Gen Z yang Terlambat Lahir untuk Mengagumi Cak Munir

Wait 5 sec.

Poster Munir dalam aksi Kamisan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparanHari ini adalah 7 September pertama yang saya lalui dengan kesadaran bahwa salah satu tokoh perjuangan HAM terbaik Indonesia sudah tidak ada, Munir Said Thalib. Saya adalah seorang gen z kelahiran tahun 2001. Seorang yang tidak terlalu banyak mengonsumsi literasi mengenai kasus HAM dan perjuangan yang pernah ada di Indonesia. Segala sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pun hanya saya dapatkan dari pelajaran sekolah saya—yang selalu mendapat nilai buruk itu. Saat inilah, saya berumur 24 tahun menyesal tidak mengenal beliau jauh sebelumnya. Perkenalan saya dengan Cak Munir pertama kali sebenarnya hanyalah dari beberapa poster yang ditempel di sudut jalanan kota. Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar, mungkin kelas dua atau tiga saya tidak ingat pasti, sedang berjalan dengan orang tua saya untuk liburan. Di situlah saya melihat poster hitam putih dengan wajah siluet seorang pria, terlihat seperti keturunan Arab, bertuliskan “Menolak lupa!” Saya bertanya kepada ibu saya, “itu gambar apa Ma?” Ibu saya menjawab singkat “itu Munir, dia aktivis.”Itu adalah perkenalan awal saya yang cukup singkat. Sebagai seorang anak SD saya bahkan melupakan beliau, informasi itu tidak cukup menarik untuk saya pelajari lebih dalam. Saya tumbuh dan berkembang tanpa mencoba mengakrabkan diri dengan Cak Munir. Sekelibat yang saya ingat saya hanya membicarakan beliau saat bersama teman SMA saya, lupa dalam konteks apa. Satu momen yang membuat saya tenggelam lebih dalam pada kisah hidup Cak Munir—dan perjuangan HAM di Indonesia, adalah rekomendasi buku yang diberikan oleh salah satu kawan saya. Saat itu saya sedang membaca buku di salah satu toko buku di Yogyakarta. Saya membaca 1984 yang ditulis oleh George Orwell. Ketertarikan saya terhadap politik sedang tinggi-tingginya. Di saat isu ketidakadilan di Indonesia sedang ramai-ramainya, sayapun merasakan FOMO dan mempelajarinya dari buku-buku Orwell. Di saat saya sedang asyik membaca, seorang kawan merekomendasikan saya buku berjudul “Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan” karya Matt Easton. Sebuah buku yang ternyata baru saja dia baca dan dia rekomendasikan kepada hampir semua orang yang dia kenal. Buku yang cukup tebal namun “pembawaannya enak,” menurut dia. Saya yang sedang dalam mood mempelajari sejarah politik di Indonesia pun tak lama membeli buku rekomendasi tersebut. Buku itu adalah buku terjemahan dari Bahasa Inggris, ditulis oleh seorang penulis yang kini tinggal di Amerika dan di terbitkan di Indonesia oleh Marjin Kiri. Di dalamnya ternyata tidak hanya membahas mengenai perjalanan Cak Munir, namun juga berbagai kasus HAM di Indonesia, yang juga diperjuangkan oleh Cak Munir. Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi solidaritas untuk Munir di depan Kantor Komnas HAM Jakarta pada Senin (8/9/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparanBuku itu menceritakan awal perjalanan Cak Munir, sejak beliau remaja, memulai sepak terjangnya menjadi aktivis, sampai kasus meninggalnya Cak Munir. Selain itu juga dijelaskan bagaimana perjuangan Cak Munir yang dilanjutkan oleh banyak pihak, sampai terbentuknya Aksi Kamisan yang rutin diadakan sampai detik ini. Membaca buku ini membuka cakrawala saya. Banyak informasi yang membuat saya terkejut akan berbagai kasus HAM di Indonesia. Beberapa hal yang bahkan saya baru tahu mulai dari kasus Marsinah sampai ke peristiwa Semanggi I dan Semanggi II. Semuanya dijelaskan melalui sepak terjang perjuangan Cak Munir. Menjelaskan bagaimana gigih dan tulusnya beliau menolong berbagai korban kekerasan HAM yang ada di Indonesia. Satu momen saya meneteskan air mata saya, di saat buku itu menjelaskan bagaimana detik-detik Cak Munir meninggal di pesawat. Betapa kuatnya beliau menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah beliau sudah tahu bahwa dirinya akan tetap abadi? Apakah beliau tahu perjuangannya akan dilanjutkan oleh seluruh orang di Indonesia? Saya tidak tahu. Satu hal di benak saya saat itu adalah, saya ingin mengenang Cak Munir selama yang saya bisa. Membaca perjalanan hidup Cak Munir berarti mempelajari sejarah perjuangan keadilan HAM di Indonesia. Namanya tidak bisa dipisahkan dari keadilan dan perjuangan itu sendiri. Mengenang Cak Munir bagi saya adalah bentuk perlawanan terhadap yang salah, terhadap impunitas, terhadap kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan oleh siapapun di muka bumi ini.Saya baru berumur 3 tahun saat Cak Munir meninggal. Bahkan saya baru mengakrabkan diri dengan dirinya 20 tahun kemudian. Hal inilah yang sempat membuat saya menyesal. Andai saja saya sudah akrab dengan Cak Munir sejak SMA mungkin saya bisa menghidupkan beliau lebih awal. Andai saya hidup di zaman beliau mungkin saya bisa memberi sedikit—sangat sedikit, bantuan yang bisa saya lakukan. Walaupun begitu, izinkan saya ikut merapatkan barisan dengan orang-orang hebat yang sudah mengabadikan nama beliau sejak lama. Kini jasad Cak Munir sudah dikuburkan lebih dari 21 tahun. Secara fisik saya sudah sangat terlambat untuk mengagumi beliau, untuk hidup beriringan dengan beliau. Namun satu hal yang saya bisa pastikan adalah bahwa saya akan selalu berjuang dalam menghidupkan Cak Munir. Melanjutkan perjuangan beliau dengan cara yang bisa saya lakukan. Membuat perjuangannya abadi, setidaknya sampai kita menang. Mengutip perkataan Eiichiro Oda, pada komik berjudul One Piece, “Kapan seorang manusia mati? Saat jantung mereka terkena peluru senjata? Bukan. Saat mereka menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan? Bukan. Saat mereka makan jamur beracun? Juga bukan. Tapi saat mereka telah dilupakan oleh orang lain.” Cak Munir tidak pernah mati akibat racun yang ditelannya, Cak Munir hidup melalui napas perjuangan kita semua. Pada akhirnya, tulisan singkat saya ini sebenarnya adalah surat permohonan maaf saya yang terlambat mengagumimu, Cak.