atau bikin kebijakan pengairan kemudian dianggap keliru, ya jangan," ujar JK sebagaimana dikutip laman kompas.com, 23 Juli 2015.