Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Presiden Prabowo Subianto disebut akan segera melantik sembilan anggota komite reformasi Polri dalam waktu dekat. Pembentukan komite ini dilakukan sebagai langkah evaluasi dan perbaikan di institusi Polri.Sosok Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, Eks Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, hingga Eks Ketua Mahkamah Konstitusi Jimmy Jimly Ashiddiqie disebut bakal bergabung di komite tersebut.Pengamat kebijakan publik, Agus Wahid, menilai bahwa munculnya reformasi Polri dari Presiden Prabowo tidak lepas dari kerusuhan 20-30 Agustus lalu. Kerusuhan itu bukan sekedar unjuk rasa, tapi ada desain destruktif, yakni makar (menggulingkan Prabowo). Dalam hal ini lembaga kepolisian harus bertanggung jawab. Karena, peta di lapangan memang aparat kepolisian yang berhadapan langsung. Namun, eskalasi unjuk rasa dan sampai kerusuhan menjadikan Polri tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab itu, di samping Menko Politik dan Keamanan.Ilustrasi. Polisi mengikuti latihan Sistem Pengamanan Markas Komando (Sispam Mako) di Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur. (FOTO Didik Suhartono-Antara) Dengan demikian, arah reformasi Polri yang diharapkan presiden sudah jelas. Pertama, mencegah keterulangan kerusuhan anarkis politik puncak, apalagi mengarah ke penggulingan kekuasaan. Kedua, membenahi kinerja Polri agar tidak dijadikan kepentingan pihak tertentu yang melawan konstitusi. Ketiga, membangun kembali paradigma Polri, sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bukan memusuhi rakyat. Keempat, membenahi sistem bahkan budaya kerja kepolisian yang sudah jauh dari Bhayangkari. Kelima, perlu dilakukan pembinaan total terhadap mental kepolisian yang kian menonjol dalam dunia korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.“Catatan Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparancy International Institute, korupsi di lembaga kepolisian tercatat urutan kelima terbesar di Tanah Air ini. Dan sejak sepuluh tahun terakhir, terjadi tren kenaikan mencapai 65 persen. Bila kita cermati tren kenaikan ini, berarti terdapat korelasi bahwa ‘perlindungan’ atau menjadikan ‘anak emas’ terhadap institusi kepolisian mengakibatkan keberanian untuk melakukan abuse of power, termasuk tindakan memperkaya diri alias korupsi,” ujarnya, Senin 6 Oktober 2025.Keenam, lanjut Agus, mencari jawaban, apakah perlu dilakukan reposisi institusi Polri? Apakah kembali di bawah institusi TNI, atau di bawah Kemendagri? Atau tetap seperti sekarang, di bawah langsung presiden? Jika di bawah presiden, apakah menjadi alat kekuasaan, yang berarti sebagai bodyguard presiden, atau posisi sebagai alat negara sesuai UU?Meskipun faktanya tengah menghadapi terpaan, apalagi muncul keinginan untuk menarik kembali Polri di bawah TNI atau kementerian, tentu akan menimbulkan perdebatan dan polemik. Polemik ini harus diarahkan pada perbaikan institusi secara sistemik, bukan reposisi kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan.Sepanjang rute sejarah, kelembagaan Polri telah mengalami reposisi berkali-kali. Pada awal kemerdekaan, kedudukan Kepolisian ditempatkan di bawah kementerian. Tahun 1945, polisi berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Setahun setelah merdeka pada 1 Juni 1946, Kepolisian ditempatkan di bawah perdana menteri. Pada 1948, karena Indonesia menganut sistem presidensial, posisi polisi kemudian di tempatkan di bawah presiden dan wakil presiden.Keterangan Foto: Ilustrasi reformasi Polri yang harus diprioritaskan Presiden Prabowo.(Ist) Selama Republik Indonesia Serikat (RIS) Kedudukan Polisi diatur dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950. Keppres itu menyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung. Sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri. Dari tahun 1950-1959, setelah RIS dibubarkan, polisi ditempatkan di bawah perdana menteri. Selama masa itu kedudukan polisi berada di bawah kementerian.Pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit itu juga memengaruhi kedudukan Kepolisian dalam struktur ketatanegaraan. Kedudukan Kepolsian yang tadinya di bawah perdana menteri kemudian diberikan kedudukan setingkat kementerian negara. Setelah Soekarno mulai debut demokrasi terpimpinnya, membentuk ABRI yang akhirnya menempatkan Kepolisian di bawah ABRI hingga Reformasi 1998.Setelah dwi fungsi ABRI dicabut, Kepolisian kemudian dipisah dari TNI dan ditempatkan langsung di bawah presiden. Dari sejarah tersebut terdapat dua sistem pemerintahan, yaitu presidensil dan parlementer. Dalam sistem parlementer, kedudukan polisi berada di bawah menteri. Sedangkan dalam sistem presidensial, kedudukan polisi berada langsung di bawah presiden.Reposisi dan Mengembalikan Kepercayaan PublikPengamat politik, Firdaus Syam, mengamini jika kondisi dan kinerja Polri saat ini memang sedang tidak baik-baik saja dan jauh dari kepercayaan publik. Berbagai peristiwa yang melibatkan anggota Polri seperti kasus pemerasan tersangka atau terdakwa, penembakan sesama anggota polisi atau terhadap warga sipil, kasus narkoba dan kasus-kasus lain merupakan puncak gunung es dari banyaknya persoalan di institusi Polri.“Problem utama di institusi Polri, yakni budaya, mentalitas atau hipokrit. Kenapa budaya dan mentalitas Polri ini penting untuk kita soroti yakni dugaan kasus narkoba, penembakan, pemerasan dan sejenisnya,” ungkapnya.Firdaus mengaku setuju-setuju saja jika dilakukan reposisi Polri yang saat ini berada langsung di bawah presiden, entah nanti menempatkan Polri di bawah kementerian atau lembaga. Hanya saja, sebelum dilakukan reposisi, perlu melakukan reformasi total di internal tubuh Polri, khusus pembenahan soal budaya, perilaku dan pendidikan di tubuh Polri.“Terhadap reposisi saya setuju. Akan tetapi reposisi Polri harus dilalui dengan beberapa tahapan seperti pembenahan budaya, perilaku, pendidikan, atau sistem dalam melakukan perbaikan dan pembenahan terhadap institusi Polri,” terangnya.Menurut dia, fakta pada saat ini adalah polisi sudah seperti militer dan sudah melenceng dari tupoksinya untuk mengayomi, melayani dan menjaga ketertiban masyarakat. Belum lagi dugaan keterlibatan polisi dalam politik praktis serta dugaan kriminalisasi yang membuat warga takut menyampaikan aspirasi. “Reposisi Polri sangat bisa, akan tetapi pertanyaan selanjutnya yakni siapa yang berwenang dalam melakukan reposisi Polri? Yang bisa melakukan reposisi terhadap institusi Polri yakni dapat dilakukan atas kemauan politik presiden,” tegas Firdaus.Presiden Prabowo didampingi Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo saat inspeksi pasukan upacara HUT ke-79 Bhayangkara di Monas, Jakarta, Selasa 1 Juli 2025. (ANTARA) “Saya yakin posisi Polri mau ditempatkan di manapun akan tetap buruk, apabila watak, mentalitasnya dan budaya di level institusinya tidak dibenahi. Reposisi Polri harus dimulai dengan reformasi atau perubahan budaya dan pendidikan di institusi Polri agar lebih melayani,” sambungnya.Sekadar catatan tambahan, dari hasil survei Civil Society for Police Watch yang dirilis Februari 2025, menunjukkan publik ingin membuka wacana soal reposisi Polri yang saat ini berada di bawah presiden. Dari hasil survei, mayoritas responden tetap ingin Polri berada di bawah presiden sebanyak sebesar 32,3 persen. Sementara responden yang ingin Polri di bawah Kemendagri 15,8 persen, di bawah Kejaksaan 24,6 persen, sementara yang menjawab Polri di bawah Kemenhan sebesar 15,2 persen, dan responden yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 12,2 persen.Selain itu, hasil survei tersebut juga menunjukkan publik menginginkan Polri berada di bawah kementerian/lembaga selain Presiden, Kemendagri, Kemenhan dan Kejaksaan. Responden menginginkan Polri di bawah Kementerian Hukum sebanyak 19,7 persen, di bawah Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan sebanyak 9,6 persen, di bawah TNI sebanyak 11,6 persen, dan lainnya 5,3 persen. Sementara responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 38,6 persen.Agus Wahid menambahkan, hal yang memprihatinkan adalah dampak dari loyalitas total kapolri terhadap penguasa. Dampaknya bukan hanya pergeseran posisi level pimpinan puncak, tapi juga ke layer-layer di bawahnya. Terjadi, reposisi besar-besaran atas nama angkatan di Akademi Kepolisian (Akpol) di Mabes Polri. Juga, terjadi pada pimpinan Polda. Semua itu berdampak pada kecemburuan akibat penundaan kepangkatan dan jatah posisi. Semakin tinggi kecemburuannya karena dampaknya juga pada pemandangan makin besarnya jumlah perwira dan komjen yang nonjob. Bergaji tapi tak punya meja, alias tak bekerja. Dan pasti kecil nilainya jika tanpa tunjangan. Semua ini berdampak serius pada aspek psikologis, kecemburuan sosial dan ekonomi.Di sisi lain, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, berharap agar reformasi Polri juga menyentuh persoalan yang masih luput diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, salah satunya tentang anggaran.Dia menyatakan, rencana reformasi Polri juga harus diiringi revisi UU 2/2002 yang tengah bergulir di DPR terutama terkait sumber anggaran yang digunakan Polri. Faktanya, sumber dana yang diterima Polri tidak hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tapi juga sumber lainnya seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta hibah dari lembaga pemerintah dan non pemerintah. “UU 2/2002 tidak memuat pasal yang membahas eksplisit tentang anggaran kepolisian,” imbuhnya.Aksi demonstrasi massa di depan gedung DPR/MPR RI, Jakarta berlangsung ricuh. Ratusan pendemo mulai berdatangan memadati ruas jalan Gatot Subroto sekitar pukul 10.00 WIB pada Senin, 25 Agustus 2025. (VOI/Bambang E Ros) Bambang mencontohkan tragedi stadion Kanjuruhan yang menewaskan sedikitnya 135 orang. Penyelenggara pertandingan sepakbola antara Arema dan Persebaya adalah pihak swasta, ditengarai ada biaya pengamanan. Harusnya biaya pengamanan itu untuk keamanan khusus di dalam stadion seperti satpam atau steward.Bukan pengamanan yang sifatnya menjaga keamanan publik seperti kepolisian. Pengaturan pengamanan itu hanya diatur melalui Peraturan Kapolri (Perkap) sehingga yang melakukan penjagaan aparat kepolisian. Tujuannya, kepolisian mendapat dana hibah.“Isu anggaran ini nyaris tidak ditemukan dalam revisi UU 2/2002. Ditambah lagi hibah yang berasal dari perusahaan atau korporasi, misalnya terkait pagar laut. Hal ini mengakibatkan konflik kepentingan ketika ada masalah hukum,” tutur Bambang.Reformasi Polri memang bukan hanya tentang reposisi atau memperbaiki citra lembaga, tetapi tentang membangun kembali kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Di tengah krisis kepercayaan publik, hanya Polri yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu yang akan mendapatkan legitimasi moral dan politik. Dalam sejarah bangsa, kekuasaan selalu bisa memaksa, tetapi kepercayaan hanya bisa diraih dengan keadilan. Dan di sinilah reformasi Polri menemukan maknanya, dari kekuasaan menuju kepercayaan publik.