Ilustrasi artificial intelligence. Foto: ShutterstockBayangkan suatu pagi di tahun 2029. Kita bangun, membuka ponsel, dan mendapati video seorang calon Presiden sedang berkata bahwa ia akan menjual Indonesia ke Mars. Warganet gaduh, media bereaksi, debat publik memanas, dan hanya dalam hitungan jam elektabilitasnya anjlok. Tiga hari kemudian, ternyata itu deepfake buatan bot anonim. Terlambat sudah. Pemilu telah berubah arah, bukan karena rakyat berpikir jernih, tetapi karena algoritma yang lebih cepat daripada klarifikasi.Mungkin terdengar seperti film fiksi ilmiah, tetapi inilah risiko nyata yang kita hadapi saat kecerdasan buatan mulai ikut bermain di gelanggang demokrasi. AI kecerdasan buatan adalah janji manis bagi penyelenggara pemilu. Dengan AI, data pemilih bisa diperbarui sekejap, surat suara bisa dipantau real-time, logistik bisa dikirim tepat waktu, dan hasil pemilu bisa diketahui dalam hitungan menit tanpa drama quick count yang berhari-hari. AI bahkan bisa menjadi detektif digital: memantau kecurangan, menemukan pola manipulasi suara, dan mengidentifikasi akun buzzer yang menebar hoaks. Jika digunakan dengan bijak, AI adalah superhero pemilu: cepat, efisien, hemat anggaran, dan minim human error.Namun seperti setiap superhero, AI juga punya sisi gelap. Ia tidak punya moral, hanya algoritma. Jika yang mengendalikannya adalah pihak yang ingin menang pemilu dengan segala cara, AI bisa menjadi senjata penghancur demokrasi paling sunyi yang pernah ada. Bayangkan deepfake kandidat yang dirilis sehari sebelum hari pemungutan suara. Bayangkan serangan siber yang mengubah hasil rekap elektronik hanya dengan satu klik. Bayangkan kampanye mikro yang menyajikan pesan politik berbeda untuk setiap individu, menciptakan gelembung kebenaran masing-masing. Dan bayangkan kita, para pemilih, hanya menjadi penonton yang dibombardir informasi yang dirancang untuk membuat kita marah, takut, atau terharu agar kita memilih sesuai kehendak algoritma, bukan hati nurani.Ironisnya, regulasi kita masih berpikir seolah-olah pemilu adalah urusan kertas dan tinta. Kita sudah punya Sirekap, e-Coklit, dan sejumlah aplikasi canggih, tetapi belum ada satu pun pasal yang mengatur bagaimana AI boleh atau tidak boleh dipakai dalam pemilu. Kita bahkan mengatur warna seragam KPPS dengan detail, dari biru muda sampai merah muda, tetapi tidak mengatur transparansi algoritma yang mungkin menentukan siapa yang menang. Kita masih sibuk mengurus baliho yang menutupi pohon, sementara algoritma di balik layar bisa menutupi fakta.Ada yang selalu berkata, “Teknologi hanyalah alat, yang penting manusianya.” Benar. Tapi kalau manusianya bisa disetir oleh algoritma, siapa yang sebenarnya berkuasa? Kita berisiko punya demokrasi yang dioperasikan oleh black box kotak hitam yang hanya dimengerti segelintir insinyur di Silicon Valley atau di ruang server partai politik. Suatu hari, algoritma bisa memutuskan, “Kandidat A lebih banyak dipilih dalam simulasi prediksi, maka kita dorong berita positif tentang dia.” Tanpa kita sadari, kita tidak lagi memilih, kita dipilihkan. Pemilu berubah dari pesta rakyat menjadi pesta algoritma. Kita hanya tamu undangan yang diminta tepuk tangan.Jalan keluarnya bukan menolak AI, melainkan menundukkannya pada prinsip demokrasi. Kita butuh regulasi khusus yang mengatur penggunaan AI dalam pemilu, dari larangan manipulasi hingga kewajiban keterbukaan algoritma. Audit independen harus menjadi keharusan, agar algoritma yang dipakai untuk rekapitulasi suara tidak menjadi rahasia yang kebal kritik. KPU harus menyediakan dashboard publik yang memperlihatkan bagaimana data diproses, sementara literasi digital untuk pemilih harus menjadi prioritas agar rakyat tidak mudah terperangkap hoaks dan deepfake. Bahkan kerja sama Internasional diperlukan, sebab ancaman AI tidak mengenal batas negara, serangan siber bisa datang dari mana saja.Kita pernah takut kotak suara dicuri di jalan. Kita pernah takut kertas suara dibakar massa. Masa depan mungkin membuat kita takut pada sesuatu yang lebih sunyi: kode-kode yang bekerja di balik layar, yang bisa membalikkan hasil pemilu tanpa satu pun suara letusan. AI bisa menjadi wasit yang adil atau algojo demokrasi. Pertanyaannya, siapa yang mengawasi algoritma sebelum ia mengawasi kita?