Ilustrasi Istana Bogor. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparanSetiap kali bangsa ini mengeluh tentang buruknya kepemimpinan, ada satu pertanyaan yang jarang kita lontarkan: apakah pemimpin lahir dari ruang kosong, atau dari rakyat yang memilih dan membesarkannya? Dalam Islam, ada sebuah kaidah yang sering dikutip: Sebagaimana keadaan rakyat, demikianlah pemimpin yang Allah angkat untuk mereka.” Meskipun ungkapan ini bukan hadis dengan sanad kuat, substansinya sejalan dengan Al-Qur’an dan pandangan para ulama. Ia menegaskan bahwa kepemimpinan adalah cermin masyarakat. Jika masyarakat bobrok, jangan heran bila pemimpin yang lahir pun berkualitas bobrok.Al-Qur’an menegaskan hubungan erat antara amal suatu kaum dengan pemimpin yang mereka dapatkan. Dalam QS. Al-An‘am: 129 Allah berfirman, “Demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, disebabkan apa yang mereka usahakan.” Ayat ini jelas menunjukkan hukum sebab-akibat: rakyat yang terbiasa dengan kezaliman, kebiasaan buruk, dan penyimpangan akan dipimpin oleh orang yang memiliki sifat sama. Hadis yang sering dikutip dalam konteks ini adalah: “Sebagaimana keadaan kalian, demikianlah para pemimpin kalian.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman). Walau sebagian ulama menilai sanadnya dhaif, maknanya diperkuat realitas sejarah: kualitas pemimpin selalu berhubungan dengan kondisi masyarakatnya. Seorang ulama besar yang pemikirannya sering dijadikan rujukan klasik ketika membahas hubungan antara pemimpin dan rakyat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, menulis dalam al-Jawāb al-Kāfi: Pemimpin adalah bayangan amal rakyatnya. Jika mereka lurus, maka pemimpin mereka lurus. Jika mereka rusak, Allah kuasakan atas mereka pemimpin yang serupa dengan mereka.”Ibn Taymiyyah, ulama yang hidup di periode yang sama (abad ke-7 Hijriah) pun mengingatkan, keadilan adalah pilar utama dalam sebuah negara. Sebuah negara bisa bertahan dengan keadilan, sementara bisa hancur dengan kezaliman. Namun keadilan pemimpin tidak mungkin hadir tanpa ada kesadaran kolektif dari rakyat untuk menegakkan kebenaran. Dengan kata lain, rakyat dan pemimpin terikat dalam hubungan timbal balik yang tidak bisa dipisahkan.Cermin Sosial dalam Realitas IndonesiaIlustrasi suap. Foto: Motortion Films/ShutterstockIndonesia adalah laboratorium nyata dari konsep ini. Rakyat sering mengeluh bahwa pemimpin hanya mementingkan kelompoknya, sibuk pencitraan, dan gemar memperkaya diri. Namun, kita jarang jujur menengok cermin: bukankah sebagian rakyat pun terbiasa dengan praktik yang sama dalam skala kecil? Ketika ada operasi lalu lintas, sebagian rakyat memilih menyogok polisi ketimbang menerima surat tilang. Saat ada penerimaan pegawai, orang-orang mencari jalur titipan agar bisa masuk lebih mudah. Dalam pemilu, sebagian rakyat rela menjual suaranya demi uang, sembako, atau janji sesaat. Praktik kecil inilah yang menjadi fondasi suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di level elite. Maka tidak heran bila pemimpin yang lahir hanyalah refleksi dari watak rakyatnya sendiri.Fenomena politik uang misalnya, sudah menjadi bagian yang hampir dianggap “normal” setiap kali pemilu berlangsung. Rakyat sadar bahwa uang yang diterima hari ini akan dibayar mahal dengan kebijakan merugikan di masa depan. Namun tetap saja, suara dijual murah. Akibatnya, pemimpin yang terpilih hanya peduli pada cara balik modal politik, sementara rakyat sendiri yang akhirnya menanggung akibatnya. Begitu pula dengan politik dinasti. Fenomena ini kini merajalela, dan bukan hanya kebobrokan elite. Ia terjadi karena rakyat permisif, bahkan rakyat bangga bisa dipimpin keluarga presiden atau anak pejabat. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi. Demokrasi kita digiring menjadi oligarki, tetapi rakyat ikut memberi jalan.Kemarahan rakyat terhadap korupsi pejabat juga seringkali bersifat hipokrit. Indonesia berkali-kali masuk daftar negara dengan tingkat korupsi tinggi. Ketika pejabat ditangkap KPK, rakyat bersorak, tetapi dalam keseharian sebagian rakyat tidak merasa bersalah ketika melakukan gratifikasi kecil, membayar pungli, atau menitipkan uang demi kelancaran urusan administrasi. Kemunafikan sosial ini melahirkan lingkaran setan: rakyat permisif, elite semakin berani. Demokrasi akhirnya tidak lebih dari transaksi besar-besaran yang legal secara prosedural, tapi rusak secara moral.Jika kita melihat sejarah dunia, pola ini bukan hal baru. Di Romawi Kuno, Kaisar Nero dikenal zalim dan hedonis, tetapi rakyatnya pun tenggelam dalam budaya pesta dan syahwat. Di Timur Tengah, Dinasti Abbasiyah runtuh bukan hanya karena pemimpin lalai, melainkan karena rakyat ikut larut dalam dekadensi moral. Sebaliknya, negara-negara dengan rakyat yang disiplin dan jujur cenderung melahirkan pemimpin yang kuat. Jepang misalnya, rakyatnya terkenal dengan etos kerja dan integritas, sehingga pemimpin pun terbiasa mengedepankan kepentingan publik ketimbang diri sendiri. Sejarah memperlihatkan bahwa pemimpin memang tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Ia selalu merupakan refleksi dari kondisi masyarakatnya.Jalan Keluar dari Lingkaran SetanDemonstrasi di depan Kompleks Parlemen DPR/MPR RI. Dok. PribadiIslam tidak hanya menyalahkan pemimpin. Islam menegaskan akar persoalan ada di dua sisi: rakyat dan pemimpin. Keduanya saling mencerminkan. Karena itu, solusi tidak bisa hanya mengandalkan pergantian elite, tetapi perbaikan menyeluruh. Perubahan harus dimulai dari dalam diri rakyat, karena pemimpin adalah produk dari kultur sosial yang membentuknya.Rakyat harus belajar untuk tidak permisif terhadap kecurangan sekecil apa pun. Jika rakyat terbiasa jujur, maka akan tercipta ekosistem politik yang sulit ditunggangi oleh elite oportunis. Kesadaran politik juga harus dibangun dengan literasi dan keteguhan prinsip. Demokrasi tidak akan melahirkan pemimpin baik jika rakyat masih pragmatis dan mudah dibeli dengan uang atau sembako. Selain itu, keadilan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar rakyat percaya bahwa integritas itu nyata, bukan sekadar jargon. Tanpa keadilan hukum, rakyat akan terus terbiasa mencari jalan pintas, dan elite akan merasa bebas bermain kuasa.Pada akhirnya, teladan pemimpin tetap penting. Rakyat akan meniru apa yang dilihat. Jika pemimpin hidup sederhana dan adil, rakyat lebih mudah diarahkan ke jalan yang benar. Namun, jika pemimpin penuh sandiwara dan pencitraan, rakyat pun belajar untuk melakukan hal serupa dalam skala kecil. Hubungan ini selalu timbal balik.Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”QS. Ar-Ra‘d: 11 Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari bawah, bukan dari atas. Maka, solusi kepemimpinan bukan hanya di bilik suara, tetapi di dalam hati dan perilaku sehari-hari.Pemimpin negeri ini memang banyak yang bobrok. Tetapi sekadar mengutuk pemimpin tanpa menjadi bagian dari solusi dan mulai berbenah adalah seperti marah pada cermin tanpa membersihkan wajah. Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran setan pemimpin zalim dan rakyat permisif, perbaikilah mental rakyatnya. Karena pemimpin tidak turun dari langit, melainkan lahir dari rahim masyarakat. Selama wajah bangsa ini masih keruh, jangan salahkan kaca yang memantulkannya.Kita mulai dengan mengingatkan diri sendiri untuk berpegang teguh pada integritas dan mulai menerapkan prinsip dasar yang menjauhi perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme.