Mengapa Bahasa Isyarat Masih Sering Ditertawakan?

Wait 5 sec.

Ilustrasi seseorang ditertawakan. Dibuat dengan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Bahasa isyarat mungkin sudah familiar di antara kita semua. Kita sering menemukannya melalui beragam medium seperti berita di televisi dan konten di media sosial. Sesekali juga, ada kalanya kita berjumpa langsung dengan praktisi bahasa isyarat di sekitar kita, mungkin dalam suatu forum atau perjumpaan yang menghadirkan pihak yang menggunakan bahasa itu.Bahasa isyarat sendiri merupakan salah satu cara manusia berkomunikasi. Secara linguistik, bahasa isyarat dapat diidentifikasi sebagai cara bertukar pesan yang menggunakan gerakan tangan, kepala, badan dan sebagainya. Ia diciptakan secara khusus untuk mereka yang memiliki keunikan inderawi, contohnya seperti teman Tuli.Dilansir dari Nimdzi, sedikitnya ada 300 ragam bahasa isyarat yang dipraktikkan secara sistematis di seantero dunia dengan 70 juta pengguna. Di Indonesia, kita memiliki dua macam bahasa isyarat: Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). BISINDO sendiri telah diakui secara internasional dan tumbuh secara organik di komunitas teman Tuli.Pada beberapa kesempatan. penulis pernah mencoba menggunakan bahasa isyarat seperti BISINDO. Sebagai individu yang sehari-hari berkomunikasi secara verbal, penulis merasa tertantang untuk menyampaikan informasi hanya dengan melalui gestur tubuh dan ekspresi wajah. Ada rasa penuh kewaspadaan, mengingat penulis tidak bisa sembarangan, sebab ada panduan untuk menghindari kesalahpahaman.Meski pada dasarnya bahasa isyarat penting untuk dihargai, penulis masih sering mendapati konten-konten yang terkesan menyepelekan urgensinya. Pihak-pihak yang berlakon di dalamnya menggunakan bahasa isyarat seakan ia adalah lelucon yang wajar. Ada kalanya mereka juga memeragakan gestur dan ekspresi teman-teman tuli secara berlebihan.Dampaknya tentu tidak main-main. Secara fungsional, pembelokkan bahasa isyarat dapat mengacaukan fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi yang akurat. Secara etika juga, tindakan ini dapat melanggengkan stereotip negatif dan memicu keterasingan.Pertanyaannya: mengapa orang bisa dan masih menertawakannya?Membongkar Makna di Balik Tawa Tawa tidak lahir dari ruang kosong. Ia datang dari pergulatan antara pikiran, perasaan, dan situasi yang mengejutkan kita. Dalam banyak kasus, tawa menjadi cara manusia melepaskan ketegangan sekaligus menegaskan posisinya di hadapan orang lain.Banyak intelek yang berupaya mengurai arti dari sebuah tawa, salah satunya dengan pendekatan yang radikal. Menurut Thomas Hobbes, filsuf politik Inggris abad ke-17, tawa adalah "kemuliaan mendadak" yang lahir ketika kita merasa unggul dari kelemahan orang lain. Orang lain, dalam hal ini, adalah mereka yang dipandang absurd karena tidak seperti sesuatu atau bayangan umum.Mengacu Hobbes, ketika bahasa isyarat menjadi bahan tertawaan, kita bisa melihatnya sebagai cerminan proyeksi kuasa saat "mayoritas" berkontak dengan "minoritas". Dalam hal ini, mayoritas menciptakan standar komunikasi berdasarkan jumlah pengguna. Teman Tuli, yang notabene sebagai minoritas, dinilai sebaliknya hanya karena cara mereka berkomunikasi sedikit digunakan. Dari sinilah lahir jarak simbolik: mayoritas menempatkan diri di posisi "yang normal dan tidak salah".Apa maksudnya? Bahasa isyarat sering dilihat sebagai suatu ketidaksempurnaan karena tak serupa komunikasi verbal. Akibatnya, kita sering melihat upaya memaksa teman Tuli untuk berkomunikasi layaknya mayoritas. Padahal, secara inderawi, kapasitas mereka sendiri sudah tidak sama. Kita pun kerap mendapati tawa karena teman Tuli tidak piawai berkomunikasi secara verbal, yang mana tawa menegaskan batas antara siapa yang lebih layak tampil dan siapa yang tidak.Secara kontinu, standar inilah yang menciptakan pandangan seolah-olah bahasa isyarat, selain sebagai suatu ketidaksempurnaan, juga sebagai objek eksotisifikasi. Alih-alih dilihat sebagai makhluk sosial yang setara secara hak, teman Tuli justru dilihat menarik hanya karena perbedaan cara berkomunikasi mereka. Bahasa isyarat pun dijadikan tontonan, unik, aneh, atau lucu, bukan bagian dari upaya teman Tuli membangun kehidupan yang progresif.Ilustrasi kelompok minoritas saat dilihat dari tatapan yang tidak inklusif. Dibuat dengan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Di era digital, mekanisme ini menemukan panggung yang lebih luas. Bahasa isyarat lekas menjadi komoditas. Ia bisa diproduksi, disunting dengan segala elemen audiovisual. Dalam hal ini, teman Tuli atau praktisi bahasa isyarat sering kali dijadikan bahan konten hanya karena gerak tangan dan raut wajah mereka dinilai konyol dari kacamata dominan. Tak jarang, konten juga disertai dengan narasi yang menjadikan bahasa isyarat seakan sebagai bahasa olok-olok.Algoritma media sosial kemudian bekerja seperti pasar. Semakin mengundang tawa, semakin besar peluang konten itu didorong ke lebih banyak layar. Pada akhirnya, bahasa isyarat berubah menjadi produk yang menguntungkan, mendatangkan views, likes, bahkan uang bagi pembuat konten, sementara kendali atas representasi diri teman Tuli sendiri lenyap.Teman Tuli jadi dianggap bak objek yang berdaya hanya di panggung teatrikal media. Padahal, meski berkomunikasi dengan bahasa isyarat, teman Tuli sama saja dengan manusia lain. Mereka juga memiliki potensi yang lebih besar untuk berkontribusi bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Bijak dengan Bahasa IsyaratPertama-tama, masyarakat perlu menyadari bahwa bahasa isyarat bukanlah gimmick atau bahan hiburan mentah. Ia merupakan medium komunikasi yang sahih dengan seperangkat panduan untuk membangun pertukaran pesan efektif. Menghargainya berarti menghargai hak teman Tuli untuk berpartisipasi setara dalam percakapan publik.Selain itu, platform media sosial dan pembuat konten perlu memikul tanggung jawab etis. Algoritma yang mengutamakan viralitas sebaiknya dilengkapi dengan mekanisme moderasi yang mencegah penyebaran konten yang mengeksploitasi bahasa isyarat. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi ruang yang inklusif bagi semua pihak.Ilustrasi belajar bahasa isyarat. Dibuat dengan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Edukasi publik juga seyogianya dilakukan melalui kurikulum sekolah, kampanye media, dan program komunitas untuk memperkenalkan BISINDO dan urgensinya. Dengan demikian, tawa sepihak bisa bergeser dari menjadi apresiasi yang lebih sehat.Kita perlu membangun ruang perjumpaan yang aman bagi teman Tuli menggunakan bahasanya. Forum diskusi, festival seni, dan konten digital sebaiknya menampilkan perspektif mereka secara autentik. Masyarakat perlu melihat bahasa isyarat sebagai jembatan kesetaraan yang memperkaya kemanusiaan.