Ilustrasi - Putusan MK 135/2024 yang mengubah desain pemilu dan sistem demokrasi.(Foto: Istimewa)JAKARTA – Peneliti dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Brahma Aryana mengajukan gugatan yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menguji kembali Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. “Prakarsa ini merupakan respons esensial terhadap Putusan MK 135/2024 yang kami pandang berpotensi mengaburkan amanat konstitusi dan merugikan hak-hak konstitusional warga negara,” ungkapnya, Minggu 20 Juli 2025. Dia menerangkan bahwa secara spesifik gugatan tersebut untuk menguji Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 Ayat (1) UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Sebab, ketentuan-ketentuan yang digugat itu telah berubah oleh Putusan MK 135/2024. “Kami meyakini isinya bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam UUD 1945, di antaranya Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Brahma.Dia menilai, Putusan MK 135/2024 yang mengamanatkan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun berpotensi menimbulkan perubahan signifikan dalam sistem demokrasi Indonesia. “Secara substantif, putusan ini menciptakan norma hukum baru yang setara UU, sehingga memiliki dampak konstitusional yang fundamental dan wajib diuji kembali jika menimbulkan kerugian konstitusional nyata bagi warga negara dan pemilih,” kata Brahma. Seperti diketahui, MK telah mengeluarkan Putusan 135/2024 yang memerintahkan pelaksanaan pemilu dipisah menjadi dua, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah. Dalam putusan tersebut, MK juga menentukan jeda waktu penyelenggaraan antara pemilu nasional dan daerah, yakni 2 hingga 2,5 tahun.