Ilustrasi ruang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) BahbahAconk/Shutterstock● Korupsi disebabkan antara lain oleh faktor personal (psikologis) pelaku.● Faktor personal korupsi membuat koruptor membenarkan korupsi dan merasa dapat lolos dari hukuman.● Perlu adanya strategi antikorupsi yang lebih komprehensif.Klasemen “liga korupsi Indonesia”—daftar kasus dugaan grand corruption berdasarkan potensi kerugian negara—saat ini dipimpin oleh korupsi Pertamina senilai Rp968,5 triliun. Ada juga korupsi Chromebook senilai Rp9,9 triliun dan Wilmar (minyak sawit) senilai Rp11,8 triliun.Liga korupsi juga kedatangan pemain baru, tersangka korupsi yang oleh Kompas disebut-sebut sebagai “koruptor termuda” berusia 24 tahun.Dugaan kasus lainnya seperti korupsi BRI dan korupsi Bank Jateng dalam pemberian kredit ke Sritex, korupsi kuota haji, memperpanjang daftar kasus korupsi yang sedang bergulir.Berita korupsi Indonesia yang seakan menjadi kabar rutin ini membuat publik bertanya-tanya: Apa saja faktor penyebab korupsi?Saya adalah peneliti psikologi yang mendalami faktor-faktor psikologis yang mendorong orang berperilaku, termasuk melakukan korupsi. Perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor psikologis (personal) atau isi kepala pelaku.Meski faktor eksternal berkontribusi, tetapi faktor psikologis atau personal berperan krusial pada tindakan korupsi. Tanpa keputusan seseorang untuk melanggar, seberat apa pun bujukan atau tekanan eksternal tidak serta-merta berujung pada tindakan korupsi.Isi kepala koruptor: Apa saja faktor penyebab korupsi?Saya dan tim melakukan riset untuk mengupas mekanisme psikologis sebelum dan sesudah pelaku korupsi melakukan tindakan korupsi. Kami melakukan wawancara pada terpidana kasus korupsi yang terdiri dari mantan politisi, mantan pejabat, dan mantan pengusaha.Riset kami menggunakan pendekatan psikologi diskursif untuk menganalisis bagaimana pelaku menilai tindakan korupsi mereka. Berikut adalah sebagian hasil riset kami.1. Memiliki pembenaran diri terkait korupsiKoruptor sebetulnya memahami apa yang dimaksud dengan korupsi. Namun, mereka memaknai tindakan mereka secara personal sebagai pembelaan diri atas tindakan mereka.Mereka mengetahui bentuk-bentuk korupsi yaitu penggelapan, suap-menyuap, gratifikasi, pemerasan, dan lainnya. Mereka pun memahami bahwa korupsi dapat merugikan negara.Namun, mereka meyakinkan dirinya sendiri (dan orang lain), jika negara tidak langsung dirugikan, maka tindakan mereka bukanlah korupsi.Misalnya menerima “amplop” proyek. Mereka beralasan bahwa tindakan ini bukanlah korupsi. Sebab, “amplop” yang diterima bukan uang dari negara, melainkan dari pengusaha.Dalam ilmu psikologi, tindakan pembelaan diri tersebut merupakan mekanisme pertahanan diri, yaitu rasionalisasi. Tujuannya untuk mempertahankan harga diri. Dengan menilai bahwa perbuatannya bukan korupsi, mereka merasa punya harga diri di hadapan orang lain.Dalam sejumlah kasus korupsi, sangat mungkin pelaku membenarkan korupsi dengan alasan perintah atasan atau aktor di balik layar. Pelaku melakukan korupsi karena ia patuh terhadap atasan atau tokoh itu, dan khawatir menerima risiko jika menolak perintah. Baca juga: Subur praktik pungli di tanah pertiwi Selain itu, pembelaan diri koruptor juga dapat berbentuk moral licensing. Ini adalah proses saat seseorang sengaja berbuat “kejahatan” karena menganggap sudah banyak melakukan “kebaikan”. Sebagai contoh, pejabat yang merasa sudah banyak membantu masyarakat bisa jadi akan berpikir, “Tidak apa-apa korupsi karena aku sudah banyak berkontribusi kepada mereka.”2. Meyakini kecilnya peluang ditangkapKoruptor umumnya meyakini bahwa sistem peradilan korupsi di Indonesia masih lemah. Akibatnya, mereka menganggap kemungkinan mereka lolos dari proses hukum dan tak masuk penjara sangat besar.Andaipun tertangkap, mereka beralasan bahwa itu bukan hanya karena mereka bersalah, melainkan karena difitnah oleh lawan politik atau dikorbankan oleh kolega atau atasan. Ia merasa menjadi korban permainan politik kekuasaan.“Kamu bisa saja tidak benar-benar melakukan korupsi, tapi karena penegak hukum bisa melakukan manipulasi, kamu bisa jadi bersalah. Contohnya kasus saya itu dimanipulasi, saya tidak pernah korupsi.” (Partisipan 2)Kami memang menemukan adanya persepsi tentang lemahnya sistem peradilan korupsi di Indonesia. Akibatnya, koruptor merasa ditangkap bukan karena mereka melakukan tindakan yang salah, tapi karena “kekurangan backing” alias pelindung.Sistem peradilan yang lemah menjadi faktor eksternal yang menyuburkan praktik korupsi. Ketika sistem peradilan korupsi lemah, ditambah dengan keyakinan individu bisa lolos dari sanksi, maka perilaku korupsi berisiko terus langgeng. Inilah kenapa korupsi di Indonesia sulit diberantas. Baca juga: Mengapa korupsi masih marak terjadi? 3. Tak lagi sensitif soal moralitasKoruptor pun tidak (atau kurang) memiliki sensitivitas moral, sehingga mereka mampu membenarkan tindakan korupsi.Ini dimungkinkan karena mereka percaya bahwa “semua orang” (misalnya rekan bisnis, kolega, termasuk anak buah dan atasannya) adalah korup. Mereka semua, tanpa kecuali akan melakukan korupsi sejauh ada kesempatan untuk melakukannya.Kepercayaan ini menyebabkan mereka mengalami moral disengagement, yaitu kondisi seseorang tak lagi peka terhadap moralitas (antikorupsi). Akibatnya, mereka mewajarkan dan membenarkan tindakan tidak bermoral.“Semua teman saya di parlemen sering terima amplop dari investor dan pengusaha yang mengerjakan proyek di area X. Itu sudah jadi hal yang wajar.” (Partisipan 1)Ketika ketidakpekaan ini berhasil membuat seseorang melakukan korupsi untuk pertama kalinya, ada kemungkinan ia akan “ketagihan” melakukan aksi-aksi korupsi berikutnya. Baca juga: Riset temukan masyarakat cenderung toleran terhadap korupsi. Ini mempersulit pemberantasannya Korupsi yang awalnya kecil, dilakukan terus-menerus tanpa sanksi, lalu membesar–atau disebut sebagai efek slippery slope.Namun, terdapat kemungkinan efek lain yaitu steep cliff, kondisi ketika korupsi langsung dilakukan secara besar-besaran dan tiba-tiba karena adanya kesempatan.Membenahi strategi pemberantasan korupsi IndonesiaApa saja strategi pemberantasan korupsi yang perlu Indonesia kembangkan?Pertama, sistem peradilan korupsi Indonesia perlu lebih tegas, adil dan transparan, tanpa tebang pilih. Indonesia dapat belajar dari Rwanda. Setelah mengalami konflik 1994, negara ini berfokus pada pembangunan tata kelola pemerintahan antikorupsi. Melalui fokus tersebut, Rwanda melakukan upaya mulai dari penetapan nilai antikorupsi sebagai target nasional, sampai ke kebijakan pengangkatan hakim yang berdasarkan pencapaian (merit-based).Kedua adalah pembentukan dan penanaman budaya antikorupsi secara masif dan sistematis, bukan sporadis. Artinya, pembentukan budaya antikorupsi harus hadir mulai dari gerakan keluarga, pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, bahkan sampai ke lembaga peradilan.Misalnya pendidikan moral yang digalakkan Jepang melalui keluarga dan pendidikan. Kurikulum pendidikan dasar Jepang menekankan pada perkembangan moral dalam aktivitas sehari-hari, sesederhana praktik mengantre sampai rasa malu dan bersalah ketika melakukan pelanggaran moral. Pendidikan ini dapat membentuk budaya antikorupsi.Jika dilakukan dengan konsisten dan terencana, dua hal ini berpeluang memperkecil dorongan dan alasan seseorang untuk melakukan korupsi yang semakin menggerogoti kehidupan bernegara.Kezia Kevina Harmoko turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.Zainal Abidin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.