www.freepik.com/free-photo/front-view-adult-holding-red-broken-heartPatah hati pertama datang dengan cara yang konyol sekaligus tragis: seperti seorang tamu tak diundang yang tiba-tiba tahu persis alamat rumahku. Aku sudah berusaha menutup rapat-rapat pintu perasaan, menumpuk gembok demi gembok, bahkan pura-pura mati lampu. Tetapi ia tetap mengetuk, masuk tanpa permisi, lalu duduk seenaknya di ruang tamu hati. Betapa menyebalkan. Kala itu, aku sempat merasa ingin menggugat semesta: siapa sebenarnya yang memberi izin rasa sakit ini datang?Namun justru dari situ, aku tersadar sesuatu yang lebih dalam. Bahwa rasa sesak, perih, dan kehilangan itu adalah tanda bahwa aku sungguh-sungguh ada. Heidegger menyebutnya Geworfenheit, keterlemparan ke dunia: aku tak pernah memilih kapan atau bagaimana, aku sudah lebih dulu dilemparkan untuk merasakan. Dalam lemparan itulah, pengalaman menyakitkan menjadi semacam panggilan: sadar atau tidak, aku sedang diingatkan bahwa hidup bukan sekadar mengalir dengan senang hati, tetapi juga dipenuhi retakan yang tak bisa kuelakkan.Kierkegaard, dengan nada melankolisnya, mungkin akan berkata bahwa kegelisahan dan luka adalah pintu menuju eksistensi yang otentik. Rasa sakit yang tak tertahankan itu justru menyingkapkan aku pada diriku sendiri. Bukan lagi sekadar aktor yang mengucapkan dialog dari naskah, bukan pula wayang yang digerakkan dalang. Aku adalah aku—yang harus memilih, yang harus menafsirkan arti dari penderitaan, yang harus menentukan apakah aku akan terus pura-pura kuat atau justru mengaku kalah dan belajar dari luka itu.https://www.freepik.com/free-photo/girl-love-boyfriend-divorce-backgroundDari sudut pandang ini, patah hati ternyata tidak berbeda jauh dengan momen-momen penuh tawa atau pelukan yang menghangatkan. Bahagia dan duka hanyalah dua sisi dari koin yang sama: keduanya menandai bahwa aku sungguh hidup, berpikir, merasa. Kesedihan bukan lawan kebahagiaan, melainkan saudaranya yang membuat cerita jadi utuh. Tanpa rasa sakit, sukacita akan terasa dangkal; tanpa kehilangan, kehadiran orang lain tak akan pernah sepenuh itu kita hargai.Maka, pengalaman patah hati pertama yang dulu terasa menyesakkan justru berubah menjadi semacam pengakuan eksistensi. Ia mengajarkan sesuatu yang tak akan pernah kutemukan di buku teks mana pun: kesadaran akan keberadaanku sebagai subjek yang hidup, bukan sekadar boneka yang dimainkan. Setiap luka, betapa pun perihnya, adalah ukiran di dinding kesadaran. Dan di antara ukiran-ukiran itu, aku mendapati diriku: bukan sekadar yang terluka, melainkan yang sedang benar-benar ada.