Mengapa Perang Dingin Geoteknologi Adalah Ancaman Nyata bagi Indonesia?

Wait 5 sec.

Ilustrasi Perang Foto: Wikimedia CommonsDunia kini memasuki babak baru dari pertarungan hegemoni global. Medan pertempuran tidak lagi di lautan atau daratan, tetapi di ranah digital dan laboratorium riset. Inilah yang kita kenal sebagai perang dingin geoteknologi di mana dua kekuatan besar—Amerika Serikat (diwakili oleh Silicon Valley) dan Tiongkok (dengan jantung inovasinya di Zhongguancun)—berlomba untuk menguasai teknologi masa depan, khususnya kecerdasan buatan (AI).Di tengah rivalitas yang kian sengit ini, posisi Indonesia berada di garis depan. Bukan sebagai pemain utama, melainkan sebagai target dan lahan perebutan pengaruh. Ancaman yang ditimbulkan dari geopolitik teknologi ini bukan lagi sekadar potensi, melainkan sebagai risiko nyata yang mengancam kedaulatan, keamanan, dan masa depan ekonomi bangsa.Bagi Indonesia, persaingan teknologi ini membawa implikasi serius yang mengancam kedaulatan digital. Ketergantungan kita pada teknologi dari salah satu pihak menciptakan kerentanan yang mengkhawatirkan. Bayangkan, sebagian besar data pribadi dan komunikasi masyarakat Indonesia mengalir melalui perangkat lunak dari AS, sedangkan infrastruktur telekomunikasi vital banyak yang dibangun dengan perangkat keras dari Tiongkok. Ketergantungan ganda ini mengisyaratkan bahwa data-data sensitif kita berpotensi diakses atau dimanipulasi oleh kekuatan asing.Hal ini bukan sekadar isu privasi, melainkan sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Siapa pun yang menguasai data dan infrastruktur digital sebuah negara, mereka berpotensi mengendalikan informasi dan memengaruhi keputusan politiknya.Lebih jauh lagi, perang ini berisiko menjadikan Indonesia sebagai medan spionase siber di mana adanya dugaan "pintu belakang" pada perangkat keras atau perangkat lunak yang bisa digunakan untuk memantau dan mengganggu infrastruktur kritis. Dengan adanya dugaan "pintu belakang" pada perangkat keras atau perangkat lunak, negara asing bisa memantau dan mengganggu infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, sistem keuangan, atau sistem pertahanan. Ilustrasi kejahatan siber. Foto: Shutter StockSerangan siber yang disponsori negara asing dapat melumpuhkan layanan publik, menciptakan kekacauan sosial dan ekonomi, serta merusak stabilitas nasional. Ancaman ini tidak hanya bersifat hipotetis, tetapi juga sudah terlihat dalam banyak kasus serangan siber di berbagai belahan dunia.Secara ekonomi, Indonesia juga berada di bawah tekanan. Jika kita dipaksa untuk memilih salah satu "kubu" teknologi, kita akan kehilangan akses menuju inovasi dari pihak lainnya yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan inovasi lokal. Perusahaan-perusahaan teknologi dalam negeri akan kesulitan bersaing jika mereka harus memilih antara standar teknologi Barat atau Timur yang bisa membuat pasar menjadi terfragmentasi dan kurang efisien.Ancaman terbesar adalah hilangnya kesempatan untuk membangun kemandirian teknologi. Di kala Amerika Serikat dan Tiongkok menginvestasikan triliunan dolar untuk riset dan pengembangan AI, semikonduktor, dan bioteknologi, Indonesia masih tertinggal jauh. Jika kita tidak mengambil langkah proaktif untuk membangun kapasitas teknologi sendiri—dari riset hingga produksi—kita akan selamanya menjadi konsumen, bukan produsen.Pada akhirnya, perang dingin geoteknologi bukanlah konflik yang jauh dan tidak relevan. Ini adalah ancaman nyata yang mengintai, mengancam kedaulatan, keamanan, dan kemandirian bangsa. Jika Indonesia tidak segera merumuskan strategi yang jelas, kita bisa kehilangan kendali atas masa depan digital dan ekonomi kita sendiri. Pilihan sudah jelas: bertindak sekarang untuk mengamankan kedaulatan kita atau selamanya menjadi korban dari persaingan kekuatan global. Ini adalah pertaruhan besar dan kini saatnya bagi Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.