Hari Demokrasi Internasional: Memulai Kedaulatan Rakyat dari dalam Keluarga

Wait 5 sec.

Ilustrasi keluarga sedang berdialog, menunjukkan sisi demokrasi di meja makan. Dibuat dengan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Hari Demokrasi Internasional diperingati setiap 15 September 2025. Jika kita mengulik sejarah sejenak, dijadwalkannya seremoni tersebut oleh majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebab bertepatan dengan adopsi Deklarasi Universal Demokrasi oleh Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 1997. Peringatan yang dimulai pada tahun 2007 ini tentu bukan tanpa tujuan besar. Ia digelar untuk membangkitkan kesadaran global tentang pentingnya demokrasi, yakni sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Jika kita bicara demokrasi, sejatinya kita bicara soal partisipasi rakyat dan penghormatan hak asasi manusia. Rakyat berhak untuk bersuara dan menentukan nasibnya sendiri dengan musyawarah sebagai medium. Dengan demikian, masa depan suatu negara diharapkan dapat mencapai titik tercerahnya karena komunikasi melibatkan banyak arah serta pengakuan.Per tahun 2023, data Democracy Index menunjukkan ada 74 negara yang menganut sistem ini dari total 167 negara dalam penilaiannya. Angka ini meningkat sejak tahun 2022 yang hanya memverifikasi 72 negara. Sayangnya, menurut data yang rilis setahun kemudian, skor yang berhubungan dengan kualitas demokrasi negara-negara tersebut turun menjadi 5,17. Ini merupakan level terendah dalam beberapa dekade. Salah satu faktor yang memengaruhi penurunan itu adalah kebebasan sipil yang makin terhimpit. Di sejumlah negara, hal tersebut dipicu oleh kebijakan represif dari pemerintah. Beberapa di antaranya meliputi pembatasan ruang digital, kriminalisasi aktivisme melalui pasal karet, penyusutan ruang gerak organisasi sipil, serta lemahnya perlindungan terhadap jurnalis dan kebebasan pers.Kebijakan tersebut tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan produk dari pengalaman tertentu yang pernah membekas di masa kanak-kanak kita. Jika kita tarik ke akar, represivitas pemerintah sejatinya datang dari bagian penting suatu struktur negara: keluarga.Keluarga sebagai Wilayah Mula-MulaDalam filsafat klasik, Aristoteles menyebut keluarga atau oikos sebagai unit paling dasar dalam polis (kota/negara). Filsuf Yunani tersebut menilai negara lahir dari pengelompokkan keluarga, lalu desa, dan akhirnya menjadi komunitas politik lebih besar. Dengan kata lain, keluarga adalah pondasi kehidupan bernegara.Keluarga merupakan tempat di mana manusia pertama kali mengenal otoritas. Ketika manusia lahir sebagai bayi, ia mengidentifikasi manusia terdekatnya sebagai figur yang memberi kenyamanan. Dengan demikian, manusia memulai relasi pertamanya bersama figur tersebut, yakni sosok orang tua, kemudian akan mengalami ketergantungan dengannya.Manusia pun tumbuh seiring waktu. Ia mulai berinteraksi dengan manusia-manusia lain, lingkungan sekitar, sekaligus berbagai kemungkinan yang ada. Dari situ, ia mengembangkan rasa penasaran dan keinginan untuk menyuarakan arah yang hendak ia tempuh. Ia pun mulai belajar untuk mengekspresikannya.Di sinilah isu demokrasi sejatinya telah tampak. Orang tua yang melihat perkembangan anak mereka merasa perlu untuk menetapkan seperangkat aturan. Orang tua dengan segera menjelma sebagai "pemerintah kecil-kecilan" dan anak sebagai "rakyat yang harus diajari benar-salah". Larangan demi larangan dan perizinan demi perizinan pun naik ke meja makan dan anak dituntut untuk patuh tanpa banyak tanya.Permasalahan pun mulai hadir. Ketika anak hendak menyuarakan pendapat yang mungkin berseberangan, ada kalanya ia cenderung disangkal. Ia dianggap tidak cukup dewasa untuk diperhitungkan. Pola seperti ini dapat menanamkan benih otoritarianisme dalam diri anak, membuatnya terbiasa dengan keputusan sepihak. Anak pun bisa kehilangan ruang intim untuk belajar musyawarah. Ilustrasi anak yang tidak didengarkan dalam keluarganya. Dibuat menggunakan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Apa dampaknya? Anak bisa tumbuh pasif atau bahkan membawa sikap anti-demokratis ke dalam relasi sosialnya. Karena tidak diakui dalam keluarga, anak pun bisa melampiaskannya dalam berbagai bentuk agresi seperti bullying. Studi yang terbit dalam International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa gaya asuh otoriter berkontribusi signifikan terhadap munculnya perilaku sepihak itu di kalangan pelajar.Namun, ada juga orang tua yang terlalu membebaskan anak mereka. Anak dibiarkan mengambil keputusan tanpa intervensi apa pun. Ia pun berpotensi melihat kebebasan hanya sebagai ruang untuk dirinya sendiri. Studi yang terbit dalam Early Childhood Journal (ECJ) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hal tersebut membuat anak sulit memahami: kebebasan selalu berdampingan dengan hak orang lain. Secara jangka panjang, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit berkompromi. Anak merasa bahwa segala kemauannya harus atau layak untuk dituruti. Jika tidak, ia akan bereaksi dengan meledak-ledak, bahkan jika itu mengarah pada kekerasan. Anak pun bisa tumbuh menjadi sosok yang gemar mengadakan kontrol berlebih terhadap apa saja. Terkait kedua pola asuh tersebut, ketika sang anak, andaikata, tumbuh sebagai "orang besar", ia berpotensi menjadi sosok yang represif, merasa setiap keputusannya harus ditaati tanpa bantahan. Rasa trauma karena tidak pernah diakui dalam keluarga atau pengalaman terlalu diistimewakan membuat anak tumbuh dengan ego besar. Ia jadi cenderung anti dengan segala bentuk kritik. Sikap menolak atau menyangkal kritik merupakan duri tertajam dalam narasi demokrasi. Ia melumpuhkan mekanisme check and balance yang menjadi roh dari sistem itu sendiri. Padahal, kritik merupakan sarana koreksi yang memungkinkan kebijakan tetap selaras dengan kepentingan rakyat. Tanpa kritik, negara tidak akan mendapatkan rekomendasi terkait apa yang sepatutnya.Adapun, misal saja, sang anak sudah menjadi bagian dari para perumus kebijakan, bisa jadi produknya tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai. Ia lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok kecil daripada kebutuhan masyarakat luas. Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan kualitas demokrasi, lalu memperbesar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan pemerintah.Upaya RekonstruksiDemokrasi yang sehat tidak bisa hanya dibangun dari institusi politik dan hukum semata, melainkan harus disemai dari ruang terkecil, yakni keluarga itu sendiri. Keluarga harus diposisikan sebagai "sekolah pertama" bagi demokrasi, tempat anak belajar nilai kesetaraan, musyawarah, dan penghormatan terhadap perbedaan. Untuk itu, pola asuh demokratis perlu dikedepankan. Orang tua bisa mengajak anak berdiskusi sebelum mengambil keputusan, membuka ruang bagi anak berpendapat, sekaligus membimbingnya memahami konsekuensi. Pendekatan ini bukan berarti melepas tanggung jawab. Maksudnya adalah menghadirkan keseimbangan antara arahan dan kebebasan. Studi yang terbit dalam Revista Romaneasca pentru Educatie Multidimensionala pada tahun 2024 menunjukkan bahwa gaya asuh demokratis berhubungan positif dengan kesejahteraan emosional anak dan sikap optimistis terhadap masa depan. Keduanya menjadi indikator penting kesiapan anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan sosial, termasuk menerima dan mengelola kritik.Ilustrasi anak dan teman sebaya berdialog. Dibuat menggunakan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Selain itu, sekolah dan lingkungan sosial juga memiliki peran penting dalam memperkuat nilai-nilai demokratis yang telah ditanam di rumah. Mereka harus menyediakan ruang aman untuk dialog, ekspresi diri, dan keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan.Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat bersinergi, maka kita bisa membentuk generasi yang tidak hanya paham demokrasi sebagai teori, melainkan juga mempraktikkannya sejak dini. Pada akhirnya, rekonstruksi ini akan membantu demokrasi tumbuh dari akar yang kokoh.