Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)JAKARTA - Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute menilai upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali terlihat dalam Revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).Hal ini disampaikan Ketua IM 57+ Institute, Lakso Anindito menanggapi adanya 17 poin bermasalah dalam RKUHAP yang berpotensi mengganggu kewenangan KPK. Dia bilang sejumlah kerja pemberantasan korupsi akan terganggu, termasuk ketika komisi antirasuah akan melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT).“Ini bisa menjadi ‘silent way’ dalam upaya memperlemah kewenangan KPK, khususnya pada pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT),” kata Lakso dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Senin, 21 Juli.Lakso bahkan bilang OTT bisa dihapus gara-gara RKUHAP. Karena revisi ini nantinya akan mengatur masalah penyadapan hingga penyelidik.“Apabila tidak ada perubahan berarti ini adalah langkah nyata untuk menghapuskan OTT,” tegasnya.“Selain itu, persoalan juga hadir pada tahap penanganan perkara. Inilah yang menjadi celah untuk mengatur jalannya perkara di KPK,” sambung mantan pegawai KPK tersebut.Ke depan, Lakso mengingatkan para pembuat kebijakan tak justru membuat KPK semakin lemah dengan pengesahan RKUHP.“Revisi UU KPK pada tahun 2019, sudah memukul mundur jauh pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pelemahan KPK. Jangan sampai tragedi ini semakin parah dengan adanya free riders yang menjadikan KPK semakin terpuruk,” ujarnya.IM 57+ Institute juga minta pembahasan RKUHAP diberhentikan lebih dulu. “Dan partisipasi publik secara substantif harus dilakukan untuk mendukung langkah tersebut,” ungkap Lakso.Diberitakan sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengungkap RKUHAP berpotensi mengurangi kewenangan lembaganya. Kondisi ini sudah dibahas dalam diskusi bersama sejumlah pakar.“Kami melihatnya ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh terhadap kewenangan, mengurangi kewenangan tugas dan fungsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Setyo kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis malam, 17 Juli.Setyo mengatakan ada 17 poin krusial yang paling disoroti lembaganya. Sehingga, para pembentuk undang-undang diminta tak buru-buru.“Prinsipnya KPK berharap bahwa RUU KUHAP ini disusun secara terbuka, artinya terbuka itu, ya, transparan,” tegasnya.Adapun 17 permasalahan dalam RKUHAP yang bisa mengganggu kerja KPK adalah sebagai berikut:1. UU KPK yang mengatur soal penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus atau lex specialist berpotensi dimaknai tidak sinkron karena Pasal 329 dan 330 RKUHAP terdapat frasa: “… sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”;2. Keberlanjutan penanganan perkara yang dilakukan komisi antirasuah hanya dapat diselesaikan berdasarkan KUHAP. Padahal, KUHAP, UU KPK, dan UU Tipikor selama ini jadi pedoman;3. Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodir dalam RUU KUHAP. Penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi oleh Penyidik Polri. Aturan tersebut tidak sinkron dengan tugas dan fungsi KPK karena adanya kewenangan melakukan penyelidikan, mengangkat dan memberhentikan penyelidik;4. Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana. Padahal, penyelidikan KPK sudah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti;5. Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan;6. Penetapan tersangka ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti. Sehingga hal ini tak sejalan dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK soal penyelidikan;7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri. UU KPK telah mengatur adanya penghentian penyidikan oleh KPK dan berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 angka 6, maka penghentian penyidikan oleh KPK wajib diberitahukan kepada Dewan Pengawas;8. Penyerahan berkas perkara ke Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;9. Penggeledahan terhadap tersangka dan didampingi Penyidik Polri dari daerah hukum tempat penggeledahan;10. Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini bertentangan karena upaya paksa ini sudah diatur UU KPK dan tak perlu lagi izin kepada pihak lain serta Dewan Pengawas pasti juga sudah diinformasikan;11. Penyadapan. KPK selama ini memiliki kewenangan melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas;12. Larangan bepergian ke luar negeri hanya terhadap tersangka. Padahal, KPK selama ini bisa melakukan pencekalan ke luar negeri bagi saksi sebagaimana diatur dalam UU KPK;13. Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses Praperadilan;14. Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodir;15. Perlindungan terhadap Saksi/Pelapor hanya oleh LPSK;16. Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung. Padahal, selama ini penuntut KPK diangkat dan diberhentikan KPK dan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia; dan17. Penuntut umum terdiri atas pejabat Kejaksaan dan suatu lembaga yang diberi kewenangan berdasarkan ketentuan UU. KPK menilai aturan tersebut sebaiknya ditulis pejabat KPK merupakan bagian dari penuntut umum.