Produknya Halal, Pemasarannya Jangan Problematik

Wait 5 sec.

Ilustrasi gambar oknum pelaku yang mencari keuntungan dengan cara membuat imitasi konten yang tidak bertanggung jawab. Sumber: ShutterstockBelakangan ini, lini masa media sosial kita dipenuhi oleh tren foto polaroid dan video rekaan kecerdasan buatan (AI) yang menampilkan orang biasa berpose mesra dengan para atlet, selebriti dan artis pujaan mereka. Teknologi telah memungkinkan ilusi yang hampir sempurna. Namun di balik konten hiburan fantasi sesaat itu, kita semua merasakan retaknya fondasi kepercayaan karena memicu keraguan atas apa yang nyata dan apa yang palsu.Kegelisahan etis semacam ini tidak berhenti di dunia hiburan. Kegelisahan yang muncul adalah alarm dini bagi industri halal, khususnya dalam ranah pemasaran. Di tengah derasnya konten digital, medan pertempuran baru telah terbuka, yaitu perebutan realitas yang otentik.Dari Ilusi Visual ke Halal-WashingSeperti kecerdasan buatan yang menciptakan ilusi visual, pemasaran halal yang serampangan bisa menciptakan ilusi proses. Inilah yang disebut Halal-Washing: menghadirkan gambaran dapur yang selalu berkilau, pekerja yang tak pernah lelah tersenyum dan produk yang tampil tanpa cacat. Konsumen yang mencari jalan pintas menjadikan citra ini sebagai bukti bahwa produk pasti halal.Namun justru di situlah titik rapuhnya. Bangunan ilusi semacam ini hanya butuh satu retakan kecil untuk runtuh. Sebuah insiden negatif sudah cukup untuk membuat konsumen merasa bukan sekadar kecewa, melainkan dikhianati. Kepercayaan yang runtuh akibat pengkhianatan citra jauh lebih sulit dipulihkan dibanding kekecewaan biasa.Ethics Washing di Era Kecerdasan BuatanHalal-Washing sesungguhnya hanyalah cabang dari persoalan yang lebih besar: Ethics Washing. Fenomena ini terjadi ketika etika seolah dijunjung tinggi, padahal yang ditampilkan hanyalah ilusi digital. Konten hasil rekayasa perintah yang dihasilkan AI yang menampilkan kesempurnaan tanpa realitas adalah contoh nyata.Indonesia sudah mulai menyadari ancaman ini. Surat Edaran Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 menegaskan pentingnya transparansi, keamanan dan keandalan dalam penggunaan AI, meski sifatnya belum mengikat secara hukum. Kementerian Komunikasi dan Digital kini menyiapkan regulasi khusus untuk mengantisipasi penyalahgunaan deepfake. Sementara itu, BPJPH telah mengkaji penggunaan AI dan blockchain dalam sertifikasi halal. Langkah-langkah ini menegaskan bahwa etika teknologi tidak bisa dipisahkan dari ekosistem halal. Jika ethics washing dibiarkan, maka problematika secara otomatis akan muncul karena konsumen akan mudah tertipu oleh konten yang “tampak halal” tetapi tidak memiliki landasan yang otentik.Kuda Troya dalam Narasi HalalKalau kita ingin mengetahui bahwa betapa berbahayanya ethics washing dapat dilihat dari kasus nyata. Di Malang, sebuah rumah makan memasang spanduk besar bertuliskan “100% Halal” dengan simbol mirip logo resmi. Setelah diperiksa, ternyata mereka belum memiliki sertifikat halal dari BPJPH. Klaim visual ini menjadi kuda troya: meyakinkan dari luar, menyesatkan dari dalam.Fenomena serupa juga terjadi di level global. Restoran cepat saji legendaris Al Baik Chicken dari Arab Saudi yang sering menjadi korban karena dijiplak oleh restoran baru yang menggunakan nama dan logo serupa. Bahkan ada pemilik usaha yang problematik secara sengaja dan sadar membuat konten video singkat dengan melakukan klaim sepihak dengan menyampaikan pernyataan bahwa restoran tersebut merupakan cabang resmi pusat usaha mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak memiliki hubungan kerja sama maupun kesepakatan dalam bentuk apa pun yang dibuat. Konsumen yang tidak memahami sejarah dari sebuah merek dagang akan dengan mudah terkecoh, membeli produk yang dianggap otentik tetapi ternyata imitasi. Kasus ini memperlihatkan bahwa manipulasi narasi adalah serangan langsung terhadap kepercayaan publik.Mengeksekusi Kepercayaan dengan Pemasaran SyariahKita saat ini sedang berada pada era di mana wajah manusia hingga spanduk restoran bisa dipalsukan, jawaban atas ethics washing terletak pada filosofi pemasaran syariah—sebuah pendekatan yang menjunjung kejujuran, kebermanfaatan dan keadilan. Filosofi ini hanya akan bermakna jika dieksekusi dalam pilar kehumasan halal yang radikal.Kasus Warung Makan Ayan Goreng Widuran di Solo telah membuktikan bahwa klaim kosong tidak berarti apa-apa. Pemasaran syariah menuntut bukti. Video proses quality control, wawancara dengan pemasok, hingga dokumentasi bagaimana integritas dijaga dari hulu ke hilir adalah cara membangun kepercayaan yang nyata.Survei Populix 2022 menunjukkan konsumen Indonesia kerap menggunakan “asumsi personal” untuk menilai kehalalan produk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kepercayaan lahir dan terbentuk dari kedekatan emosional. Konten yang menampilkan wajah-wajah asli—kepala dapur, auditor halal, hingga pekerja sehari-hari—akan mengisi “ruang abu-abu” kepercayaan yang tidak bisa dipenuhi oleh logo semata.Terlebih lagi dengan maraknya deepfake yang membuat segala hal bisa dengan mudah dianggap asli, maka satu-satunya penangkal adalah kecerdasan kolektif. Konten pemasaran syariah harus bersifat edukatif: pelaku usaha wajib menjelaskan titik kritis halal, cara pengawasan dilakukan dan mengapa hal itu penting. Semakin cerdas konsumen, maka akan memiliki kecenderungan untuk semakin kebal terhadap konten hoaks dan klaim palsu.Pada akhirnya, merek halal yang akan bertahan bukanlah yang paling lihai menciptakan ilusi, melainkan yang paling berani menyingkap proses dengan jujur dan transparan prosesnya dari hulu ke hilir. Di panggung pasca-kebenaran, kepercayaan tidak lagi dimenangkan dengan gambar yang indah, melainkan dengan realitas yang bisa dipertanggungjawabkan.