Pajak Medsos Disarankan Sasar Influencer hingga Affiliate Marketer

Wait 5 sec.

Ilustrasi influencer perempuan. Foto: ShutterstockPemerintah berencana menggunakan media sosial (medsos) dan kecerdasan buatan AI untuk memperluas potensi penerimaan pajak. Terkait medsos, nantinya pemerintah disarankan untuk menyasar para influencer sampai Affiliate Marketer.Ekonom digital dari CELIOS Nailul Huda melihat potensi pajak dari hal tersebut ada karena siapa pun yang mendapat penghasilan tambahan harus dikenakan pajak. Jika mengincar influencer, hal tersebut bisa dilakukan dari adanya kegiatan terkait iklan yang dilakukan.“Namun terkait dengan pajak dari penjualan barang yang didiskusikan di media sosial, akan sangat sulit terlacak. Jika rate card influencer mungkin bisa, tapi jika ingin mengetahui penjualan keripik tahu dari akun media sosial? Dari Mana datanya? Pun dengan pajak dari media sosial memang fokusnya adalah ke influencer dengan pendapatan yang menurut saya cukup tinggi,” ujar Nailul kepada kumparan, Minggu (20/7).Untuk influencer, Nailul menuturkan perpajakan dapat didasarkan pada jumlah follower atau jenis influencer. Nantinya mengelompokkan bisa dilakukan dalam beberapa kategori seperti influencer nano, makro atau selebriti.“Jadi saya merasa harusnya mengejar pajak media sosial ke influencer. Masalahnya sekarang artis-artis ataupun influencer punya kedekatan dengan penguasa,” ujarnya.Ilustrasi Belanja Online. Foto: ShutterstockSelain influencer, ekonom dari CORE Yusuf Rendy Manilet melihat pajak medsos memang jadi potensi besar karena aktivitas ekonomi di ruang digital semakin banyak dan tak hanya ada lewat influencer.“Dari content creator, influencer, affiliate marketer, hingga penjual produk atau jasa digital. Sayangnya, banyak dari penghasilan ini belum tercatat secara resmi dan belum tersentuh sepenuhnya oleh sistem perpajakan,” kata Yusuf.Terkait penggunaan AI untuk mendeteksi penghasilan tambahan seseorang, Yusuf menilai penggunaan AI memang dapat membantu mengidentifikasi akun-akun dengan potensi penghasilan tinggi atau menemukan ketidaksesuaian antara gaya hidup dan pelaporan pajak. Meski demikian, keberadaan bukti pendukung yang sah masih dibutuhkan.“Tapi tetap saja, AI tidak bisa dijadikan dasar utama untuk penarikan pajak. Harus ada bukti pendukung yang sah, seperti transaksi atau kontrak, agar prosesnya kuat secara hukum dan adil secara administratif,” ujarnya.Pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono melihat perpajakan di medsos yang nantinya diterapkan mengarah kepada Pajak Penghasilan (PPh) karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang memiliki fungsi pengawasan yang nantinya juga akan dilakukan dengan medsos.Dengan begitu nantinya aktivitas di medsos dapat dilihat dari perspektif konsumsi yang dilakukan oleh pengguna medsos sebagai wajib pajak orang pribadi (WPOP). Salah satu konsumsi tersebut dapat berupa biaya perjalanan ke berbagai daerah di dalam atau negeri.“Warganet sering mengabadikan tempat wisata yang mereka kunjungi. Untuk mengunjungi tempat wisata tersebut, warganet tidak segan-segan seringkali harus mengeluarkan dana cukup signifikan. Hal demikian dapat dikorelasikan dengan besaran konsumsi yang dikeluarkan dalam setahun,” ujar Prianto.Ilustrasi ragam Sosial Media. Foto: ShutterstockSelain dari konsumsi perjalanan, hal yang bisa diawasi lewat medsos menurut Prianto adalah keberadaan peristiwa penting seperti pesta pernikahan dan pesta ulang tahun. Semua variabel itu bisa menjadi contoh tambahan konsumsi bagi pengguna medsos sebagai WPOP.Nantinya jika ada potensi tambahan penghasilan di medsos kurang dari tambahan konsumsi plus tambahan harta sesuai informasi yang tertera dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh maka seharusnya kantor pajak bisa menindaklanjuti dengan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).Nantinya analisis potensi tambahan penghasilan menurut Prianto juga dapat melibatkan AI sebelum petugas menerbitkan SP2DK.“Hasil klarifikasi dan penjelasan beserta bukti pendukungnya dapat menjadi indikasi lanjutan tentang apakah ada potensi penghasilan yang belum dikenakan PPh. Target penerbitan SP2DK adalah warganet sebagai WPOP mengakui ada potensi PPh kurang bayar, lalu melakukan penyetoran PPh tambahan serta lapor SPT,” jelas Prianto.Dengan langkah itu menurutnya target PPh pasal 25/29 orang pribadi sebesar Rp 15,14 triliun untuk tahun 2025 bisa dicapai.Sebelumnya, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan sistem AI yang akan digunakan itu didesain untuk membaca pola data dalam jangka panjang. Teknologi itu dinilai mampu mengidentifikasi anomali yang bisa menjadi indikasi adanya penghasilan yang belum terlaporkan."Sekarang kan AI itu sudah sangat bisa kita train untuk bisa melihat irregularities. Jadi prinsipnya seperti machine learning ya, dari pattern data yang ada. Kita lihat di sosial media activity-nya seperti apa, kalau orang pribadi," kata Bimo kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Selasa (15/7).Bimo memastikan pengawasan tak hanya bertumpu pada laporan SPT. DJP juga akan membandingkan data medsos dengan berbagai sumber lain untuk memverifikasi indikasi pendapatan yang tak dilaporkan.“Pakai pattern, pakai mendeteksi yang common seperti apa, yang normal seperti apa, yang abnormal seperti apa. Yang abnormal tadi kita coba cek dengan sumber data yang lain," ujar Bimo.