Generate with Gemini 2.5 ProBeberapa waktu lalu, akibat konten viral TikTok, saya terkaget dengan metode baru penentuan garis indikator kemiskinan ala salah satu anak bangsa Indonesia. Selama ini kita terbiasa membaca hasil survei BPS, laporan Bank Dunia, atau hitungan gini ratio yang bikin kepala pening. Rupanya semua itu terlalu ilmiah, terlalu banyak tabel, terlalu banyak grafik. Sekarang ada cara yang jauh lebih praktis dan instan. Tidak perlu lagi hitungan harga beras atau upah minimum, cukup identifikasi empat sifat ini, maka Anda akan mengenali apakah diri Anda miskin atau tidak?Saya kira metode ini sungguh revolusioner. Negara bisa menghemat miliaran rupiah dengan mengabaikan riset dan survei. Tak perlu lagi ribet mendata harga kebutuhan pokok atau menghitung indeks pembangunan manusia.Kemudian bagi para akademisi, Anda tidak perlu lagi merujuk pada teori para ekonom dunia untuk menulis laporan ratusan halaman tentang kemiskinan global. Abaikan teori Karl Marx, barangkali mereka pada masa hidupnya belum menemukan jurus ini.Ciri #1: MalasIlustrasi malas. Foto: FeriDhaniHasri/ShutterstockCiri pertama orang miskin katanya adalah malas. Mari kita lihat seberapa malas mereka. Di dekat tempat saya tinggal, ada petani yang setelah usai subuh “mruput” begitu kata orang desa, mulai berjalan ke sawah, lalu mereka menunduk berjam-jam di bawah matahari dan kemudian pulang dengan upah lima puluh ribu rupiah.Selanjutnya, saya juga melihat pedagang sayur naik motor klasik, berangkat sejak pukul tiga pagi, berkeliling kampung sambil berteriak “yuuur, sayuuur”, dan sore harinya ia mendapatkan keuntungan yang rata-rata tidak sampai seratus ribu.Begitu juga dengan buruh harian alias “tukang manjing”, yang pekerjaannya mengaduk semen, ciri-ciri mereka adalah tangan pecah-pecah, lalu menerima bayaran rata-rata seratus atau seratus lima puluh ribu, maksimal.Begitulah potret kemalasan orang yang penghasilannya sekitar 100-150 ribu perhari. Jika yang dimaksud orang miskin malas ini adalah kategori ini, maka itulah definisi “malas” dalam keseharian orang miskin yang biasanya saya lihat. Tetapi, jika ternyata yang dimaksud yang berpenghasilan sepuluh ribu perhari, saya belum tahu ciri-cirinya.Artinya, jika—kalau malas memang benar penyebab kemiskinan “orang berpenghasilan 100-150 di atas”—mungkin mereka yang duduk di ruang dingin berjam-jam dan tidak berkeringat sama sekali, harusnya sudah jatuh miskin sejak dulu. Nyatanya, justru mereka yang paling malas bergerak sering kali rekeningnya paling sehat.Ciri #2: BorosIlustrasi dompet kosong karena boros saat berbelanja. Foto: Shutter StockCiri kedua orang miskin katanya adalah boros. Mari kita coba perhatikan seperti apa boros itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya sering melihat ibu-ibu di warung tetangga membeli cabai, bawang, dan tempe dengan uang receh yang sudah dilipat-lipat. Ada juga bapak-bapak yang tiap sore mampir membeli rokok ketengan, sebatang dua batang, karena membeli sebungkus saja akan menguras dompetnya.Di pasar pun juga demikian, banyak pedagang sayur yang bercerita bahwa pembeli seringkali datang hanya untuk menawar seikat kangkung dan minta potongan harga seribu rupiah. Bagi orang lain jumlah itu tidak seberapa, tetapi bagi mereka yang dompetnya tipis, seribu rupiah bisa berarti ongkos tambahan untuk anak sekolah.Jika ini yang disebut boros, maka barangkali kita perlu mengubah definisi kata itu dalam kamus kehidupan. Sebab orang-orang yang disebut boros tadi itu, adalah mereka yang setiap hari menakar, menghitung, dan menunda banyak keinginan. Boros apa, kalau membeli lauk pun hanya cukup digunakan untuk membeli tempe atau ikan asin.Artinya, kalau memang boros adalah penyebab kemiskinan, mungkin mereka yang sanggup menghabiskan jutaan hanya untuk nongkrong di kafe sudah lama jatuh miskin. Tetapi kenyataannya, yang paling sering dituduh boros justru mereka yang setiap harinya menghitung uang receh agar bisa bertahan hingga akhir bulan.Ciri #3: Tidak Punya VisiIlustrasi anak muda yang bahagia karena bisa wujudkan visinya. Foto: ShutterstockCiri ketiga orang miskin katanya adalah tidak punya visi. Mari kita lihat bagaimana keseharian orang-orang “tanpa visi” ini.Saya kenal dengan seorang petani yang setiap hari kerjanya cari pakan ternak, ke sawah merawat padi. Saya pernah bercakap-cakap dengannya, menghitung berapa biaya menyewa “tukang tandur” alias penanam padi, biaya pupuk, dan beberapa biaya tak terduga lainnya. Setelah itu, saya juga sempat bertanya soal berapa harga jual rata-rata padi setiap ia panen.Lalu saya coba mengkalkulasinya layaknya seorang akuntan. Sungguh mengagetkan, maksimal keuntungan yang didapat tidak lebih dari 5 juta per periode panen. Yang lebih mengagetkan lagi, ketika saya tanya, “Anaknya di mana, Pak, kok tidak bantu?” sang petani ini menjawab, “Lagi kuliah, Mas….” Saya terdiam sejenak. Dari keuntungan panen yang hanya beberapa juta, ia masih bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Jadi kalau ini yang disebut orang tanpa visi, saya heran, visi macam apa lagi yang harus mereka punya.Ciri #4: Tidak Mau BerubahCiri keempat orang miskin katanya adalah tidak mau berubah. Mari kita lihat bagaimana keseharian orang-orang yang dituduh enggan berubah ini.Saya kenal dengan seorang buruh pabrik yang setiap hari berangkat pagi, pulang larut malam. Ia bercerita pada saya bahwa sudah lebih dari sepuluh tahun ia bekerja dengan upah yang hampir tidak pernah naik. Saya sempat bertanya, “Kenapa tidak pindah kerja, Pak?” Ia hanya tersenyum tipis, lalu menjawab, “Kalau pindah, siapa yang berani jamin anak-anak saya tetap bisa makan besok?” Saya tercenung mendengar itu. Bukan tidak mau berubah, melainkan terlalu banyak risiko yang harus ia pikul sendirian.Selanjutnya, saya juga pernah berbincang dengan seorang TKI yang baru pulang dari Taiwan. Katanya, tiap bulan ia hanya bisa menyisihkan sebagian kecil gajinya, karena biaya hidup di sana juga mahal. Ketika saya tanya, “Kenapa tetap kembali lagi ke luar negeri, padahal hasilnya pas-pasan?” Ia menjawab pelan, “Kalau di kampung saya kerja apa, Mas? Sawah sudah bukan punya saya.” Lagi-lagi saya terdiam, sebab ternyata keberaniannya merantau ribuan kilometer itu justru wujud dari keinginan untuk berubah.Begitulah potret orang-orang yang disebut tidak mau berubah. Kalau perubahan hanya dimaknai berganti gaya hidup atau naik kelas sosial dalam sekejap, maka memang mereka tampak tidak berubah. Tetapi bagi orang miskin, setiap langkah kecil—menyekolahkan anak, menabung sedikit demi sedikit, atau bertahan di negeri orang—sudah merupakan perubahan besar.Orang Miskin yang SesungguhnyaSetelah melihat semua ciri tadi, saya jadi semakin yakin betapa uniknya definisi kemiskinan ala kita. Petani yang hanya membawa pulang lima juta per periode panen dianggap miskin, padahal dari sawah sempit dan hasil pas-pasan itu ia berhasil menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Bukankah itu kontribusi riil untuk bangsa ini, yakni melahirkan generasi baru yang berpendidikan sekaligus bermoral dari rahim kemiskinan?Begitu juga dengan seorang TKI yang hidup pas-pasan di negeri orang, jauh dari keluarga, bahkan rela menahan rindu bertahun-tahun. Dari jerih payahnya, ia rutin mengirim uang ke kampung halaman, dan dari keringatnya negara bisa membanggakan diri dengan kata-kata indah: penyumbang devisa.“Mereka dianggap miskin, tetapi bukan miskin harta. Sayalah yang sesungguhnya miskin, karena merasa belum berkontribusi apa-apa bagi negara. Sementara mereka adalah penopang masa depan bangsa.”Dan menurut Anda, lebih miskin mana? Mereka yang gajinya pas-pasan tapi bisa mencetak sarjana dan menyumbang devisa, atau mereka yang bergaji tiga juta per hari, yang sayangya jarang yang mampu menyumbang sesuatu yang berarti bagi negeri ini?