Sekolah Belum Cukup, Bimbel Jadi Penolong atau Beban?

Wait 5 sec.

Gambar Ruang Kelas Bimbel Primagama Pamulang 2024 (Sumber: Dokumentasi pribadi)Bimbingan belajar (bimbel) kini seakan menjadi “kewajiban” bagi banyak siswa di Indonesia. Hampir di setiap tempat, spanduk atau baliho bimbel berjejer dengan beragam janji: lulus ujian, tembus kampus negeri, hingga nilai rapor yang lebih tinggi. Fenomena ini tidak lahir begitu saja. Kurikulum sekolah yang padat, tuntutan ujian yang tinggi, dan persaingan ketat masuk perguruan tinggi favorit membuat banyak orang tua merasa pendidikan formal saja tidak lagi cukup.Lalu, bimbel hadir sebagai penyelamat. Mereka menawarkan materi tambahan, strategi mengerjakan soal, hingga pengajar yang lebih fokus. Tidak jarang para pengajarnya memiliki spesialisasi di bidang tertentu sehingga diyakini lebih mampu membantu siswa memahami pelajaran yang sulit. Inilah alasan mengapa kelas-kelas bimbel makin hari makin padat.Apakah Pendidikan Formal Sudah Tidak Lagi Cukup?Pertanyaan ini sering kali muncul. Biaya sekolah formal sudah tinggi, tetapi banyak orang tua dan siswa merasa hasilnya belum memadai. Di ruang kelas, satu guru biasanya harus menghadapi puluhan murid dengan kemampuan yang sangat beragam. Konsekuensinya, metode belajar menjadi seragam. Siswa yang cepat memahami materi bisa merasa bosan, sedangkan siswa yang kesulitan semakin tertinggal.Selain itu, sekolah masih lebih sering menekankan nilai ujian daripada pemahaman konsep. Proses belajar akhirnya berputar pada hafalan dan latihan soal, bukan pada eksplorasi ilmu. Padahal, pendidikan idealnya bukan hanya soal nilai, melainkan juga mengasah keterampilan berpikir kritis dan kreativitas.Bantu anak memperbaiki kebiasaan belajarnya. Foto: Shutter StockCelah inilah yang kemudian diisi oleh bimbel. Dengan metode lebih adaptif, sesi latihan soal intensif, dan simulasi ujian yang realistis, bimbel memberi pengalaman belajar yang lebih personal. Tak sedikit siswa yang mengaku merasa lebih percaya diri menghadapi ujian setelah ikut bimbel; sesuatu yang tidak selalu mereka dapatkan di sekolah.Namun, bimbel bukan tanpa konsekuensi. Biayanya sangat bervariasi, tergantung lembaga, jenjang, dan program. Untuk program intensif persiapan masuk perguruan tinggi negeri, biayanya bisa mencapai Rp8–30 juta per tahun. Untuk jenjang SMA, kisarannya Rp5–15 juta. Angka ini tentu bukanlah nominal yang kecil khususnya bagi keluarga kelas menengah ke bawah.Kenyataan ini membuat akses pendidikan terasa semakin timpang. Mereka yang mampu membayar bimbel, otomatis punya peluang lebih besar untuk bersaing. Sementara itu, siswa yang tidak mampu terpaksa mengandalkan sekolah formal dengan segala keterbatasannya. Alhasil, kesenjangan pendidikan semakin melebar.Apakah Fenomena Ini Merupakan Kegagalan Sistem Pendidikan?Fenomena bimbel sebenarnya adalah cermin yang menyoroti kelemahan sistem pendidikan formal kita. Apa yang dijual bimbel bukan sekadar tambahan materi pelajaran, melainkan juga harapan: nilai lebih baik, peluang masuk universitas favorit, dan masa depan yang lebih terjamin.Ilustrasi Anak Belajar Matematika. Foto: ShutterstockNamun, jika sekolah hanya berperan sebagai “pemberi materi” yang kemudian harus disempurnakan di luar, jelas ada masalah serius. Apakah pendidikan formal tidak lagi cukup untuk menyiapkan generasi muda menghadapi masa depan?Inilah alarm yang seharusnya disadari pemerintah dan lembaga pendidikan. Evaluasi kurikulum, metode pengajaran, hingga kualitas guru menjadi sangat mendesak. Idealnya, sekolah mampu memberikan pembelajaran yang relevan, personal, dan memadai sehingga siswa tidak harus bergantung pada bimbel yang mahal.Mahalnya bimbel bukan hanya persoalan bisnis. Ia adalah refleksi dari kenyataan bahwa pendidikan kita masih kesulitan menjawab kebutuhan zaman. Di era yang menuntut kreativitas, literasi digital, dan kemampuan berpikir kritis, pendidikan seharusnya mampu menyediakan itu semua sejak di sekolah.Jika fenomena bimbel hanya dianggap “pelengkap” tanpa ada perbaikan serius di sekolah, ketergantungan ini akan terus berlanjut. Akhirnya, masa depan yang seharusnya bisa diakses semua anak bangsa hanya akan jadi hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar.Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang adil bagi setiap anak dan bukan medan persaingan yang hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang punya modal lebih. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa tidak boleh ditentukan oleh tebal tipisnya dompet orang tua.