Ilustrasi kata patriarchy dan jejak pembunuhan. Dibuat dengan AI ChatGPT oleh Rizky Amanda Putra Hanka (dokumen pribadi).Pada Minggu, 7 September 2025, polisi mengamankan AM yang telah melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya sendiri, TAS. Tubuh perempuan muda itu dimutilasi, setidaknya, hingga ratusan bagian dan disebar di sekitar wilayah Pacet, Mojokerto. Kasus ini sontak menjadi sorotan publik karena melibatkan pasangan laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan romantis.Usut punya usut, tindakan keji yang dilakukan AM tersebut ditengarai oleh sejumlah motif personal, terutama motif ekonomi. Laki-laki itu mengaku dirinya terjebak dalam hubungan toksik. Ia dituntut oleh TAS untuk senantiasa memenuhi gaya hidup mewah perempuan tersebut, sementara di sisi lain, ia kerap mendapatkan kata-kata kasar.Kasus ini menunjukkan bagaimana laki-laki kerap dibebani standar maskulinitas untuk menjadi penopang ekonomi, bahkan ketika realitas tidak selalu mendukung. Kita menyebut belenggu itu: patriarki. Dalam tekanannya, ruang untuk mengekspresikan kerentanan dirinya nyaris tertutup. Ketika emosi terus ditekan tanpa jalan keluar, kemarahan pun bisa meledak dalam wujud kekerasan ekstrem.Bagaimana Patriarki Termuat dalam Narasi Ini?Ilustrasi Patriarki Foto: Nubefy/ShutterstockPatriarki merupakan istilah umum yang kerap digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki. Slyvia Waybi, sosiolog feminis asal Inggris, mengemukakan bahwa patriarki memosisikan laki-laki untuk senantiasa menjadi kontributor atau pencari nafkah utama, sementara perempuan menjadi penerima yang kemudian memanfaatkan nafkah tersebut untuk keperluan rumah tangga.Sebagai pencari nafkah utama, patriarki secara implisit menuntut laki-laki mengembangkan ego berlebih. Sebagai pihak yang dituntut maskulin, laki-laki merasa perlu dan diperlukan untuk menjadi provider atau pemberi paling dominan untuk diakui sebagai "laki-laki sejati". Jika tidak, maka identitas gendernya dapat diragukan, baik itu oleh sesama laki-laki maupun perempuan. Kita pun jadi kerap mendengar hinaan terhadap laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar tersebut. Hinaan atau kata-kata tak mengenakkan yang berkelindan tentu dapat menyinggung siapa pun. Namun, tanggapan yang dipengaruhi patriarki bisa mengarah pada kekerasan khusus. Ini terjadi karena patriarki menuntut laki-laki secara khusus untuk "bersikap tenang" sebagai tanda gentle. Dengan kata lain, laki-laki kerap kali dibungkam secara emosional. Akibatnya, laki-laki lebih sering memendam emosi negatif yang dapat berujung pada ledakan kemudian hari. Ilustrasi pria marah. Foto: Daniel Tadevosyan/ShutterstockLedakan tersebut tidak hanya soal emosi saja. Saat laki-laki terkait melakukan kekerasan fisik, ia sejatinya hendak mengembalikan legitimasi atas otonomi dirinya. Menggunakan kerangka pikir Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, kekerasan seperti ini terjadi karena laki-laki memperkuat objektifikasinya atas perempuan. Dengan cara itu, perempuan tidak lagi dipandang sebagai subjek yang setara, melainkan medium pelampiasan hasrat.Dalam kasus pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan AM, TAS digambarkan selalu menuntut AM berperan sebagai provider. AM mengaku kewalahan selama bertahun-tahun demi melangsungkan peran tersebut. Belum lagi dengan menghadapi karakter sang kekasih yang disebutnya temperamen. Ketika ditanya tentang niat mengakhiri pun, AM tidak berkata banyak selain mengungkapkan bahwa itu sulit, barangkali karena tanggung jawabnya sebagai "cowok".Walau AM mengaku sering adu mulut dengan TAS, kasus ini menunjukkan bahwa patriarki mendorong laki-laki untuk "berbuat lebih" pada perempuan. Dengan eksistensi yang senantiasa dideskripsikan sarat akan otot, patriarki menanamkan ilusi bahwa solusi unggul atas masalah hubungan adalah dominasi fisik. Kekerasan pun dijadikan jalan pintas untuk menegaskan kembali kuasa atas tubuh maupun nasib perempuan.Pertanyaan berikutnya: kenapa AM bisa sesadis itu dalam melakukan kekerasan? Studi yang didanai oleh NZCCP Research Award pada 2024 menemukan bahwa antara 22% hingga 36% pelaku kekerasan sejenis ini mengalami disosiasi saat bertindak, seolah melepaskan kesadaran diri dari tindakan mereka. Kita pun dapat memahami bahwa tubuh TAS, dalam isu ini, diperlakukan bukan lagi sebagai manusia, namun objek kemarahan tempat AM menunjukkan kekuasaannya secara impulsif.Kasus sebagai CerminTampang Alvi Maulana (25 tahun) pria yang membunuh dan memutilasi pacarnya Tiara Angelina Saraswati (25 tahun) saat di Mapolres Mojokerto, Senin (8/9/2025). Foto: Dok. IstimewaSejatinya, aksi keji yang dilakukan AM terhadap TAS "hanyalah" satu dari seabrek kasus senada di Indonesia. Berdasarkan laporan Femisida: Analisis Pemberitaan Online, 256 kasus pembunuhan terhadap perempuan telah terjadi pada tahun 2021. 75% pelaku adalah laki-laki dan hampir 47% terjadi di wilayah rumah korban atau pelaku. 36,7% korban sendiri memiliki relasi yang intim dengan pelakunya dan motif pembunuhan cenderung memuat isu-isu patriarkal.Kasus mutilasi di Mojokerto ini dapat kita pahami sebagai cermin dari bagaimana patriarki bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa hubungan penuh kasih pun bisa berubah menjadi arena kekuasaan yang timpang ketika standar maskulinitas dan tuntutan ekonomi menekan salah satu pihak. Ketika diri tidak mendapat ruang yang sehat untuk berekspresi atau bernegosiasi, ia bisa menjelma menjadi kekerasan ekstrem yang merenggut nyawa. Kita perlu belajar bahwa kekerasan tidak pernah lahir tiba-tiba. Kekerasan yang terjadi dibentuk oleh struktur sosial yang membungkam perasaan, menormalkan dominasi, dan mengabaikan kerentanan manusia. Oleh sebab itu, kita patut mendorong pendidikan kesetaraan gender, membuka titik temu yang sehat bagi laki-laki maupun perempuan, serta memperkuat sistem perlindungan hukum agar tragedi serupa tidak terus berulang.