Menkeu Purbaya dan Rp200 Triliun

Wait 5 sec.

Purbaya Yudhi Sadewa. (Foto: Bambang Eros VOI)Presiden Prabowo Subianto memberi lampu hijau kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memindahkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun yang selama ini “parkir” di Bank Indonesia ke lima bank milik negara. Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Dana ini ditempatkan dalam skema Deposit on Call (DOC), yaitu simpanan yang bisa ditarik kapan saja, dengan bunga 4,02% per tahun atau sekitar 80% dari suku bunga acuan BI. Keputusan ini bukan sekadar memindahkan angka di neraca. Ini ujian besar bagi kepercayaan pasar dan taruhan penting bagi stabilitas ekonomi. Menkeu Purbaya menegaskan, dana itu tidak boleh dibelikan Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Tujuannya jelas. Menjaga likuiditas perbankan, mendorong kredit ke sektor riil, dan memberi suntikan baru bagi perekonomian. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yakin likuiditas pasar akan membaik. Saham perbankan pun sempat naik, tanda optimisme menular cepat. Namun di balik euforia, risiko mengintai. Ada pengamat yang mengingatkan, Rp200 triliun ini hanya akan berdampak bila benar-benar mengalir ke sektor produktif. Tanpa pengawasan ketat dan disiplin, dana jumbo itu bisa sekadar menjadi cadangan baru di perbankan dan gagal menyalakan mesin pertumbuhan. Direktur Eksekutif Sigmaphi Indonesia, Muhammad Islam, menilai kebijakan ini salah sasaran. Masalah utama perbankan bukan kurangnya likuiditas, melainkan rendahnya permintaan kredit (demand). “Persoalannya bukan keringnya likuiditas, tapi lemahnya prospek penjualan domestik dan daya beli masyarakat. Jadi, menambah likuiditas tidak otomatis mendorong kredit,” ujarnya. Islam merujuk data OJK per Juni 2025. Loan to deposit ratio (LDR) perbankan berada di 86,5%, turun dari 88,3% bulan sebelumnya. Angka ini menandakan bank masih punya ruang menyalurkan kredit. Hambatan utama justru di permintaan pinjaman. Ia menambahkan, Rp200 triliun itu hanya sekitar 4,73% dari total dana pihak ketiga (DPK) Himbara, atau 2,14% dari DPK perbankan nasional yang mencapai sekitar Rp9.329 triliun per Juni 2025. Dengan proporsi sekecil itu, dampaknya terhadap penyaluran kredit diperkirakan tidak besar. Tanpa perbaikan daya beli dan prospek usaha, dana pemerintah berisiko kembali diparkir, meski ada larangan membeli SBN atau SRBI. Juga ada ekonom yang mengingatkan Purbaya agar meyakinkan investor global. Kepercayaan pasar bisa lebih rapuh daripada yang dibayangkan. Menkeu Purbaya sendiri tak gentar. Ia menegaskan, krisis 1998 menjadi peringatan agar kebijakan moneter tidak kacau. Namun pernyataannya bahwa pertumbuhan bisa menembus 7 persen menuai kritik karena dinilai terlalu percaya diri dan berpotensi memicu ekspektasi pasar yang berlebihan. Rp200 triliun bukan sekadar suntikan likuiditas, melainkan pertaruhan kredibilitas. Jika dana ini hanya berputar di sistem perbankan tanpa menggerakkan investasi riil, kebijakan tidak akan mencapai harapan. Tantangannya jelas. Mengubah dana mengendap menjadi motor pertumbuhan nyata.Presiden Prabowo Subianto membutuhkan dana tebal untuk program prioritasnya. Menkeu Purbaya menyiapkan strategi APBN 2026 agar defisit tetap terkendali. Publik kini menunggu bukti. Apakah injeksi dana ini benar-benar jadi katalis ekonomi atau sekadar manuver politik angka. Keputusan itu diambil saat geopolitik global penuh ketidakpastian—perang dagang, konflik kawasan, dan ancaman perlambatan ekonomi dunia. Ketika banyak negara mengetatkan likuiditas, Indonesia justru melepas Rp200 triliun ke pasar. Keberanian ini bisa menjadi kartu truf atau justru bumerang. Jika berhasil, Indonesia membuktikan diri sebagai ekonomi besar yang mampu mengatur ritmenya sendiri. Jika gagal, bukan hanya APBN yang terguncang, kepercayaan investor global pun bisa runtuh. Dalam dunia finansial, kepercayaan adalah mata uang paling mahal. Rp200 triliun hanyalah angka. Yang dipertaruhkan jauh lebih besar. Reputasi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang tangguh. Sebuah taruhan yang menuntut bukan hanya nyali, tetapi ketelitian setingkat bedah mikro. Kini publik menunggu hasil kebijakan ini dengan waspada—dan menilai apakah keyakinan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa akan terbukti. Dan kita tentu sangat berharap kebijakan ini berhasil.