Sore, Alegori Bumi yang Tak Lagi Didengar

Wait 5 sec.

artis Sheila Dara saat konferensi pers film Sore di kawasan Senayan, Jakarta, Senin, (11/11/2024). Foto: Agus Apriyanto“Laki-laki tidak akan bisa diubah sesuai dengan kemauan wanita, tapi laki-laki akan berubah karena dia benar-benar mencintai wanitanya.”-SoreKutipan itu terdengar seperti nasihat cinta biasa. Tapi dalam film Sore: Istri dari Masa Depan, kata-kata itu justru terasa seperti sindiran. Bukan hanya untuk Jonathan, tapi untuk seluruh umat manusia. Terutama kita yang tetap bebal meski berkali-kali diingatkan bahwa bumi tengah menuju kehancuran.Di sinilah letak kelihaian sutradara Yandy Laurens dalam menulis cerita. Yandy membungkus narasi krisis iklim dalam sebuah kisah cinta berbasis fiksi ilmiah. Ceritanya berpusat pada seorang perempuan bernama Sore (Sheila Dara) yang datang dari masa depan. Misinya adalah menyelamatkan suaminya, Jonathan (Dion Wiyoko), dari kematian dini.Jonathan adalah seorang fotografer yang menetap di Kroasia. Salah satu obsesinya adalah memotret perubahan iklim. Film berdurasi 1 jam 59 menit itu bahkan dibuka dengan scene Jonathan yang menembus kutub utara demi mengabadikan potret es yang mencair dan keberadaan beruang kutub.Seandainya ada sponsor yang tertarik, pikir Jonathan, dirinya mau menggelar pameran fotografi mengenai krisis iklim. Namun kawan sekaligus agennya, Carlo, justru pesimistis. Kata orang Kroasia itu, dunia sudah bosan dengan cerita tentang bumi yang sekarat.Di tengah kebimbangan itu, Sore muncul dalam hidup Jonathan. Ia membawa kabar dari masa depan. Yakni, Jonathan akan meninggal karena serangan jantung, beberapa tahun setelah menikah. Tak mau suaminya berumur pendek, Sore datang ke masa lalu untuk melakukan intervensi. Mulai dari mengubah pola makan Jonathan, menjauhkan rokok dan alkohol dari tangannya, serta rutin mengajaknya olahraga pagi.Namun, Jonathan keras kepala dan sulit diatur. Dia merasa tak ada yang perlu diubah karena semuanya masih tampak baik-baik saja. Tiap kali Jonathan mengabaikan Sore, perempuan itu akan lenyap, lalu muncul kembali persis di sisi kanan kasur Jonathan. Siklus itu berulang, dari nol, berkali-kali.Sore datang, merawat, mengingatkan, lalu kecewa. Kemudian menghilang, hanya untuk kembali lagi. Rasa cintanya yang besar membuat Sore seperti dikutuk untuk terus mengulang—sebuah time looping yang menguras pikiran dan emosi. Sore tahu bahwa Jonathan akan cepat mati jika tak berubah. Namun, Sore pada akhirnya memahami bahwa yang bisa mengubah Jonathan adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.Konferensi Pers Screening Film SORE. Foto: Aprilandika Pratama/kumparanSore sebagai Alegori EkofeminismeDalam banyak kebudayaan, perempuan dan bumi sering digambarkan sebagai sosok yang subur, memberi kehidupan, penuh kasih, tetapi juga rentan terhadap eksploitasi. Penggambaran ini muncul bukan hanya dalam mitologi, tetapi juga dalam cara masyarakat tradisional membangun relasi dengan alam.Di Yunani kuno, ada konsep tentang Gaia, dewi purba yang melahirkan segala bentuk kehidupan dan menjadi personifikasi bumi itu sendiri. Gaia bukan sekadar makhluk adikodrati, melainkan fondasi dari segala sesuatu yang hidup. Gaia adalah sumber kesuburan, keteraturan, dan kelangsungan semesta. Namun dalam perkembangan kosmologi Yunani yang semakin patriarkal, posisi Gaia mulai digeser. Ia tak lagi pusat kuasa, melainkan latar pasif dari konflik para dewa lelaki.Potret Sheila Dara Aisha dan Dion Wiyoko dari film Sore: Istri dari Masa Depan. Foto: @sheiladaishaDi Indonesia, ada pula konsep serupa dalam wujud Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan dalam tradisi agraris Jawa, Sunda, hingga Bali. Dewi Sri dianggap sebagai penjaga pangan dan keharmonisan antara manusia dengan bumi. Masyarakat desa dahulu memuliakan Dewi Sri lewat sesajen, simbolisasi, dan tata laku hidup yang berorientasi pada siklus alam. Ketika panen berhasil, itu berarti Dewi Sri senang. Sebaliknya, gagal panen ditafsirkan sebagai tanda murka atau ketidakseimbangan relasi manusia-alam.Namun dalam sistem ekonomi modern yang kapitalistik, citra Dewi Sri mulai tergantikan oleh mesin-mesin pertanian, pupuk kimia, dan logika produksi massal. Alam tak lagi dimuliakan sebagai ibu yang perlu dijaga, melainkan dieksploitasi sebagai sumber daya tak terbatas.Ekofeminisme membaca pola ini sebagai jejak dominasi patriarki terhadap tubuh dan tanah. Ketika perempuan dan bumi direduksi menjadi objek yang bisa dikontrol dan dikuasai, maka relasi manusia dengan dunia menjadi relasi kuasa, bukan relasi perawatan. Sore dalam film Sore: Istri dari Masa Depan muncul sebagai pengingat akan relasi yang hilang ini. Sore layaknya Gaia atau Dewi Sri hadir untuk memberi peringatan, menawarkan kehidupan, meski terus-menerus diabaikan dan dilukai.Ilustrasi Tambang Nikel Indonesia Foto: Masmikha/ShutterstockSaat tubuh Sore lenyap setiap kali Jonathan menolak mendengarkan, itu seperti metafora bagaimana alam terus memberi tanda. Layaknya Gaia atau Dewi Sri yang tidak bisa dipaksa untuk terus memberi tanpa kehancuran, Sore pun akhirnya pergi ketika Jonathan menutup telinga.Jonathan adalah cermin dari kita semua. Hidup dalam repetisi, passive nihilist. Kita tidak akan berubah hanya karena pidato besar tentang perubahan iklim, atau karena berita tentang suhu bumi yang terus naik. Yang menggerakkan Jonathan justru bukan fakta maupun data, melainkan aurora—fenomena alam yang cantik dan memukau. Di sanalah Jonathan belajar bahwa berubah karena mencintai jauh lebih kuat dibanding sekadar berubah karena ‘ditakut-takuti’ bakal mati cepat.Filsuf lingkungan David Abram menyebut pengalaman ini sebagai “ecological perception”. Suatu momen saat kita tak lagi hanya “tahu” bahwa alam itu penting, tapi merasakannya dalam tubuh. Dalam bukunya The Spell of the Sensuous (1996), Abram menulis bahwa dunia modern telah membuat kita buta secara indrawi. Kita hidup dari layar ke layar, tanpa pernah menyentuh embun pagi, mendengarkan kicau burung di alam, atau mencium bau tanah basah.Bagi Abram, krisis ekologis hari ini bukan hanya disebabkan oleh kerusakan lingkungan, tetapi oleh hilangnya keintiman manusia dengan dunia non-manusia. Ketika tubuh manusia tak lagi menyentuh tanah, maka hubungan spiritual dan etis dengan alam pun ikut lenyap. Oleh sebab itu, Abram percaya bahwa perubahan bukan dimulai dari laporan statistik, tapi dari pengalaman subjektif yang menyentuh.Suku Punan Batu di Kalimantan. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTOYang Mendengarkan Akan BertahanPersoalannya, kebijakan lingkungan seringkali dibuat oleh pejabat atau elite yang tak memiliki pengalaman subyektif semacam itu. Mereka tidak tahu rasanya menunggu hujan berhari-hari sambil memandangi sawah yang retak. Tidak tahu bagaimana nelayan pulang dengan jaring kosong lantaran laut telah tercemar. Mereka menyusun strategi adaptasi iklim ruangan ber-AC, tanpa pernah mendengarkan rintihan hewan di hutan atau mencium bau laut yang sekarat.Sore dengan demikian bukanlah sekadar film fiksi ilmiah romantis. Ia adalah alegori dari bumi yang selama ini tidak didengar, tidak dianggap serius, tidak dipercaya meski sudah berkali-kali memberi sinyal peringatan. Sama seperti Sore yang berkali-kali kembali ke titik awal dan terus mencoba mencintai, bumi pun terus memberi kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya bagi manusia.Wisata Gunung Es di Greenland Terdampak Pemanasan Global. Foto: Odd Andersen/AFPSore sudah berkali-kali datang. Berkali-kali juga Jonathan mengabaikannya. Tapi perempuan itu tak pernah menyerah. Sore tahu, cinta yang tulus tak akan pernah datang dari paksaan. Ia hanya bisa tumbuh ketika seseorang benar-benar mau melihat, mendengar, dan akhirnya mau berubah.Bumi juga begitu. Ia sudah memberi sinyal berkali-kali melalui banjir, kekeringan, gelombang panas, hingga pulau yang tenggelam. Namun seperti Jonathan, kita lebih sering bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Kita anggap itu semua hanyalah siklus biasa. Kita seringkali lebih percaya pada pembangunan daripada peringatan alam.Di masa depan, yang akan bertahan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling peka. Mereka yang bertahan adalah mereka yang masih mau mendengar suara-suara alam. Bukan karena mereka punya solusi, tapi karena mereka tahu harus mulai dari mana.Potret Sheila Dara Aisha dan Dion Wiyoko dari film Sore: Istri dari Masa Depan. Foto: @sheiladaishaTentu Sore: Istri dari Masa Depan tidak menawarkan solusi teknologis. Ia tidak berbicara tentang green energy, dekarbonisasi, atau transisi industri. Yang film itu sodorkan justru sesuatu yang teramat sederhana, yaitu cinta. Sebab, hanya cinta yang mampu menggerakan manusia untuk berbenah ke arah yang lebih baik.Film ini seolah-olah mengajak kita pada satu hal, yaitu memperhatikan tanda-tanda alam lebih dalam. Lebih peka pada hembusan angin pagi, gesekan suara daun, atau bahkan rasa air hujan. Mungkin itu adalah cara bumi mencoba bicara. Dan mungkin lagi, seperti Sore, bumi akhirnya hanya menunggu untuk dicintai seutuhnya oleh manusia.***Hai, aku Sore! Aku datang dari masa depan. Aku melihat yang belum terjadi, aku tahu apa yang akan rusak, yang akan hilang, yang tidak akan bisa kau perbaiki lagi. Tapi suara dan cintaku tidak kau dengar. Aku terus bicara, tapi kalian sibuk dengan hal lain. Aku perlahan retak, pelan-pelan menjauh, dan ketika kalian sadar, semuanya telah berubah. Aku adalah alegori dari Bumi yang terus berbicara, tapi tak lagi kalian dengar.Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."-QS: Ar-Rum 41