Parricide: Ketika Anak Korban KDRT Membunuh untuk Bertahan Hidup

Wait 5 sec.

Ilustrasi kriminal kekerasan anak. Foto: M Zulva E/kumparanSecara kriminilogi, terdapat istilah Parricide yaitu tindak pidana pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya sendiri, baik ayah maupun ibu. Dalam pandangan umum, kasus ini sering kali dipersepsikan sebagai bukti meningkatnya kekerasan remaja atau kenakalan anak, sehingga pelakunya langsung dicap sebagai penjahat kejam.Namun, sudut pandang tersebut menyederhanakan kenyataan yang kompleks. Banyak kasus parricide yang justru lahir dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi secara berulang dan sistematis selama bertahun-tahun. Dalam situasi seperti ini, pembunuhan yang dilakukan seorang anak sering kali merupakan tindakan terakhir untuk bertahan hidup, bukan kejahatan yang lahir dari niat jahat.Jika dilihat dari teori pemidanaan incapacitation (ketidakmampuan pelaku untuk mengulangi kejahatan), menghukum seorang anak yang membunuh orang tua pelaku kekerasan menjadi tidak relevan. Setelah sumber kekerasan, yaitu pelaku utama berakhir, anak tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat.Sementara itu, dalam teori pemidanaan retributif, pelaku harus “membayar” perbuatannya dengan hukuman. Namun, seorang anak yang mengalami kekerasan berkepanjangan sebenarnya telah membayar mahal melalui penderitaan fisik dan psikologis yang dialaminya. Menjatuhkan hukuman penjara hanya akan memperpanjang lingkaran penderitaan, menjadikan negara sebagai pihak yang ikut memperkuat ketidakadilan tersebut.Tulisan ini dibagi dalam delapan bagian, yaitu: Pendahuluan; Dinamika Psikologis Anak yang Mengalami Kekerasan; Pembelaan Diri dalam Hukum Klasik dan Realitas Modern; Standar Kewajaran dalam Pembelaan Diri; Faktor Mempengaruhi Penilaian Kewajaran dalam huku klasik (KUHP); Sindrom orang yang dipukuli (battered person syndrome); Ilustrasi kasus pengalaman langsung; Seruan keadilan; Kemudian ditutup dengan kesimpulan.Dinamika Psikologis Anak yang Mengalami KekerasanAnak-anak yang hidup dalam lingkungan kekerasan menunjukkan reaksi yang beragam. Beberapa pola psikologis yang umum terjadi adalah sebagai berikut:1. Belajar Kekerasan Sebagai Mekanisme Penyelesaian KonflikSecara krininologi, Teori Asosiasi Diferensial (differential association theory) perilaku criminal (kekerasan) dipelajari melalui interaksi dan komunikasi dengan orang lain, terutama dalam kelompok intim (rumah tangga). Anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga penuh kekerasan cenderung menyerap pola perilaku tersebut sebagai sesuatu yang normal. Ketika mereka terus-menerus menyaksikan pertengkaran, pemukulan, atau ancaman sebagai cara menyelesaikan masalah, mereka akan memandang kekerasan bukan hanya sebagai perilaku salah, tetapi sebagai mekanisme utama dalam mengelola konflik.Seiring waktu, pola ini membentuk cara berpikir dan bertindak anak. Mereka tidak lagi melihat dialog, empati, atau kompromi sebagai pilihan yang valid, melainkan menggunakan kekerasan sebagai strategi utama untuk mencapai tujuan atau mempertahankan diri. Dengan kata lain, kekerasan menjadi “manajemen konflik” yang diajarkan secara tidak langsung oleh orang tua maupun lingkungan yang penuh kekerasan.Akibatnya, dalam menghadapi situasi yang menimbulkan rasa takut atau ancaman, anak mungkin bereaksi secara agresif karena itulah satu-satunya cara yang mereka pahami. Proses ini menunjukkan bahwa kekerasan bukan bawaan lahir, tetapi perilaku yang dipelajari (learned behavior) melalui pengalaman hidup yang traumatis dan penuh teror.2. Menarik Diri melalui Fantasi dan PenyangkalanBeberapa anak memilih untuk memendam rasa sakit dengan cara melarikan diri ke dunia fantasi atau menyangkal kenyataan yang dihadapinya. Mekanisme ini berisiko menyebabkan gangguan psikologis serius, termasuk trauma kompleks bahkan psikosis.3. Melarikan Diri dari RumahBanyak anak yang hidup dalam lingkaran kekerasan berusaha kabur dari rumah sebagai bentuk perlawanan dan upaya menyelamatkan diri. Mereka berharap dapat menemukan tempat yang lebih aman untuk hidup, jauh dari kekerasan yang terus-menerus mereka alami. Namun, realitas di luar rumah sering kali tak lebih baik, bahkan bisa menjadi lebih berbahaya.Jalanan yang mereka pilih sebagai tempat pelarian sering kali tidak memberikan perlindungan, melainkan memperkenalkan mereka pada bentuk kekerasan baru. Di sana, mereka rentan mengalami eksploitasi, kekerasan seksual, perdagangan anak, hingga kriminalisasi oleh pihak berwenang. Dengan kata lain, lingkaran kekerasan hanya berpindah tempat, bukan benar-benar berakhir.Banyak anak yang masih terlalu muda tidak memiliki keterampilan bertahan hidup di dunia luar, seperti mencari makanan, tempat tinggal, atau memahami cara mendapatkan perlindungan hukum. Akibatnya, mereka sering kali kembali ke rumah yang penuh kekerasan. Dalam situasi ekstrem, melawan balik dengan kekerasan menjadi satu-satunya pilihan yang mereka lihat untuk bertahan hidup.Pembelaan Diri dalam Hukum Klasik dan Realitas ModernIlustrasi pembunuhan. Foto: ShutterstockDalam hukum pidana klasik, pembelaan diri hanya diakui jika terjadi serangan langsung dan segera (imminent attack). Contoh klasiknya adalah seorang anak yang membunuh ayahnya saat sedang dipukul dengan tongkat.Namun, dalam kasus parricide, kekerasan biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dalam bentuk pola kekerasan yang berulang dan dapat diprediksi. Anak korban memahami tanda-tanda bahaya seperti nada suara, ekspresi wajah, atau gerakan tertentu yang tidak terlihat oleh orang luar.Ketika seorang anak bertindak sebelum serangan fisik terjadi, tindakannya dianggap tidak memenuhi kriteria klasik pembelaan diri. Akibatnya, tindakan tersebut sering dipahami sebagai pembunuhan biasa, bukan sebagai upaya perlindungan diri dan keluarga dari ancaman nyata yang telah dirasakan.Standar Kewajaran Pembelaan Diri Berdasarkan Hukum KlasikKonsep proporsionalitas antara kekuatan yang digunakan dengan tingkat ancaman yang dihadapi merupakan salah satu prinsip utama dalam pembelaan diri. Namun, kerangka ini tidak memadai untuk dianalisis dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), termasuk kasus parricide.Permasalahan utama dalam penerapan prinsip ini terletak pada penilaian terhadap kewajaran (reasonableness) dari keyakinan korban mengenai ancaman yang dihadapinya. Pengalaman traumatis yang berlangsung dalam jangka panjang mengkonstruksi persepsi yang berbeda terhadap bahaya. Suatu situasi yang tampak tidak mengancam bagi individu yang tidak memiliki pengalaman serupa, dapat dirasakan sebagai ancaman nyata dan mematikan oleh anak yang telah hidup dalam kekerasan dan ketakutan selama bertahun-tahun. Misalnya, perubahan intonasi suara atau gerakan tertentu dari pelaku dapat dimaknai secara instan sebagai pertanda akan terjadinya kekerasan fisik.KUHP memang memberikan ruang untuk pembelaan diri melalui ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (2), yang mengatur alasan pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana. Namun, ketentuan diatas menggunakan standar dan skema atau pendekatan hukum konvensional yang belum mengakomodasi kompleksitas kasus KDRT. Akibatnya, anak yang melakukan pembunuhan terhadap pelaku kekerasan kerap kali tetap dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana, bukan sebagai korban yang bertindak untuk mempertahankan diri dari kekerasan yang berkelanjutan.Penilaian terhadap kewajaran tindakan dalam kasus parricide semestinya mempertimbangkan berbagai faktor kontekstual, antara lain:Kesenjangan kekuatan fisik antara anak dan orang tua, di mana orang dewasa tetap dapat menjadi ancaman meskipun tidak menggunakan senjata;Ketergantungan emosional dan ekonomi yang menghambat anak untuk keluar dari lingkungan kekerasan;Minimnya intervensi eksternal, baik dalam level mikro (keluarga), middle (masyarakat stempat) maupun makro (pemerintah dan negara).Dengan demikian, pendekatan hukum yang lebih kontekstual dan empatik diperlukan untuk menilai secara adil tindakan korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam kasus parricide, agar sistem peradilan tidak justru memperkuat ketidakadilan yang telah lama dialami oleh korban.Ilustrasi KasusSeorang anak, sebut saja Melai, mengalami kekerasan berat dari ayahnya selama bertahun-tahun. Kekerasan ini mencakup penganiayaan fisik, kekerasan verbal, penelantaran ekonomi, serta pemisahan dari ibu kandungnya.Selama itu, tidak ada pihak yang benar-benar membantu, baik keluarga, masyarakat, maupun negara melalui aparat perlindungan anak.Suatu malam, ayah Melai mengancam akan membunuhnya dengan parang. Keesokan paginya, ancaman tersebut terus terngiang di benak Melai, memicu ketakutan ekstrem karena ia mengingat semua kekerasan yang telah dialaminya. Dalam kondisi panik dan tertekan, Melai menusuk ayahnya dengan pisau hingga tewas.Bagi pihak luar, tindakan Melai mungkin tampak sebagai bentuk pembunuhan yang direncanakan. Namun, tanpa pemahaman yang utuh terhadap riwayat kekerasan yang dialaminya, dinamika siklus teror yang terus berulang, serta kondisi psikologis yang dikenal sebagai Battered Person Syndrome, sulit untuk menilai bahwa tindakannya merupakan bentuk pembelaan diri yang rasional dan proporsional.Ironisnya, situasi semacam ini bukanlah hal yang langka di negeri ini. Banyak korban kekerasan yang justru diposisikan sebagai pelaku, karena sistem hukum gagal melihat konteks yang lebih dalam dari sekadar peristiwa hukum yang tampak di permukaan.ABH seharusnya tidak hanya didasarkan pada sudut pandang hukum semata, tetapi juga dilihat dengan kepekaan nurani. Anak tidak sepatutnya sekadar diadili, melainkan juga dipulihkan; tidak hanya dihukum, tetapi juga diselamatkan. Sebab, di balik sosok seorang anak yang dinyatakan bersalah oleh sistem, sering tersembunyi seorang anak yang telah lama terluka dan tersakiti.Dalam konteks ini, Hodding Carter pernah berkata, “Ada dua warisan abadi yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita: satu adalah akar, dan yang lainnya adalah sayap.”Akar adalah fondasi, nilai-nilai mendalam seperti keimanan yang kokoh, yang selama berabad-abad telah menjadi penopang bagi para leluhur kita. Akar inilah yang akan menuntun anak-anak kita dalam membedakan antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang tidak adil. Akar yang tertanam kuat akan menjadi penunjuk arah ketika mereka menghadapi berbagai pilihan moral dan tantangan hidup.Sayap, di sisi lain, adalah simbol kebebasan dan harapan. Sayap mengajarkan anak-anak untuk menjelajahi dunia yang luas, untuk berpikir terbuka, dan untuk membangun pemahaman yang terus berkembang. Sayap memberi mereka keberanian untuk terbang tinggi, menjangkau cita-cita, dan mewujudkan potensi terbaik dalam dirinya.Dengan memberi anak-anak kita akar dan sayap, kita tidak hanya mewariskan nilai, tetapi juga memberi mereka bekal untuk bertumbuh menjadi pribadi yang bijak, tangguh, dan merdeka.Seruan untuk KeadilanMengakui pembelaan diri dalam kasus parricide tidak berarti melegalkan pembunuhan, tetapi merupakan pengakuan bahwa dalam situasi tertentu seorang anak tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup.Hukum harus melihat anak sebagai korban terlebih dahulu, bukan semata-mata pelaku kejahatan. Negara yang gagal melindungi mereka sejak awal tidak boleh kemudian menghukum mereka atas keputusan tragis yang diambil demi menyelamatkan diri.Seperti halnya perempuan korban KDRT yang membunuh pasangannya, anak dalam kasus parricide juga berhak mendapatkan perlindungan hukum yang manusiawi dan adil, bukan penghukuman yang buta konteks.PenutupParricide tidak dapat dipahami hanya melalui kacamata hukum pidana klasik yang kaku dan formalistik.Siklus kekerasan, dampak psikologis korban, dan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan harus menjadi pertimbangan utama dalam penilaian pembelaan diri.Reformasi hukum diperlukan untuk menciptakan standar pembelaan diri yang lebih adaptif, sehingga anak-anak korban kekerasan tidak kembali menjadi korban kedua kali di ruang pengadilan dan di hadapan negara.Markus LettangSerpong, 06 September 2025