● Sentralisasi pengelolaan keuangan negara tidak efektif.● Hingga kini pemerintah pusat masih pegang kendali strategis atas keuangan daerah.● Daerah pun sangat berketergantungan terhadap pusat. Akibatnya pengelolaan duit daerah buruk dan memancing protes warga.Gelombang demonstrasi di depan gedung DPR mencerminkan kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintah. Di tengah kesulitan ekonomi, gelombang PHK, efisiensi anggaran, serta fenomena rojali dan rohana yang menandakan melemahnya daya beli, Dewan Perwakilan Rakyat pusat justru mendapatkan kenaikan tunjangan dengan angka fantastis.Sebelumnya, kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di berbagai daerah sudah terlebih dulu memancing kemarahan masyarakat. Program pemerintah pusat yang memerlukan anggaran besar, berdampak pada dana transfer daerah. Baca juga: DPR merespons kritik dengan menghina rakyat, tanda demokrasi makin mundur Akibatnya, beberapa daerah menaikkan PBB yang kemudian menuai protes masyarakat.Demonstrasi di Pati pecah akibat kenaikan PBB yang dinilai memberatkan warga, dan memuncak ketika Bupati Henggar Budi Sadewo menantang massa hingga berujung ancaman pemakzulan dari legislatif setempat. Kasus lokal ini kemudian menjadi simbol kekecewaan yang lebih luas, berkontribusi pada gelombang protes di DPR. Salah satu penyebab utamanya adalah pengelolaan duit negara yang imbas negatifnya ditimpakan kepada rakyat di berbagai daerah.Celaka tersebab penghematan anggaranWacana efisiensi anggaran menjadi sorotan pada awal pemerintahan Presiden Prabowo. Dalam pernyataanya, Prabowo mengatakan efisiensi merupakan upaya untuk mendorong produktivitas, swasembada pangan dan kemandirian energi.Namun, bagi sebagian kalangan, kebijakan efisiensi merupakan strategi untuk membuka ruang fiskal untuk menjalankan janji kampanye Makan Bergizi Gratis (MBG). Terbukti, tahun ini pemerintah menganggarkan Rp 71 trilliun untuk program MBG. Rentetan kengototan pemerintah pusat menjalankan berbagai program mercusuarnya berujung pada transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dipangkas hingga Rp50,59 triliun.Pemotongan ini secara langsung membatasi kapasitas pemerintah daerah maupun desa dalam melaksanakan program prioritas, mulai dari pembangunan ekonomi, infrastruktur serta peningkatan kualitas layanan publik.Dengan berkurangnya alokasi tersebut, ruang fiskal daerah menjadi semakin sempit, sehingga memperkecil kemampuan mereka untuk melaksanakan program pembangunan dan pelayanan publik. Baca juga: Menerapkan bioekonomi berbasis warga untuk memperbaiki arah perekonomian Indonesia Menghadapi dampak fiskal ini, beberapa pemerintah daerah mengatasinya dengan menaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tercatat terdapat 104 daerah yang mengambil langkah ini, salah satunya Kabupaten Pati yang kemudian memicu polemik berkepanjangan.Otonomi anggaran daerah menyempitOtonomi daerah pasca-Reformasi diharapkan mendorong lahirnya desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Namun pada kenyataannya, setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi, ruang otonomi daerah menjadi semangkin sempit.Pemerintah pusat tetap mempertahankan kendali melalui regulasi, kontrol fiskal, dan dominasi struktur partai politik yang masih berwatak sentralistik alias terpusat.Kebijakan efisiensi anggaran justru menjadi instrumen yang semakin mempersempit ruang bergerak daerah. Ketika pemerintah pusat memangkas anggaran, anggaran pemerintah daerah otomatis terganggu. Baca juga: Hasil riset: Jokowi perlu ubah prioritas Dana Desa ke SDM dan sektor informal pedesaan Minimnya ruang gerak pemerintah daerah sebenarnya sudah dimulai sejak era Jokowi melalui lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).Alih-alih memperkuat kemandirian anggaran daerah, UU ini justru menegaskan dominasi pusat sebagai penentu utama arah kebijakan fiskal. Akibatnya justru memperlihatkan paradoks desentralisasi: daerah dipaksa mencari sumber penerimaan baru, tetapi tanpa dukungan infrastruktur ekonomi dan politik yang memadai.Keterbatasan kewenangan, regulasi yang masih dikontrol pusat, serta minimnya dukungan infrastruktur membuat banyak daerah, salah satunya Kabupaten Pati, gagal menarik investasi yang berkelanjutan. Akibatnya, beban fiskal dibebankan kepada masyarakat di tengah – tengah kesulitan ekonomi. Hal inilah yang melatarbelakangi 104 daerah yang menaikan PBB. Sebanyak 20 daerah di antaranya bahkan menaikan PBB lebih dari 100%.Desentralisasi semuPasca kejatuhan Orde Baru, desentralisasi dianggap sebagai jalan untuk melahirkan basis politik lokal, mendekatkan pemerintah pada masyarakat, meminimalisasi korupsi, dan mendorong percepatan pembangunan daerah. Namun, dua dekade reformasi justru memunculkan pemusatan kekuasaan kembali. Alih-alih demokratisasi, otonomi daerah justru digunakan sebagai instrumen penguatan oligarki di tingkat lokal. Baca juga: Banyak aspek luput dalam data kemiskinan nasional Pilkada langsung, misalnya, bukannya menjadi arena kompetisi demokratis bagi aktor politik baru, melainkan melahirkan konfigurasi anyar aliansi elite lama dengan elite baru.Dengan demikian, pemilu di daerah lebih berfungsi sebagai mekanisme penciptaan dan penguatan kekuasaan oligarkis ketimbang sebagai instrumen pelembagaan nilai demokrasi.Hal ini sejalan dengan dinamika di tingkat nasional, yang tampak dari respons negatif DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan jadwal pemilu lokal dan nasional. Sikap tersebut mencerminkan kekhawatiran partai politik kehilangan kontrol atas jejaring patronase yang selama ini lebih mudah dikonsolidasikan melalui pemilu serentak dengan memanfaatkan efek ekor jas.Dominasi pusat kian kuatBukti lain dari eratnya patronase pusat–daerah terlihat dalam praktik penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri menjelang pilkada serentak. Mekanisme ini kerap dipandang membuka ruang intervensi politik pusat sekaligus memperkuat dominasi oligarki nasional, sambil melemahkan legitimasi demokratis di tingkat lokal.Retret kepala daerah pada masa Presiden Prabowo, yang digelar pasca pelantikan para kepala daerah, juga dapat dipahami sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan pusat dan daerah.Dalam kerangka desentralisasi, kegiatan ini perlu dilihat secara kritis, apakah benar dimaksudkan sebagai konsolidasi demi kepentingan publik, atau sekadar sarana memperkuat kendali politik pusat atas daerah.Dalam konteks inilah, aliansi elit pusat dan daerah membuat pemerintah daerah pragmatis dalam menyikapi pemusatan anggaran. Alih-alih bekerja untuk masyarakat, pemerintah daerah lebih memilih bekerja untuk mempertahankan kekuasaan.Gerakan masyarakat menjadi kunciUntuk menghadapi pemusatan kekuasaan dan kemunduran demokrasi, kunci utama adalah penguatan gerakan masyarakat sipil untuk menekan negara agar lebih akuntabel. Aksi kolektif masyarakat, mulai dari serikat pekerja, kelompok mahasiswa, organisasi perempuan hingga organisasi masyarakat lokal, berperan penting untuk membuka ruang partisipasi politik di luar mekanisme formal yang kerap dikooptasi pemerintah.Agar demonstrasi tidak berhenti sebagai reaksi emosional sesaat, gerakan sipil harus dikembangkan menjadi kekuatan politik masyarakat yang berkesinambungan. Hal ini hanya mungkin terwujud bila gerakan memiliki organisasi yang kuat, kepemimpinan yang akuntabel, serta agenda perubahan struktural yang jelas.Puteri Atikah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.