Pendidikan Adalah Hak Universal Manusia

Wait 5 sec.

Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar saat bulan Ramadhan di SDN Slipi 15, Jakarta, Kamis (6/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO Pendidikan selalu dipandang sebagai fondasi utama peradaban manusia. Ia bukan sekadar proses menghafal pengetahuan, melainkan jendela yang membuka cakrawala, tangga yang mengangkat harkat, dan jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa depan. Melalui pendidikan, individu menemukan suaranya, masyarakat menegakkan nilainya, dan bangsa meneguhkan keberlanjutan hidupnya. Namun, di balik gema deklarasi dunia, kampanye besar-besaran, dan investasi yang mengalir deras, pendidikan belum menjangkau semua orang dan fakta pahit ini masih bertahan. Jutaan jiwa kecil masih berada di luar ruang kelas dan mereka yang sempat duduk di bangku sekolah pun kerap menghadapi ruang belajar yang miskin sumber daya, minim guru terlatih, dan jauh dari kesempatan untuk benar-benar tumbuh.Tulisan ini akan mengeksplorasi mengapa kurangnya akses pendidikan yang luas terus "merongrong" kemajuan kolektif. Dengan memahami kedalaman masalah sekaligus upaya nyata yang dilakukan, kita bisa lebih menghargai urgensi untuk menciptakan kerangka pendidikan inklusif di seluruh dunia.Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: KemendikbudristekKetidakadilan yang Menjadi WarisanPendidikan lebih dari sekadar pewarisan ilmu. Ia adalah sumber daya yang menumbuhkan keberdayaan. Mereka yang mendapat kesempatan untuk belajar memiliki kemampuan untuk berbicara, mengambil keputusan, dan memperjuangkan haknya. Literasi sederhana saja mampu mengubah hidup: membaca instruksi, menandatangani dokumen, hingga memahami informasi. Lebih jauh lagi, pendidikan menghidupkan imajinasi, melatih daya analisis, dan membangkitkan kreativitas yang melahirkan inovasi.Namun, ketika pendidikan tidak menyentuh semua lapisan, sebagian besar manusia tetap terkunci dalam sunyi: tanpa suara, tanpa peluang, dan tanpa daya untuk menembus lingkaran ketidakadilan. Di sinilah ketidakseimbangan struktural tumbuh dan mewariskan siklus ketidaksetaraan dari satu generasi ke generasi berikutnya.Tak heran, sosiolog menyebut pendidikan sebagai “the great equalizer” yaitu penyama derajat yang mampu menembus batas kelas, kasta, atau gender. Namun, potensi mulia ini hanya akan nyata jika pendidikan benar-benar adil dan universal. Ketika akses tidak terbagi secara merata, pendidikan justru berubah menjadi alat yang memperkuat privilese sekaligus meninggalkan yang lemah semakin jauh di belakang.Dengan demikian, ketiadaan pendidikan yang merata menolak peluang bagi masyarakat untuk menggunakan sekolah sebagai jembatan lintas perbedaan. Sebaliknya, ia mempertahankan jurang yang menghambat solidaritas dan kohesi sosial.Duri-Duri di Jalan Menuju SekolahNamun, hambatan pendidikan tidak berdiri tunggal. Ia terjalin dari banyak benang, mulai dari sekolah yang hanya terkonsentrasi di perkotaan, jarak tempuh panjang bagi anak pedesaan, biaya tersembunyi yang membebani keluarga miskin, hingga norma budaya yang mengekang, khususnya terhadap anak perempuan.Bahkan, ketika anak-anak terdaftar di sekolah, kualitas pendidikan bisa menjadi sangat buruk. Kelas penuh yang membuat sesak, guru yang kurang terlatih, minimnya sumber daya, dan kurikulum usang membuat anak tidak memperoleh pembelajaran bermakna. Apa arti pendidikan jika hanya nama tanpa substansi?Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter StockAnak-anak yang tumbuh tanpa pendidikan akan berjalan di dunia dengan pandangan sempit. Imajinasi mereka tentang masa depan terbatas dan kesempatan yang semestinya luas menjadi sempit. Tanpa pendidikan, mereka rentan terjerat eksploitasi, terombang-ambing oleh informasi palsu, dan tak berdaya menghadapi sistem yang menuntut literasi sebagai syarat hidup.Dampak paling sunyi, tetapi mendalam dari keterbatasan pendidikan, adalah luka lintas generasi. Orang tua tanpa pendidikan sering kali tak mampu menopang pendidikan anaknya sehingga lingkaran ketidakmampuan berulang dari masa ke masa. Memutus siklus ini memerlukan tekad kolektif dengan menjadikan pendidikan bukan sekadar fasilitas, melainkan hak asasi yang tak boleh ditunda.Ketika segmen besar populasi kehilangan pendidikan, kerugiannya bukan hanya pada individu, melainkan juga pada segi sosial. Inovasi, kreativitas, dan produktivitas menurun saat potensi manusia tidak dimanfaatkan. Selain itu, masyarakat tanpa pendidikan kerap menghadapi ketegangan sosial tinggi karena ketidaksetaraan memicu kebencian dan eksklusi.Berbagai deklarasi dunia telah berulang kali menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap insan. Gema itu lantang, mulai dari Universal Declaration of Human Rights hingga Sustainable Development Goals. Namun, kenyataan di lapangan masih menyisakan jurang antara cita-cita dan praktik. Maka dari itu, kegagalan menyediakan pendidikan universal bukanlah sekadar kekurangan teknis, melainkan pengkhianatan terhadap keadilan.Kelas di Bawah Langit TerbukaDi tengah kerumitan itu, muncul inisiatif yang sederhana, tetapi menggugah, yaitu Pehchaan The Street School. Lahir dengan misi membawa pendidikan ke jalanan, Pehchaan menjangkau anak-anak yang terhalang masuk sekolah formal. Filosofinya jernih: setiap anak berhak belajar, apa pun keadaannya. Pendidikan bukanlah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan.Relawan Pehchaan mengubah trotoar menjadi ruang kelas, menjadikan pusat komunitas sebagai sekolah, bahkan menghadirkan mobil belajar yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka tidak hanya mengajar huruf dan angka, tetapi juga menanamkan rasa ingin tahu, keberanian, dan kreativitas. Setiap pelajaran di bawah langit terbuka menjadi bukti bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah.Dampak Pehchaan bukan hanya pada anak-anak yang kini bisa membaca atau berhitung, melainkan juga pada pesan simbolis yang ia bawa dengan label bahwa pendidikan tidak mengenal syarat siapa yang pantas dan tidak harus selalu berbentuk bangunan megah. Pendidikan bisa hadir di mana saja, selama ada niat, cinta, dan kesetiaan pada cita-cita kemanusiaan.Ilustrasi Anak-Anak (Sumber: https://pixabay.com)Setiap pelajaran di ruang kelas darurat adalah bukti ketahanan dan kemungkinan. Setiap anak yang belajar membaca, menghitung, atau mengekspresikan diri menjadi argumen hidup melawan keputusasaan.Isu pendidikan terbatas memang terasa luar biasa besar. Namun, inisiatif seperti Pehchaan The Street School mengingatkan bahwa perubahan dimulai dari tindakan lokal. Upaya-upaya ini tidak menggantikan reformasi sistemik, tetapi menunjukkan bahwa intervensi segera tetap mungkin dilakukan meski dalam keterbatasan.Pendidikan harus menemui anak-anak di mana mereka berada. Menunggu mereka menyesuaikan diri dengan sistem kaku hanya akan membuang waktu. Inisiatif lokal berhasil ketika komunitas terlibat, dan pendidikan menjadi lebih berkelanjutan saat orang tua serta lingkungan melihat nilainya. Pendidikan bukan hanya soal akademik, melainkan juga martabat, harga diri, dan kepercayaan sosial. Bahkan, langkah kecil bisa mengubah persepsi masyarakat dan mendorong advokasi lebih luas untuk pendidikan universal.Pendidikan adalah benang merah yang menautkan pemberdayaan individu dengan ketangguhan masyarakat. Mengabaikannya sama saja dengan merobek kain kemajuan umat manusia. Tanpa pendidikan, kita tidak akan mampu melawan kemiskinan, menghadapi krisis kesehatan, menjaga lingkungan, bahkan meraih perdamaian dunia.Fakta bahwa pendidikan masih terbatas adalah peringatan bagi kita semua kalau dunia belum adil. Namun, di setiap sudut jalan tempat anak-anak menyalin huruf dan di setiap pelajaran sederhana yang menghidupkan harapan, kita melihat bukti bahwa perubahan selalu mungkin. Perjalanan menuju pendidikan universal memang panjang dan penuh tantangan. Namun, ia bermula dari kesadaran sederhana: tidak boleh ada satu pun anak yang kehilangan hak untuk belajar.