(Kementerian Koperasi)● Koperasi Merah Putih membuka celah besar praktik korupsi.● Pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa, pejabat daerah, maupun notaris.● Pemerintah perlu meninjau ulang program koperasi Merah Putih. Koperasi Merah Putih adalah program ambisius pemerintahan Prabowo Subianto. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengklaim program ini merupakan upaya pemerintah memperkuat ekonomi rakyat berbasis kebersamaan dan kemandirian desa dan kelurahan. Baca juga: Koperasi Merah Putih: Agar tidak mengejar kuantitas semata ketimbang pemberdayaan desa Di atas kertas, koperasi Merah Putih terlihat demokratis. Dibentuk melalui musyawarah desa, skema ini mengesankan masyarakat berperan aktif menentukan struktur dan arah koperasi. Namun, studi kami justru menemukan sejumlah masalah krusial koperasi Merah Putih. Salah satunya adalah risiko korupsi dan kebocoran anggaran besar hingga Rp48 triliun dari target jumlah 80 ribu koperasi di seluruh Indonesia.Risiko korupsi koperasi Merah PutihMelalui survei, kami juga memverifikasi apakah potensi korupsi di koperasi Merah Putih ini benar-benar bisa terjadi di lapangan. Survei kami lakukan kepada 108 pejabat desa di 34 provinsi melalui wawancara mendalam. Tujuannya agar kami dapat menangkap pandangan langsung dari mereka.Hasilnya? Potensi korupsi itu benar-benar ada. Sekitar 65% responden memperkirakan adanya celah besar dalam pelaksanaan koperasi Merah Putih rentan disusupi praktik korupsi terselubung. Tengoklah salah satu pernyataan mereka:Kasus korupsi dana BUMDes sudah banyak, anggaran pendirian Kopdes MP yang besar justru akan menciptakan korupsi yang semakin besar. -Perangkat desa di Sulawesi UtaraAdapun nilai Rp48 triliun kami peroleh dari risiko kebocoran anggaran di tingkat desa sebesar 20% dari total potensi pembiayaan bank milik negara ke 80 ribu koperasi Merah Putih sebesar Rp240 triliun per tahun. Sementara angka 20% ini berasal dari taksiran kebocoran pengadaan di tingkat desa versi studi Bank Dunia.Dengan asumsi semua koperasi Merah Putih mendapat pembiayaan yang sama, nilai risiko kebocoran per unit koperasi mencapai Rp60 juta per tahun. Kebocoran pengadaan berpotensi mengalir ke sektor informal, rente, dan kegiatan ekonomi ilegal.Potensi korupsi di segala liniKami juga melakukan telaah lanjutan untuk memetakan risiko korupsi dalam siklus koperasi Merah Putih yang termuat dalam berbagai aturan pelaksanaan. Hasilnya, kami menemukan potensi korupsi di lima tahap pembentukan koperasi. Misalnya, saat pencairan modal awal (yang berasal dari dana desa ataupun pinjaman bank) rawan korupsi berupa mark-up biaya pendirian ataupun koperasi fiktif. Di tahap ini, pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa, pejabat daerah, maupun notaris.Sementara di tahap penyelenggaraan, potensi korupsi bisa lebih banyak lagi—yakni di delapan tahap. Mulai dari mark-up nilai proyek hingga penggunaan dana koperasi untuk kepentingan pemilu. Penyelewengan bisa melibatkan elite desa hingga elite partai. Berhulu dari masalah tata kelolaTelaah potensi korupsi kami lakukan karena studi kami menemukan banyak sekali masalah hukum dalam koperasi Merah Putih. Misalnya, secara kelembagaan, koperasi Merah Putih melanggar UU Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi harus dibentuk secara sukarela oleh anggota. Baca juga: "Perusahaan" milik desa kunci untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan Namun, koperasi Merah putih justru terbentuk dari instruksi Presiden. Struktur, model usaha, dan mekanismenya juga seragam dari pusat. Ini jelas menyimpang dari watak koperasi yang digagas pendiri bangsa, Mohammad Hatta.Selain itu, koperasi Merah Putih juga berkonflik dengan aturan tentang desa dan badan usaha milik desa (BUMDes). Pasalnya, pemerintah desa dipaksa membentuk koperasi Merah Putih dengan cara berutang ke Bank sebesar Rp3 miliar dengan tenor pengembalian selama 10 tahun dan APBN sebagai agunan. Lebih parah, pembayaran cicilan bukan berasal dari keuntungan koperasi, melainkan dari pemotongan dana desa. Artinya, dana yang semestinya untuk pembangunan desa malah dipakai untuk membayar cicilan pinjaman yang keuntungannya belum pasti. Inilah yang membuat 76% responden studi kami juga menolak skema pembiayaan koperasi Merah Putih. Sebab, skema tersebut berisiko menciptakan korupsi terstruktur. Pengurus koperasi tidak merasa memiliki risiko, tetapi bisa menikmati dana besar tanpa pertanggungjawaban langsung kepada warga.Memperbaiki koperasi Merah PutihPemerintah perlu meninjau ulang program koperasi Merah Putih. Upaya ini dapat dimulai dengan menyusun ulang kerangka hukum dan kelembagaan. Perlu ada ruang konsultasi publik serta pengawasan independen sejak awal perancangan kebijakan. Ketimbang pendekatan top-down, pemerintah perlu mendorong pembentukan koperasi berbasis konteks lokal dan kebutuhan warga. Koperasi juga perlu mempertimbangkan kemitraannya dengan BUMDes dan organisasi komunitas desa. Baca juga: Rp187 triliun ke desa: semangat baru dan praktik lama dari UU Desa Pendanaan koperasi Merah Putih pun tidak boleh mengandalkan utang yang dijamin dana desa. Skema ini berisiko mengganggu stabilitas keuangan Indonesia, mengingat koperasi saat ini menjadi unit usaha dengan angka kredit macet terbesar. Studi terbaru kami bahkan menemukan risiko gagal bayar koperasi selama enam tahun masa pinjaman senilai Rp85,96 triliun. Pemerintah desa akan menanggung risiko ini secara langsung.Tanpa koreksi arah, koperasi Merah Putih bisa berubah menjadi bencana tata kelola yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap narasi ekonomi kerakyatan yang selama ini diagung-agungkan.Muhamad Saleh tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.