Penurunan Tarif Resiprokal dari Amerika Serikat Hanyalah Diskon Semu

Wait 5 sec.

Presiden Prabowo Subianto menghadiri acara puncak peringatan Hari Lahir (Harlah) Ke27 PKB di Jakarta, Rabu (23/7/2025). (ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden)JAKARTA – Penurunan tarif resiprokal yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada Indonesia tak lebih dari diskon semu. Pasalnya, meski dari segi angka turun, justru Indonesia dibayangi kerugian signifikan ke depannya, termasuk ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan, penurunan tarif resiprokal dari 32 persen menjadi 19 persen adalah sebuah kemajuan dan keberhasilan yang tidak bisa dianggap kecil. Kata dia, tarif resiprokal yang akhirnya turun 13 persen itu diperoleh lewat perjuangan yang luar biasa dari tim negosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.“Ini merupakan negosiasi yang juga luar biasa yang dilakukan oleh presiden kita secara langsung dengan Presiden Donald Trump, dan ini titik temu antara pemerintah kita dengan pemerintah AS,” tutur Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/7/2025).Nada antusias juga disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso, yang mengklaim Indonesia menjadi negara ASEAN paling diuntungkan dalam skema tarif baru ke AS.Menurut Budi, dengan tarif sebesar 19 persen, angka tersebut lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga lainnya, kecuali Singapura.Pekerja menyelesaikan pesanan produk tekstil untuk ekspor di pabrik PT Sari Warna Asli Tekstil (Sari Warna) Solo, Jawa Tengah, Kamis (17/7/2025). (ANTARA/Maulana Surya/agr)Tapi klaim bahwa Indonesia diuntungkan lewat tarif ini ditepis sejumlah pengamat. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengungkapkan, penurunan tarif ini bisa dibilang hanya diskon semu, karena realitanya Indonesia mengalami kerugian signifikan dari hasil negosiasi perdagangan terbaru dengan Negeri Paman Sam. Di sisi lai, ekonom Esther Sri Astuti mewanti-wanti pemerintah soal ancaman PHK yang tetap membayangi.Kesenjangan DagangSalah satu kerugian paling mencolok, menurut Huda, adalah adanya kesenjangan dagang. Sebab, dalam kesepakatan tersebut pemerintah AS dapat mengekspor barang ke Indonesia dengan tarif nol persen, sedangkan sebaliknya, ekspor Indonesia ke AS masih dikenai tarif 19 persen."Pada akhirnya, Indonesia menyerah terhadap pemerintah AS terkait dengan tarif impor yang ditetapkan oleh Trump. Indonesia mendapatkan diskon semu dari Trump," kata Huda kepada VOI.“Bayangkan, AS yang notabene negara maju justru mendapatkan keringanan tarif untuk masuk ke pasar negara berkembang seperti Indonesia. Ini saya nilai sebagai kerugian terbesar dari diplomasi dagang yang harus dibayar pemerintah atau pelaku usaha kita ke AS,” sambung Huda.Kesepakatan dagang dengan Trump ini juga berdampak pada industri teknologi dan digital dalam negeri, apalagi bagi perusahaan yang belum mampu bersaing secara global.Kedua industri ini, kata Huda, akan tertekan dengan adanya kesepakatan non-tarif dari produk AS. Di pasar global, produk teknologi dan digital dari lokal belum mampu bersaing, sedangkan di dalam negeri tertekan produk impor.Penjaga stan perusahaan memberikan informasi kepada pencari kerja saat bursa kerja bertajuk Grand Career Exhibition di Gedung Muladi Dome Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/6/2025). (ANTARA/Makna Zaezar/nym)"Jika begitu, konsep digitalisasi di Indonesia hanya dimaknai menggunakan barang berteknologi, tanpa menjadi produsen barang teknologi tinggi," jelasnya.Selain itu, arus impor yang semakin deras akan memengaruhi tingkat surplus dagang Indonesia yang semakin kecil. Huda menuturkan, surplus dagang dengan Amerika Serikat merupakan salah satu surplus dagang terbesar bagi Indonesia. Sekadar catatan, selain tidak mengenakan pajak, pemerintah juga berjanji akan membeli produk dari industri energi, pertanian, dan aviasi Amerika Serikat secara besar-besaran."Ekspor kita ke AS yang melambat, namun impor kita dari AS akan semakin deras. Salah satu tekanan turunannya adalah cadangan devisa bisa menurun dan akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang melemah," kata Huda lagi.Bayang-bayang PHKLembaga Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi angka pengangguran di Indonesia bakal meningkat dibandingkan sebelumnya. Pada 2024 angkanya 4,9 persen dan akan naik jadi 5,1 persen pada 2026.Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti meramalkan kenaikan tarif yang ditetapkan AS akan diikuti kenaikan harga komoditas tersebut di tingkat pembeli."Dampaknya akan mengurangi permintaan terhadap produk tersebut. Kalau itu yang terjadi, nanti takutnya perusahaan melakukan resesi, dan yang kita tidak harapkan adalah layoff tenaga kerja," tutur Esther, seraya menambahkan efek dominonya ekonomi nasional akan lesu.Kata Esther, potensi pengangguran baru ini akan menambah beban baru di tengah keterbatasan lapangan pekerjaan yang ada."Contoh di beberapa media. Dibuka 50 lowongan, tapi yang datang itu ratusan orang, seribu orang. Itu artinya apa? Artinya kan kurang lapangan pekerjaan," pungkasnya.