Siklus Kekerasan di Kalangan Pelajar Jakarta: Krisis Emosi dan Akses Senjata Tajam

Wait 5 sec.

Ilustrasi penangkapan sejumlah remaja pelaku tawuran dengan senjata tajam/ Foto: ISTJAKARTA – Fenomena kekerasan di kalangan pelajar kembali menjadi sorotan setelah insiden pembacokan pelajar di Jakarta Barat belum lama ini. Seorang remaja berusia 16 tahun harus menjalani perawatan intensif akibat luka sabetan celurit di bagian leher. Pelaku diketahui masih berstatus pelajar dari sekolah berbeda yang terlibat pertikaian di sebuah warung kawasan Palmerah.Kasus itu bukan yang pertama. Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian tawuran dan duel antargeng remaja terjadi di berbagai wilayah Jakarta — dari Cengkareng, Pasar Minggu, hingga Jatinegara. Polanya nyaris serupa: pelaku masih duduk di bangku sekolah, terprovokasi unggahan media sosial, lalu membawa senjata tajam untuk “membuktikan keberanian” di hadapan kelompoknya.Dihimpun VOI dari berbagai sumber, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, kekerasan semacam ini menunjukkan adanya siklus yang berulang di kalangan pelajar: mulai dari ejekan dan perundungan, berlanjut pada pembentukan geng, hingga berujung pada aksi fisik yang mematikan.“Banyak remaja yang tidak dibekali kemampuan mengelola emosi dan tekanan sosial. Mereka merasa kuat saat bersama kelompoknya, padahal sedang terjebak dalam pola kekerasan yang diwariskan,” ujarnya.Sementara itu, psikolog remaja Anna Surti Ariani menilai tindakan brutal di usia sekolah mencerminkan krisis identitas dan kendali diri.Ilustrasi pelaku tawuran dengan senjata tajam/ Foto: ANTARA “Mereka sedang mencari jati diri dan penerimaan sosial. Ketika keluarga dan sekolah gagal menjadi tempat aman, kelompok kekerasan menjadi pelarian yang keliru,” katanya.Faktor lain yang memperburuk situasi adalah mudahnya akses terhadap senjata tajam. Dalam banyak penggerebekan, polisi mendapati celurit, parang, hingga stik golf modifikasi yang diperoleh dengan mudah secara daring. Normalisasi penggunaan senjata tajam di kalangan remaja menambah potensi luka fatal bahkan kematian dalam setiap bentrokan.Kepolisian menegaskan akan terus melakukan patroli dan razia terarah di kawasan rawan tawuran pelajar. Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes M. Syahduddi mengatakan, aparat bekerja sama dengan dinas pendidikan dan sekolah-sekolah untuk melakukan pencegahan dini.“Kami minta pihak sekolah segera melapor bila ada potensi gesekan antarpelajar. Kami juga menelusuri sumber senjata tajam yang digunakan dalam setiap kasus,” jelasnya.Namun, para pemerhati anak menilai penegakan hukum semata tidak cukup. KPAI mendorong penerapan pendekatan restoratif melalui rekonsiliasi antar sekolah dan pembinaan karakter yang berkelanjutan. Program konseling aktif, literasi digital, dan pengawasan media sosial dianggap perlu agar pelajar tidak mudah terseret provokasi daring.Di sisi lain, peran keluarga dan pemerintah juga menjadi kunci. Orang tua diminta untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak serta membangun komunikasi yang terbuka di rumah. Pemerintah daerah perlu memperkuat pengawasan lintas sektor — mulai dari dinas pendidikan, kepolisian, hingga komunitas masyarakat — untuk mencegah kekerasan remaja sejak dini.“Sekolah, orang tua, dan lingkungan harus menjadi ekosistem perlindungan. Kalau hanya menindak tanpa membina, siklus kekerasan ini tak akan pernah berhenti,” tegas Retno Listyarti.Apa kata para pemerhati1. Siklus kekerasan: Bullying - perekrutan geng - tawuranKPAI menemukan pola siklis: Bullying di sekolah sering berkembang jadi perekrutan kelompok/geng, lalu menjadi tawuran yang bisa bereskalasi dengan senjata tajam.2. Media sosial & provokasi digital mempercepat konflikBanyak insiden dipicu atau diperparah oleh konten/konfrontasi di medsos (tantangan, unggahan provokatif, penyebaran video) sehingga emosi cepat memanas dan massa berkumpul. KPAI dan liputan lokal menyorot peran medsos.3. Krisis identitas dan regulasi emosi remajaPsikolog menilai beberapa remaja mengalami krisis identitas, kontrol emosi yang belum matang, dan pencarian penerimaan kelompok—faktor yang membuat mereka rentan ikut kekerasan. Faktor lingkungan (keluarga, sekolah, peer group) memperkuat risiko.4. Akses dan normalisasi senjata tajam memperparah korbanKasus yang menimbulkan luka serius/korban jiwa biasanya melibatkan senjata tajam — artinya ada masalah akses dan normalisasi penggunaan alat berbahaya di kalangan remaja. (dilaporkan berulang dalam kasus-kasus tawuran).5. Pendekatan punitif sendirian tidak cukup — butuh pembinaanKPAI menekankan pembinaan, rekonsiliasi antar-sekolah, dan jangan langsung mencabut hak pendidikan (mis. bantuan) karena itu bisa merugikan hak belajar anak; pendekatan harus protektif dan korektif, bukan semata hukuman yang memutus akses pendidikan.