Ilustrasi Amazon Peru. Foto: Bruno Kelly/REUTERSKawasan lahan gambut di Amazon Peru yang biasanya menyerap lebih banyak karbon dibandingkan yang dilepaskannya, kini berubah menjadi ekosistem netral karbon. Artinya, lahan tersebut tak lagi menyerap karbon.Yang mengejutkan, perubahan ini terjadi tanpa ada gangguan besar dari aktivitas manusia. Adapun penemuan dipublikasikan pada 30 Juni 2025 di jurnal Geophysical Research Letters.Lahan gambut memegang peran vital dalam siklus karbon karena mampu menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Di Peru, lahan gambut hanya mencakup kurang dari 5 persen wilayah negara, atau sekitar 56.000 kilometer persegi. Namun, ekosistem ini menyimpan sekitar 5 gigaton karbon di bawah permukaan tanah, setara dengan seluruh karbon yang disimpan oleh vegetasi di atas tanah di seluruh Peru.Gambaran serupa juga terjadi secara global. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), lahan gambut hanya menutupi sekitar 3 persen permukaan daratan dunia, namun mampu menyimpan lebih dari 550 gigaton karbon, dua kali lebih banyak dibandingkan semua hutan di dunia.“Lahan gambut memang kecil secara luas, tapi punya peran luar biasa sebagai gudang karbon,” kata Jeffrey Wood, biometeorolog dari University of Missouri dan penulis utama studi ini, kepada Live Science. “Mereka telah menyimpan gigaton karbon selama puluhan ribu tahun.”Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di Peru?Wood dan timnya telah mempelajari lahan gambut di Amazon Peru, tepatnya di Cagar Alam Hutan Quistococha. Ekosistem rawa ini dikenal dengan sebutan aguajales dan didominasi oleh pohon palem moriche (Mauritia flexuosa).Ekosistem ini terbentuk di wilayah yang rutin tergenang air. Buah dari palem moriche, dikenal sebagai aguaje, menjadi sumber makanan penting bagi masyarakat lokal, serta berbagai satwa liar seperti burung macaw, monyet, tapir, dan agouti. Kawasan ini pun menjadi rumah bagi beragam burung, reptil, hingga mamalia.Hutan Amazon di Peru Foto: Shutter StockTanaman-tanaman di aguajales menyerap karbon dioksida melalui proses fotosintesis. Karena wilayahnya basah dan minim oksigen, daun dan sisa tumbuhan yang gugur tidak membusuk sempurna, melainkan membentuk lapisan gambut yang menyimpan karbon selama ribuan tahun.Namun, Wood dan timnya menemukan bahwa pada 2022, lahan gambut ini tidak lagi menyerap karbon secara signifikan. Dari yang sebelumnya berstatus "penyerap karbon kuat" pada 2018 dan 2019, lahan ini berubah menjadi netral.Anehnya, tidak ada tanda-tanda kerusakan lingkungan. Tidak ada penggundulan hutan, tidak ada pembalakan, tidak ada kekeringan ekstrem, dan tidak ada badai besar.Jadi, apa penyebabnya?Peneliti menemukan dua faktor utama. Pertama, periode cerah yang berkepanjangan dan intensitas matahari yang tinggi justru membatasi fotosintesis tanaman. Alih-alih tumbuh optimal, tanaman justru memperlambat aktivitasnya karena terlalu banyak cahaya dan panas.Kedua, permukaan air tanah yang menurun menyebabkan bagian atas gambut lebih terbuka dan terkena oksigen. Ini memberi peluang lebih besar bagi bakteri untuk mengurai material organik, yang pada akhirnya melepaskan lebih banyak karbon dioksida dan gas metana ke atmosfer.Lydia Cole, ahli ekologi konservasi dari University of St Andrews di Skotlandia, mengatakan bahwa secara alami lahan gambut memang mengalami fluktuasi serapan dan pelepasan karbon sepanjang tahun. Tapi dalam jangka panjang, biasanya masih menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan.“Di satu lanskap, bisa ada area yang menyerap karbon dan area yang melepaskan, tergantung kondisi tanah dan kelembapan,” ujar Cole dikutip Live Science.Foto udara kerusakan hutan Amazon yang terdeforestasi akibat penambangan emas ilegal di wilayah sungai Madre de Dios, Peru. Foto: AFP/Cris BOURONCLEWood sendiri awalnya merasa heran kenapa cahaya matahari justru menghambat fotosintesis. Namun, ia kemudian menyadari bahwa hutan hujan tropis di Quistococha biasanya selalu tertutup awan tebal. Ketika tanaman tiba-tiba terkena cahaya penuh, mereka menutup pori-pori daun (stomata) sebagai mekanisme perlindungan, sehingga asupan karbon dioksida pun menurun.Inilah mengapa fotosintesis biasanya lebih rendah saat siang hari di hutan hujan. Namun kali ini, bahkan pada pagi dan sore hari, yang biasanya jadi momen paling produktif, proses fotosintesis pun ikut menurun.Pertanyaannya, apakah lahan gambut ini akan kembali menyerap karbon? Atau justru terus netral bahkan menjadi sumber emisi?Wood masih optimistis. Ia yakin lahan gambut ini bisa pulih di tahun-tahun mendatang.Chris Evans, ahli biogeokimia lahan gambut dari UK Centre for Ecology & Hydrology, juga meminta publik tak buru-buru menarik kesimpulan hanya dari satu tahun pengamatan.“Saya rasa ini bisa jadi fluktuasi alami tergantung kondisi cuaca, terutama jika permukaan air tanah sempat turun,” kata Evans. “Saya tidak melihat ini sebagai indikasi perubahan jangka panjang.”Namun, penting dicatat, perubahan ini terjadi tanpa adanya gangguan besar dari manusia, tapi bukan berarti manusia tidak punya andil.“Ekosistem tidak berfungsi seperti pulau yang terisolasi,” kata Cole.Di wilayah sekitar, ada padang rumput dan permukiman yang tercipta akibat deforestasi. Perubahan ini bisa memengaruhi pola cuaca lokal, dan dalam jangka panjang berdampak pada iklim.Belum ada yang tahu pasti bagaimana perubahan iklim akan memengaruhi lahan gambut tropis di Peru atau di Amazon secara keseluruhan. Namun, perubahan tutupan awan atau permukaan air tanah bisa berdampak besar terhadap kemampuan lahan gambut menyerap karbon.Jean Ometto dari Brazil’s National Space Research Institute menambahkan, di Amazon Brazil sendiri masyarakat kini menghadapi dua ekstrem sekaligus: banjir besar dan kekeringan parah.“Penurunan permukaan air tanah bisa menjadi proses permanen akibat kekeringan yang terus berulang,” kata Ometto. “Kalau itu terjadi, dampaknya bisa sangat besar.”Meski belum saatnya panik, Cole menegaskan perlunya langkah konkret.“Kita tidak perlu membesar-besarkan,” ujarnya. “Tapi kita juga harus serius memikirkan bagaimana cara melindungi lahan gambut yang masih sehat dan bagaimana membasahi kembali gambut yang mulai mengering, agar tetap bisa menyimpan karbon di masa depan.”