Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa di ICBB Bogor, Rabu (4/12). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparanPemerintah diminta hati-hati dalam merespons isu beras oplosan yang saat ini ramai usai Satgas Pangan Polri menemukan adanya dugaan ratusan merek beras tak sesuai mutu. Guru besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AP2TI), Dwi Andreas Santosa, menyebut penggunaan kata “oplosan” oleh pemerintah keliru dan dapat memicu kepanikan di publik. Kata dia, isu ini bisa berdampak negatif terhadap pelaku usaha kecil, khususnya penggilingan padi.“Gonjang-ganjing seperti ini nanti yang menderita siapa? Penggilingan-penggilingan padi kecil, bukan yang gede-gede. Karena pasti yang gede-gede sudah punya quality control yang cukup ketat,” ujar Dwi Andreas saat dihubungi kumparan, Sabtu (19/7).Dia menjelaskan praktik pencampuran beras sebenarnya merupakan hal umum dalam industri beras global dan dikenal sebagai blending.Sejumlah kualitas beras di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (19/7). Foto: Widya Islamiati/kumparanPencampuran dilakukan baik karena alasan varietas, kualitas, hingga preferensi konsumen di tiap daerah. Dwi Andreas menegaskan praktik tersebut tidak berbahaya jika dilakukan sesuai standar.“Beras dari berbagai varietas, seperti Inpari 32 dan Ciherang, biasanya dicampur. Tidak mungkin satu perusahaan hanya menjual satu varietas. Ini umum terjadi, kecuali untuk beras khusus seperti pandan wangi asli, beras merah, atau beras hitam,” jelasnya.Selain varietas, pencampuran juga terjadi pada tingkat patahan beras (broken). Beras yang keluar dari mesin penggilingan modern sering kali memiliki patahan di bawah 5 persen, sementara standar pemerintah untuk beras premium memperbolehkan hingga 15 persen patahan. Karena itu, perusahaan sering mencampur beras utuh dengan menir agar sesuai dengan ketentuan dan tidak rugi secara produksi.Dwi menyebut kasus sebelumnya di Wonogiri, ketika koperasi petani mendirikan pabrik kecil lalu dituduh menimbun beras dan langsung disidak Satgas Pangan.“Yang kecil-kecil ini yang mati, yang gede-gede tidak ada masalah. Hati-hati pemerintah terkait isu ini, jangan mengeluarkan pernyataan yang bombastis,” ucapnya.Pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Cecep, menunjukkan kualitas beras di PIBC, Jakarta Timur, Sabtu (19/7). Foto: Widya Islamiati/kumparanHET Beras Harus Dinaikkan Dibandingkan soal istilah oplosan, Dwi menilai pemerintah justru perlu menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras karena Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) juga sudah naik jadi Rp 6.500 per kg. Berdasarkan hitungan pabrik milik jaringan AP2TI di Indramayu, biaya produksi beras premium mencapai Rp 15.052 per kg. Namun HET beras premium masih dipatok Rp 14.900."Logikanya bagaimana (HET tidak dinaikkan), jadi tidak masuk akal,” katanya.Dwi mengingatkan jika kondisi ini terus berlanjut, penggilingan bisa kolaps dan mengancam kestabilan pasokan pangan nasional. “Sudah banyak yang tutup, kalau itu terjadi, itu bahaya bagi Indonesia. Bisa terjadi guncangan terkait dengan pangan dan panic buying,” ujarnya.Sementara itu, pengamat pertanian dari CORE Indonesia, Eliza Mardian, mengingatkan bahwa praktik oplosan bisa menjadi kejahatan ekonomi bila merugikan konsumen dan menyalahi aturan pasar.Suasana tumpukan beras yang dijual di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparan“Fenomena oplosan ini bukan cuma sekarang saja, tapi dari dulu juga sudah ada beberapa kasus serupa. Ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi karena merugikan konsumen, pedagang ritel, dan mengganggu persaingan sehat di pasar,” katanya kepada kumparan, Sabtu (19/7).Menurut Eliza, praktik oplosan akan merugikan jika melibatkan beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang mestinya dijual murah untuk masyarakat kelas menengah bawah, malah dioplos dan dijual sebagai beras premium.“Sayangnya SPHP 80 persen bocor. Tentu ini merugikan negara dan juga konsumen kalangan menengah bawah. Mereka jadi kesulitan dapat SPHP, pada akhirnya terpaksa beli beras dengan harga tinggi,” kata Eliza.Eliza menyarankan penguatan regulasi kualitas, pelabelan, dan traceability produk, hingga penggunaan teknologi pelacakan berbasis blockchain untuk mencegah manipulasi rantai pasok. Menurut dia, perlu ada sanksi tegas mulai dari pencabutan izin hingga pelarangan distribusi bagi pelaku curang.